ISLAMTODAY — Momentum tanggal 10 Juni, sudah selayaknya diperingati negeri ini sebagai peristiwa Hari Kebangkitan Diplomasi RI atau hari Diplomasi Republik Indonesia. Pada hari itu 74 tahun yang lalu Indonesia berjuang di Mesir demi datangnya sebuah pengakuan untuk negeri yang baru diproklamirkan pada 17 Agustus 1945.
Pada momentum bersejarah ini Haji Agus Salim selaku Ketua Tim Diplomasi Timur Tengah didampingi oleh tiga pejabat RI. Mereka memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam menyukseskan misi diplomasi seperti Dr. Nazir Sutan Pamuntjak (ahli hukum), HM Rasyidi (lulusan Mesir yang ahli Agama dan bahasa Arab), dan AR Baswedan (Wartawan Senior).
Maka sejak 10 Juni 1947 Mesir dan Indonesia resmi menjalin hubungan persahabatan dan kerjasama. Hal ini ditandai dengan penandatanganan dokumen The Treaty of Friendship and Cordiality oleh kedua Menteri Luar Negeri (Menlu) Haji Agus Salim (RI) dan Menlu (Perdana Menteri) Mesir, Mahmoud Fahmi Nokrasyi Pasha.
Penandatanganan perjanjian ini sekaligus menandai dimulainya hubungan diplomatik antara Indonesia dan Mesir. Turut hadir dan menjadi saksi ialah Konsul Jenderal Mesir di Mumbay, Mohammad Abdul Mun’im.
Bukti adanya pengakuan kedaulatan Indonesia secara de facto dan de jure Indonesia ini terdapat dalam dokumen arsip negara Mesir. Dokumen negara Mesir menyebutkan bahwa pada tanggal 10 Juni 1947, rapat kabinet memutuskan untuk memberikan pengakuan kedaulatan Indonesia.
Keputusan ini bermula dari adanya nota (surat) dari Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) yang dikirim pada 22 Mei 1947. Kemenlu Mesir dalam suratnya meminta agar pemerintah memberikan pengakuan atas kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia.
Lika-Liku Diplomasi
Upaya Indonesia untuk bisa menjalin hubungan diplomatik dengan Mesir membutuhkan waktu yang cukup panjang. Rombongan Indonesia yang dipimpin Haji Agus Salim ini lebih dulu bertolak ke Mumbai (Bombay) pada 16/17 Maret 1947.
Perjalanan Tim Diplomasi Timur Tengah ini rupanya bertepatan dengan forum internasional, Konferensi Antar Asia yang berlangsung di New Delhi (24 Maret 1947). Haji Agus Salim beserta rombongan diplomasi yang tiba sehari sebelum acara (23/3) pun lebih dulu hadir dalam forum tersebut.
Pada forum yang dihadiri oleh 250 utusan dari 32 negara tersebut Haji Agus Salim berpidato tentang perjuangan bangsa Indonesia meraih kemerdekaan. Pada forum tersebut secara tersirat membuktikan bahwa kehadiran Indonesia diterima dengan baik oleh para delegasi dari berbagai negara yang hadir.
Tim diplomasi Timur Tengah yang terdiri atas empat orang itu akhirnya tiba di Kairo pada 10 April 1947. Kisah ini kemudian diabadikan oleh AR Baswedan yang dikutip oleh Lukman Hakiem dan dimuat di Republika (10/7/2020).
AR Baswedan mengisahkan bagaimana proses pemeriksaan yang dilakukan oleh petugas imigrasi Mesir di Bandara. Pada saat itu rombongan diplomasi negara yang baru beberapa tahun merdeka tidak mampu menunjukan surat yang disebut sebagai ‘paspor’.
Rombongan hanya mampu menunjukan sepucuk surat yang dikeluarkan oleh Kementerian Luar Negeri Indonesia. Dalam surat tersebut hanya tertulis keterangan, “Surat Keterangan Dianggap sebagai Paspor”.
Untuk memperjelas status siapa mereka Haji Agus Salim pun berkata kepada petugas imigrasi, “Mission Diplomatique dari Indonesia, sebuah negara baru di Asia.”
Bahkan karena nama Indonesia belum familiar di telinga mereka, mereka akhirnya bertanya, “Are you Moslem?”. Tentu saja pertanyaan ini langsung dijawab mereka serempak, dengan berkata, “Yes!”.
Setibanya di Mesir Haji Agus Salim beserta rombongan rupanya tidak langsung bisa bertemu dengan Raja Mesir, Raja Farouk beserta PM Mesir, Mahmoud Fahmi Nokrasyi Pasha. Ia bahkan lebih dulu melakukan jumpa pers, pada acara ini dibagikanlah naskah UUD 1945 yang telah ditulis langsung oleh Haji Agus Salim dalam bahasa Inggris.
Pada forum jumpa pers tersebut Haji Agus Salim menjelaskan pula bagaimana perjuangan bangsa Indonesia demi meraih kemerdekaan. Ia juga dengan sangat luwes berdialog dengan para wartawan yang hadir.
Liga Arab
Pimpinan Liga Arab yang kala itu dijabat oleh Mesir, berusaha menunaikan amanah keputusan Liga Arab yang ditetapkan pada 18 November 1946.
Abdurrahman Azzam Pasya (Sekjend Liga Arab) sekaligus tokoh berpengaruh di Mesir melakukan berbagai cara guna mewujudkan dukungan resmi mereka kepada Indonesia.
Ia dengan serius mencari tahu informasi dan bagaimana kondisi Indonesia, sebab informasinya tentang Indonesia diakuinya sangat terbatas.
“Saya akui bahwa ketika ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Liga Arab pada 1945, saya tidak tahu banyak tentang Indonesia. Pengetahuan saya mengenai Indonesia sangat terbatas. Tidak lebih dari yang saya baca dari buku-buku atau koran-koran internasional,” kata Azzam yang tercantum dalam buku terbitan KBRI Kairo, Jauh di Mata Dekat di Hati, Potret Hubungan Indonesia-Mesir.
“Saya kumpulkan semua laporan yang masuk ke meja saya soal perang perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang sekarang dipimpin oleh Soekarno dan Hatta melawan Belanda. Saat itu jumlah penduduk Indonesia sekitar 70 juta jiwa.”
Abdurrahman Azzam yang saat itu telah mendengar seruan dari Mufti Besar Palestina, Syekh Muhammad Amin Al-Husaini (September 1944) dan Pengusaha Media asal Palestina yang tinggal di Mesir, Muhammad Ali Al-Taher terus berupaya melakukan berbagai cara untuk menggali informasi tentang Indonesia.
Salah satunya meminta bantuan kepada Duta Besar Belanda di Kairo. Namun permintaan Azzam tidak segera disambut baik Belanda, mereka berusaha menggagalkan perjuangan diplomasi Indonesia tersebut.
Belanda saat itu melalui Wakil Dagangnya Graaf W. C. van Rechteren Limburg dan Cornelis Adriaanse berusaha menggagalkan upaya Indonesia dengan melobi PM Mesir, Mahmoud Fahmi Nokrasyi Pasha.
Kisah diplomasi yang sempat penuh ketidakpastian bagi Indonesia digambarkan dalam sebuah film berjudul Moonrise Over Egypt (2018). Upaya Belanda cukup berhasil dengan ditundanya pengakuan kedaulatan untuk Indonesia hingga bulan Juni 1947.
Pertemuan dengan para petinggi Mesir pun harus menunggu waktu hingga tiga bulan lamanya. Pertemuan resmi dengan para pejabat Mesir ini bahkan baru terselenggara atas bantuan Konsul Jenderal Mesir di India, Mohammad Abdul Mun’im.
Suksesnya pertemuan antara Indonesia dan Mesir ditandai dengan keputusan kabinet Mesir untuk mendukung Indonesia. Berita keputusan kabinet ini banyak menghiasi koran-koran di Mesir pada 9 Juni 1947.
Atas bantuan Mohammad Abdul Mun’im tersebut pada 10 Juni 1947 kedua negara resmi tandatangani perjanjian diplomatiknya.
Usai berjuang mendapatkan dukungan dari Mesir, Haji Agus Salim melanjutkan perjalanan ke sejumlah negara anggota Liga Arab seperti Suriah, Yaman, Irak, Arab Saudi, Lebanon dan Afganistan.
Penulis: Kukuh Subekti