Apa yang terlintas dalam bayangan anda ketika mendengar Gayo? Jika anda penikmat kopi maka yang terlintas bayangan anda pasti secangkir kopi Arabika paling nikmat di dunia.
Namun tahukah anda di balik secangkir kopi yang nikmat khas Gayo, justru tersimpan sebuah kisah pedih. Peristiwa memilukan dalam sejarah perang di Nusantara, yakni peristiwa pembantaian terhadap perempuan dan anak-anak.
Salah satu tragedi berdarah paling memilukan di dunia pernah terjadi dan menimpa masyarakat Gayo, tepatnya pada 14 Juni 1904.
Menurut Ibrahim Alfian dkk dalam buku Sejarah Perlawanan Terhadap Imperalisme dan Kolonialisme di Daerah Istimewa Aceh (1982: 149) jumlah pejuang Gayo yang meninggal syahid di Kuta Reh, Aceh Tengah pada 14 Juni 1904 sebanyak 516 orang, 248 orang diantaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Belanda secara keji melakukan serangkaian aksi genosida atau pembantaian massal kepada masyarakat Gayo. Ribuan pejuang Aceh mati syahid dalam pertempuran di Gayo yang berlangsung selama hampir lima bulan lamanya (Februari hingga Juni 1904).
Paul Van’t Veer seorang wartawan Belanda dalam bukunya yang berjudul ‘Perang Aceh Kegagalan Snouck Hurgronje’ (DeAtjeh-Oorlog, judul asli Belanda) tahun 1985 menyebutkan bahwa jumlah pejuang Gayo yang meninggal syahid pada periode 1904 mencapai 2.902 orang dengan 1.159 diantaranya adalah perempuan dan anak-anak.
Pada peristiwa perang yang disertai pembantaian in pihak Belanda kehilangan 26 orang prajuritnya dengan korban luka sebanyak 72 orang.
Data yang lain yang juga diungkap oleh Van’t Veer ialah data milik Letnan J.C.J. Kempees, asisten dari Letnan Jenderal Gotfried Coenraad Ernst Van Daalen, dalang pembantaian keji di Gayo.
Kempees mencatat dengan memberikan penjelasan rinci terkait jumlah korban pada peristiwa 14 Juni 1904 di Kuta Reh, Gayo. Mereka yang syahid waktu itu terdiri atas 313 orang laki-laki, 189 orang perempuan dan 59 anak-anak, total korban 561 orang.
Pembantaian yang dilakukan oleh Belanda ini merupakan salah satu kisah paling mengerikan bagi masyarakat Aceh. Pembantaian massal di Gayo merupakan serangkaian peristiwa kelam dalam sejarah perang Aceh yang berlangsung sejak 1873 hingga 1942.
Riwayat Pembantaian
Aksi keji Belanda ini dilakukan oleh pasukan Korps Militer Marsose, sebuah pasukan khusus yang dipersiapkan Belanda untuk melawan perang gerilya pejuang Aceh dipimpin langsung oleh Letnan Jenderal Gotfried Coenraad Ernst Van Daalen.
Kejahatan perang yang dilakukan oleh Daalen kepada rakyat Aceh ini terjadi di Benteng Kutarih pada 14 Juni 1904. Sejarah mencatatnya sebagai aksi long march pembantaian 163 hari Aceh yang berlangsung sejak 8 Februari 1904.
Menurut Ibrahim Alfian dalam bukunya Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912 (1987) menjelaskan tentang aksi long march 163 hari yang dilakukan oleh pasukan Marsose yang dipimpin oleh Daalen. Long march tersebut menempuh perjalanan darat dari Lhok Seumawe menuju Sibolga.
“Pada 8 Februari 1904 ia memulai perjalanan 163 hari dengan 10 brigade Marsose dari Lhok Seumawe ke Sibolga (Tapanuli), menembusi Gayo-Alas dan sebagian tanah Batak. Akan tetapi di Gayo Van Daalen mendapat perlawanan keras. Barulah setelah beberapa bulan, ia berhasil mematahkan perlawanan rakyat. Selama itu rakyat Gayo, lelaki dan perempuan bahkan anak-anak dari desa-desa di Kutoreh, Likat dan Kuto Lengat dengan gigih mempertahankan setiap jengkal tanah pusaka mereka.” (Ibrahim Alfian Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912: 209).
Gayo Pertahanan Terkuat
Gayo (Aceh Tengah) pada masa Perang Kesultanan Aceh Darussalam melawan Belanda merupakan benteng pertahanan Aceh terkuat. Hal ini didukung oleh bentang alam kawasan Gayo yang di kelilingi oleh gunung-gunung.
“Penembakan terhadap bivak-bivak (pos-pos militer Belanda) dan patroli musuh dilakukan oleh orang Gayo dari jarak jauh. Sergapan tiba-tiba dari jarak dekat terhadap bivak-bivak dan pertarungan pedang lawan klewang ada juga meskipun jarang terjadi,” ungkap Ibrahim Alfian.
Ibrahim menjelaskan pula bahwa pejuang di Gayo memiliki trik khusus untuk melumpuhkan musuh. Mereka biasanya menghantam pasukan Belanda dengan cara menggulingkan bebatuan besar dari lereng-lereng bukit.
“Cara khas menghantam Belanda adalah dengan menggulingkan batu-batu besar dari lereng-lereng bukit yang curam. Tempat persembunyian barisan muslimin biasanya dalam gua-gua. Wanita dan anak-anak dipergunakan oleh para pejuang Gayo untuk memperhatikan gerak gerik dan arah tujuan musuh, di samping juga untuk menjaga sawah ladang dan tempat-tempat persembunyian,” jelasnya.
Upaya penaklukkan kepada para pejuang di Gayo, harus dilakukan Belanda secara berulang-ulang kali bahkan harus ditempuh dengan berjalan kaki. Van’t Veer (1985) dalam bukunya menuliskan perang Gayo dilakukan oleh Belanda dengan cara berjalan kaki.
“Van Daalen (dalam aksinya) lima bulan dengan dua ratus orang serdadu dan tukang pikul dua kali jumlah itu berjalan kaki di bagian-bagian tertinggi Bur Ni intim-intim yang menjadi bagian dari Bukit Barisan, dengan puncak-puncak setinggi tiga ribu meter dan melalui daerah musuh yang mereka tidak kenal,” tulis Van’t Veer.
Dikecam Parlemen Belanda
Van’t Veer dalam bukunya juga mengungkapkan bagaimana sikap congkak dan angkuh sosok Letnan Jenderal Gotfried Coenraad Ernst Van Daalen sang algojo pembunuhan massal. Van Daalen disebut-sebut sebagai sosok yang tidak tahu malu atas tindakan biadabnya kepada pejuang Gayo serta kaum perempuan dan anak-anak di Gayo.
“Van Daalen, yang sama sekali tidak merasa malu akan tindakannya, justru merasa bangga akan keberhasilannya itu. Seusai penyerbuan itu, ia menyuruh Letnan Neeb memotret tumpukan-tumpukan mayat dalam benteng, dengan para marsose yang berjaya di sebelahnya. Foto-foto itu memperlihatkan bagaimana hasil peristiwanya, bukan bagaimana terjadinya,” jelas Van’t Veer.
Van’t Veer dalam bukunya juga mengutip beberapa tulisan Letnan J.C.J. Kempees, asisten dari Van Daalen mengemukakan tentang aksi yang berlangsung pada 14 Juni 1904 di Kuta Reh menghabiskan waktu selama kurang dari satu setengah jam.
Van’t Veer bahkan mengungkapkan bagaimana aksi keji Van Daalen mendapat kecaman dari parlemen Belanda. Ia dikecam sebagai seorang algojo dengan sejarah pembunuhan yang tidak tertandingi.
“Ekspedisi melalui tanah Gayo dan Alas di Parlemen sudah dicap sebagai pekerjaan algojo. Suatu sejarah pembunuhan yang tiada taranya dan tindakan segerombolan anjing-anjing buas, dan Van Daalen sendiri disamakan dengan Alva,” pungkas Van’t Veer.
Penulis: Kukuh Subekti