ISLAMTODAY ID —Kebijakan penarikan aneka jenis pajak yang menyengsarakan rakyat dalam sejarah pernah terjadi di era kolonial. Salah satunya kebijakan penarikan pajak yang ditetpakan pada tahun 1908, era Gubernur Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz.
Pada tanggal 28 Februari 1908, Belanda menetapkan penarikan tarif pajak dengan tarif yang beragam 1%, 2% dan 3%. Penarikan pajak di seluruh kawasan Hindia Belanda resmi berlakukan pada 1 Maret 1908.
Ragam jenis pajak tersebut terdiri atas pajak kepala (hoofd), pemasukan barang (inkomsten), rodi (hedendisten), tanah (landrente), keuntungan (wins), rumah tangga (meubels), penyembelihan (slach), tembakau (tabak), dan pajak rumah adat (huizen).
Kebijakan pajak tersebut dikeluarkan Belanda pasca dihapuskannya Sistem Tanam Paksa atau Cultuurstelsel pada tahun 1870. Belanda berusaha memaksakan modernisasi pajaknya kepada rakyat Indonesia.
Padahal pajak tanah yang diberlakukan sejak era Inggris, (1811-1816) dan dilanjutkan Belanda sudah cukup menderita. Hal ini terbukti dengan hingga dasawarsa awal abad 20, sebanyak 60% pendapatan pajak tanah pemerintah Belanda diperoleh dari rakyat Indonesia.
Bahkan Belanda masih dengan kejamnya membebani pajak dari jenis pajak yang lain selain tanah. Yang bahkan nilainya lebih tinggi dari bangsa Eropa
Pada tahun 1930-an golongan bangsa Eropa hanya dibebani pajak pendapatan sebesar 7%, sementara rakyat Indonesia yang notabene terjajah harus membayar pajak pendapatan yang setingi langit yakni 19% dari pendapatan.
Dan yang mencengangkan seorang petani pada masa kolonial Belanda dibebani pajak hingga 25%.
Pajak era kolonial identik dengan penderitaan rakyat, dan umat Islam adalah aktor yang melakukan sejumlah perlawanan terhadap kebijakan itu.
Berikut peristiwa-peristiwa perang yang terjadi pasca keluarnya kebijakan pajak Belanda pada 1908.
Selain memicu peperangan di Minangkabau, kebijakan ini juga ditentang oleh rakyat Bima. Terutama pasca kekalahan Kesultanan Bima melawan Belanda dalam Perang Ngali (19 Februari 1908-20 Januari 1909).
Perang Kamang
Tindakan sewenang-wenang Belanda dalam menetapkan tarif pajak nyatanya mendapat respon negatif dari rakyat di Hindia-Belanda. Salah satunya dari rakyat Minangkabau, aksi heroik yang dimotori oleh para ulama (Padri) ini menjadi contoh peristiwa paling bersejarah.
Peperangan melawan kedzaliman Belanda di Kamang pada 15 Juni 1908 menjadi simbol perlawanan rakyat Minangkabau terhadap kesewenang-wenangan Belanda. Belanda dinilai mencederai kesepakatan yang telah disepakatinya pada 25 Oktober 1833.
Di sela-sela peristiwa Perang Padri itu Belanda berjanji tidak akan mencampuri urusan lembaga adat Minangkabau. Salah satu hal yangdiatur oleh lembaga adat Minangkabau ialah berkaitan dengan harta kekayaan.
Sawah, perkebunan, rumah dan lumbung padi berstatus sebagai Harto Pusako (harta pusaka). Sebagai harta pusaka yang berstatus milik bersama, harta tersebut sangat tidak dibenarkan untuk diperjualbelikan atau dimiliki secara pribadi.
Bahkan dalam kesepakatan di Plakat Panjang tersebut Belanda berjanji untuk tidak menarik pajak sepeserpun dari rakyat Minangkabau.
Sementara hal lainnya yang juga menjadi pemicu insiden Perang Belasting di Kamang ialah penarikan pajak untuk penyembeliahan hewan qurban.
Penderitaan Rakyat Bima
Kekalahan yang dialami oleh laskar-laskar rakyat dari Kesultanan Bima dalam Perang Ngali (1909), rupanya membawa dampak buruk bagi rakyat di Bima. Selain melarang diberlakukannya hukum Islam di wilayah Kesultanan Bima, rakyat Bima diharuskan membayar pajak kepada pihak Belanda.
Bagi Belanda kemenangannya berarti hak untuk berkuasa penuh atas Kesultanan Bima. Ia bisa memaksakan beberapa kebijakannya seperti dominasi perdagangan hingga pemaksaan kebijakan pajak yang ditetapkannya pada awal tahun 1908.
Kebijakan pajak Belanda ini semakin menambah kesengsaraan rakyat di Bima. Bagaimana mungkin rakyat Bima yang dipaksa kerja rodi dengan upah 0,025 dalam sehari mampu membayar belasting senilai 250 gulden per orang dewasa per tahun.
Perang Melawan Pemerintah Kafir
Perang kedua yang juga bersejarah bagi Kesultanan Bima ialah Perang Dena. Ngali dan Dena pada tahun 1908 merupakan daerah yang diincar oleh Belanda untuk diserang.
Peperangan di Dena dan Ngali sama seperti di Perang Kamang dan Manggopoh Minangkabau yang dikomandoi oleh seorang ulama. Aksi perlawanan mereka dipicu oleh hadirnya Lange Contract.
Sebuah aturan yang bertujuan meniadakan pemberlakuan hukum Islam di Bima dan digantikan dengan hukum ala kolonialis Belanda. Salah satunya tentu berkaitan dengan pemaksaan belasting kepada rakyat Bima yang mayoritas adalah muslim.
Ulama memiliki peran sentral dalam memompa semangat jihad rakyat di Bima dengan memberikan penjelasan tentang perang melawan dou kafir (orang kafir), dalam hal ini ialah penjajah Belanda.
Perang di Bima sebagai bentuk bahwa mereka tidak ingin membayar bea pajak, melakukan kerja paksa dan tunduk di bawah perintah orang kafir.
Teguhnya mereka dalam memegang prinsip hukum Islam bahkan membuat mereka tetap mengadakan perang. Hal ini ditegaskan oleh ulama di Dena yakni Haji Usman atau Abu Jenggo.
Berikut pernyataan Haji Usman kepada utusan sang Sultan Bima tentang kehadiran penjajah kolonial di Bima, khususnya di Dena. Para ulama di Bima menyebut bahwa pemerintah kolonialis Belanda adalah orang kafir:
“Orang Belanda menginjakkan kakinya di Dena berarti telah menodai agama Islam yang telah dianut oleh segenap penduduka desa Dena pada khususnya dan Masyarakat dou Mbojo pada umumnya. Orang Belanda adalah orang kafir karena itu kami mohon agar orang Belanda dilarang masuk dan menginjakkan kakinya di Desa Hamba, kalau Belanda diijinkan masuk berarti Belanda telah menginjak dan menodai Masyarakat tanah Mbojo yang tercinta ini. Masyarakat Dena ingin menyucikan Agama Islam yang dianut oleh seantero manusia yang berada di Desa Dena.”
Penulis: Kukuh Subekti