IslamToday ID — Hubungan yang terjadi antara rakyat dan penguasa suatu wilayah dalam peradaban Islam sangatlah berbeda dengan antara rakyat dan penguasa di era Romawi dan Persia.
Dalam kehidupan bernegara, Al-Qur’an dan Hadist menjadi pijakan bagi rakyat dan penguasa muslim. Oleh karena itu, umat Islam memiliki tanggung jawab untuk mengontrol para pemimpin beserta seluruh aparatnya.
Nasihat Untuk Para Pemimpin
Berkaitan dengan pengawasan, ini menjadi perhatian serius Rasulullah SAW. Sebagaimana yang disampaikan oleh Prof. Raghib As-Sirjani dalam bukunya Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia. Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya di antara perjuangan yang paling berat adalah memberi nasehat keadilan di hadapan penguasa yang zhalim.”
Untuk memenuhi hak rakyat kepada penguasa tersebut bahkan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq ra mengatakan secara langsung dalam pidato pertamanya. Kisah ini diungkapkan oleh seorang sejarawan muslim asal Persia Ath-Tabari dalam karyanya yang berjudul Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk.
Abu Bakar Ash Shiddiq dalam pidatonya mengatakan, “Apabila aku berbuat keliru, maka hendaklah kalian meluruskanku.”
Prof. Raghib juga menjelaskan kisah ketika Rasulullah SAW menerima masukan dari sahabatnya Al-Habab bin Al-Mundzir. Peristiwa ini terjadi perang Badar. Suatu Ketika Rasulullah dan para pasukan hendak beristirahat di dekat mata air Badar. Melihat hal tersebut Al-Habab lantas bertanya perihal penentuan lokasi istirahat.
“Wahai Rasulullah, tentang masalah ini apakah berasal dari pendapatmu sendiri ataukah berasal dari wahyu yang diturunkan Allah kepadamu sehingga tidak boleh mengotak-atiknya. Ataukah dalam hal ini harus menggunakan strategi, ketangkasan, dan tipu daya?” tanya Al-Habab.
Rasulullah pun menjawab, “Tidak, melainkan strategi, ketangkasan, dan tipu daya.”
Kemudian, Al-Habab pun berkata, “Wahai Rasulullah, kalau begitu menurutku sesungguhnya ini bukanlah tempat yang baik hingga kita sampai terlebih dahulu di dekat sumber air warga masyarakat dan kita singgah di sana. Lalu, buatlah sumur dan bangunlah kolam, dan kemudian memenuhinya dengan air. Dengan cara ini, maka kita dapat minum dan mereka (musuh) tidak bisa minum.”
Rasulullah SAW pun menyepakati apa yang diusulkan oleh Al-Habab, dengan mengatakan, “Kamu telah menunjukan kebenaran pendapatmu.”
Usai mendengar masukan dari sahabatnya, Rasulullah SAW dan para pasukan muslim bangkit dan melanjutkan perjalanan. Mereka bergerak menuju tempat sumber mata air penduduk. Sesampainya di lokasi yang dituju, Rasulullah SAW pun meminta untuk dilakukan penggalian sumur yang dilanjutkan dengan pembuatan kolam.
“Kesediaan Rasulullah, untuk mengikuti saran dan pendapat Al-Habab tidak lain merupakan penegasan dan pengukuhan adanya hubungan erat antara pemimpin dengan rakyatnya dalam peradaban Islam,” terang Prof. Raghib.
Dialog Pemimpin & Rakyat
Selain Rasulullah SAW, Abu Bakar, Umar bin Khathab juga melakukan komunikasi, serta berdialog dengan rakyatnya. Umar Ketika ia menjabat sebagai khalifah melakukan dialog dengan seorang badui. Seorang badui itu menanyakan perihal tanah yang dilindungi oleh Umar selaku khalifah.
“Wahai Amirul Mukminin, di negeri ini kami berperang pada masa jahiliyah. Dan kami pun masuk Islam. Lalu mengapa kamu masih menjaganya?” tanya si badui.
Umar pun menjawab, “Harta ini adalah milik Allah dan hamba-hamba ini adalah hamba-hamba Allah. Kalaulah aku tidak memanfaatkannya untuk perjuangan di jalan Allah, maka aku tidak menjaga tanah tersebut sejengkal demi sejengkal.”
Kisah keempat yang dikutip oleh Prof. Raghib dari Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk karya At-Thabari yakni sebuah peristiwa yang terjadi pada masa Mu’awiyyah yang memperoleh kritik dari Abu Muslim Al-Khaulani.
Suatu ketika, Muawiyah sedang berdiri di atas mimbar tiba-tiba Abu Muslim berdiri sambal berkata, “Wahai Mu’awiyyah, sesungguhnya kamu hanyalah salah satu dari calon penghuni kubur. Jika kamu datang dengan membawa sesuatu, maka kamu berhak mendapatkan sesuatu. Dan jika tidak, maka tidak ada sesuatu untukmu. Wahai Mu’awiyyah, janganlahkamu meyakini bahwa kekhalifahan hanyalah mengumpulkan harta dan mendistribusikannya. Akan tetapi, kekhalifahan adalah perkataan yang benar, mengamalkannya dengan baik, dan berseru kepada umat untuk mengingat Allah. Wahai Mu’awiyyah, sesungguhnya kami tidak peduli dengan keruhnya sungai jika mata hati kita menjadi jernih. Janganlah kamu berlaku condong terhadap kabilah tertentu sehingga akan menghilangkan keadilanmu.”
Mu’awiyyah pun menjawab dengan berkata, “Semoga Allah menyayangimu wahai Abu Muslim,”.
Demikian sejumlah cuplikan kisah dalam catatan sejarah mengenai betapa pentingnya hubungan erat dan harmonis antara rakyat dan pemimpin, berupa pengawasan, nasihat keadilan dan berbagai masukan dalam menjalankan pemerintahan.
Selain itu, dialog dan komunikasi pun kerap dilakukan dalam rangka mewujudkan kehidupan bernegara yang adil.
Penulis: Kukuh Subekti