ISLAMTODAY ID — Perang anti belasting atau pajak era kolonial (1908) menjadi peristiwa puncak kebencian umat Islam Indonesia terhadap Belanda. Api jihad melawan kolonialisme Belanda pun menyala di berbagai kawasan di Indonesia.
Tinta emas perjuangan umat Islam dan ulama ini terukir abadi dalam sejarah masyarakat Minangkabau dan masyarakat Bima. Mereka tak gentar berjuang melawan pasukan Belanda yang bersenjatakan persenjataan modern.
Para ulama berdiri di depan memimpin perang dengan selalu menggelorakan semangat jihad fi sabilillah kepada para pejuang. Salahsatu seruan yang kerap digelorakan para ulama ialah perjuangan melawan orang kafir (Belanda) adalah jihad fi sabilillah.
Kesewenang-wenangan Belanda dalam memberlakukan penarikan pajak untuk berbagai keperluan masyarakat dinilai tidak adil. Belanda yang merasa sumber kas negaranya berkurang pasca kerugian dari sektor perkebunan yang terus merugi tersebut membebani rakyat dengan menarik pajak.
Pajak dari kepala, perkebunan, pertanian, rumah tangga, rumah adat hingga penyembelihan hewan qurban pun diberlakukan.
Hingga tahun 1940-an kebijakan pajak inilah yang akhirnya memicu penderitaan rakyat di Hindia-Belanda. Salah satunya seperti yang diberitakan oleh Surat Kabar Sinar Hindia 1923: de personele belasting (pajak badan), inkomsten belasting (pajak perusahaan), landrente (pajak tanah), winstenbelasting (pajak perang), meubelasting, hondenbelasting (pajak anjing), Sumatra Tabaksbelasting (pajak tembakau Sumatra).
Berikut fakta-fakta sejarah tentang aksi patriotik umat Islam di bawah pimpinan ulama. Kuatnya penerapan syariat Islam yang berlaku di Minangkabau dan Bima menjadi faktor utama yang mendorong mereka melawan penjajahan Belanda.
Perang Kamang & Perang Manggopoh
Rakyat Minangkabau dikenal sebagai masyarakat yang menjunjung tinggi syariat Islam, adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah. Mereka secara konsisten menerapkan ini sebagai bagian dari tata kehidupan rakyat sehari-hari.
Perang pemberontakan menentang diberlakukannya pajak banyak terjadi di Minangkabau. Diantara yang paling banyak diketahui dengan adanya temuan bukti-bukti sejarah ialah Perang Kamang dan Perang Manggopoh, berlangsung dalam waktu yang berdekatan.
Perang Kamang yang dipimpin oleh Haji Abdul Manan berlangsung pada berlangsung pada 15 Juni 1908. Pertempuran sengit umat Islam ini didahului oleh sejumlah tindakan arogan Belanda.
Dari sekian banyak tindakan sewenang-wenang Belanda terjadi setelah bocornya pertemuan para saudagar dan pemuka agama pada pertengahan Maret 1908. Pertemuan tersebut merespon keputusan Belanda melakukan penarikan pajak pada 1 Maret 1908.
Para saudagar, ulama dan masyarakat Minangkabau dalam pertemuan tersebut menyepakati bahwa mereka akan melakukan penolakan atas kebijakan pajak dengan resiko apapun.
Imbasnya Belanda pun melakukan aksi penculikan terhadap 20 orang pemuka adat yang turut hadir dalam pertemuan pada pertengahan Maret 1908. Para tokoh masyarakat Minangkabau tersebut pun ditangkap dan dibawa ke Bukittinggi oleh Belanda pada 22 Maret 1908.
Aksi penculikan tersebut justru berhasil memantik berbagai aksi perlawanan dari rakyat Minangkabau. Bahkan Belanda pun menanggapi hal ini dengan serius, menghadirkan bala bantuan dari Batavia.
Peristiwa berikutnya yang juga mengawali insiden 15 Juni 1908 di Kamang ialah aksi penyerangan ke benteng Belanda di Batusangkar, 20 April 1908. Pasca insiden di Batusangkar perlawanan yang dilakukan oleh rakyat Minangkabau makin meluas.
Salah satu aksi perlawanan yang paling dikenang publik ialah pertempuran pejuang Minangkabau di Kamang pada 15 Juni 1908. Perlawanan kepada penjajah yang dipimpin oleh Haji Abdul Manan ini juga didahului dengan kedatangan pasukan Belanda ke Kamang pada 6 Juni 1908.
Selain perang Kamang, perang yang juga terjadi di Minangkabau ialah Perang Manggopoh. Perang ini terjadi pada 16 Juni 1908, pada perang Manggopoh muncullah seorang pejuang bernama Siti Manggopoh (28 tahun).
Peperangan di Manggopoh ini sangat heroik sebab berhasil menewaskan 53 orang serdadu Belanda dari total 55 serdadu yang ditempatkan di Manggopoh. Setelah sempat lolos dari pengejaran Belanda, ia pun sempat merasakan tinggal di balik jeruji besi sebelum akhirnya dibebaskan oleh Belanda.
Perang Ngali dan Dena
Peperangan anti belasting tidak hanya muncul di kawasan Kerjaaan Minangkabau. Aksi perlawanan terhadap ‘perampasan’ harta rakyat ini juga berlangsung pada era Kesultanan Bima.
Perang anti pajak atau belasting terjadi di Kesultanan Bima, di Ngali dan Dena terjadi pada tahun 1908 hingga 1910.
Peperangan pejuang Bima di Ngali ini berjalan cukup lama antara 1908 hingga 1909, dengan tokoh utamanya seorang ulama bernama Abbas Daeng Manasa. Mereka berperang melawan Belanda dengan semangat mati syahid.
Jihad Kesultanan Bima melawan Belanda yang lebih lama dari Ngali berlangsung di Dena, dipimpin oleh seorang ulama bernama Haji Usman atau Abu Jenggo.
Ia dibantu oleh ulama lainnya seperti Haji Abdul Aziz, Haji Aburrahim, La Mahamu Ama Beda, Ompu Anco, Haji Hasan, Haji Abubakar, Haji Husen dan Haji Mustafa.
Para ulama di Kesultanan Bima memimpin jihad menentang kewajiban belasting. Mereka secara tegas mengatakan tentang tujuan dari peperangan tersebut ialah untuk melawan dou kafir (orang kafir), dalam hal ini ialah penjajah Belanda.
Hal ini dipicu oleh keengganan mereka untuk membayar bea pajak, melakukan kerja paksa dan tunduk di bawah perintah orang kafir.
Teguhnya mereka dalam memegang prinsip hukum Islam bahkan membuat mereka tetap mengadakan perang. Pada intinya rakyat Bima mengharamkan kehadiran Belanda di tanah kelahiran mereka.
Berikut pernyataan Haji Usman yang juga Panglima Perang Dena kepada utusan Sultan Bima:
“Orang Belanda menginjakkan kakinya di Dena berarti telah menodai agama Islam yang telah dianut oleh segenap penduduka desa Dena pada khususnya dan Masyarakat dou Mbojo pada umumnya. Orang Belanda adalah orang kafir karena itu kami mohon agar orang Belanda dilarang masuk dan menginjakkan kakinya di Desa Hamba, kalau Belanda diijinkan masuk berarti Belanda telah menginjak dan menodai Masyarakat tanah Mbojo yang tercinta ini. Masyarakat Dena ingin menyucikan Agama Islam yang dianut oleh seantero manusia yang berada di Desa Dena.”
Intrik Jahat Belanda di Bima
Rakyat Kesultanan Bima dan Kerajaan Minangkabau merupakan kelompok masyarakat yang sangat kuat dalam menerapkan syariat Islam. Kedua rakyat dari dua kerajaan ini tak segan-segan menyebut Belanda sebagai orang kafir.
Sejak berdiri sebagai Kesultanan Islam pada 5 Juli 1640, Islam menjadi sumber hukum bagi rakyat Bima. Berlakunya syariat Islam di Bima berlangsung hingga beberapa abad kemudian, tepatnya sebelum dihapuskannya Mahkamah Syariah pada 1906.
Upaya Belanda (VOC) menaklukkan Kesultanan Bima sejak awal kedatangannya dilakukan dengan berbagai perjanjian yang terus menerus dipaksakan. Hal ini dimulai dengan adanya perjanjian lisan antara Sultan Salisi atau Sarise dan pihak kompeni.
Pada masa itu Sultan Sarise dan pihak VOC yang diwakili oleh Steven van Hagen melakukan perjanjian lisan. Perjanjian tersebut dalam sumber lokal dikenal dengan Sumpa Ncake, setelah itu keduanya terlibat hubungan dagang, dengan komoditas utamanya berupa beras.
Perjanjian berikutnya dengan pihak Belanda dilakukan pada 8 Desember 1669 terjadi pasca Perjanjian Bongaya (1667) yang dilakukan oleh Sultan Hasanudin (Kesultanan Gowa). Sebab sebelumnya kedua kerajaan (Bima dan Gowa) terlibat kerjasama untuk mengusir Belanda.
Pada perjanjian yang ditandatangai era Sultan Abdul Khair Sirajuddin tersebut Belanda mendesak Bima untuk tidak memberlakukan tarif pajak (cukai) bagi kapal-kapal Belanda. Sejak saat itu setiap ada pergantian sultan, selalu disertai dengan perjanjian-perjanjian baru yang bertujuan untuk menundukan Bima.
Hal ini terbukti dengan perjanjian yang dipaksakan Belanda pada 8 Februari 1765. Belanda secara sewenang-wenang melarang Bima berhubungan dagang dengan pedagang lain baik itu bangsa Eropa maupun kesultanan Islam lainnya di Nusantara.
Termasuk di dalamnya penarikan pajak barang ekspor dan impor dikuasai oleh Belanda.
Salah satu rentetan perjanjian Lange Verklaring atau Plakat Panjang yang dilakukan Belanda, siasat licik untuk menguasai Bima dilakukan pada akhir abad XIX.
Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1881-1915) ketika kesultanan Bima dipaksa tunduk dengan penandatanganan Kontrak Politik Panjang (Plakat Panjang). Belanda terus menerus memaksa penandatanganan perjanjian mulai dari 20 Oktober 1886, kemudian diperbaharui dengan perjanjian 5 Oktober 1887, lalu 24 Juni 1889.
Puncaknya terjadi perjanjian baru tentang penarikan pajak bagi rakyat Bima oleh Belanda 29 Desember 1905.
Perjanjian Bulan Desember tersebut membuat rakyat Bima mulai dibebani aneka pajak oleh Belanda. Mulai dari bea cukai, pajak pelayaran, dan pajak ekspor, lalu setahun kemudian (Desember 1906) Belanda memberlakukan pajak penghasilan (pajak kepala) dan berlaku pada 1 Januari 1907.
Penuli: Kukuh Subekti