ISLAMTODAY ID — Kesultanan Palembang Darussalam dan Sultan Mahmud Badaruddin II adalah simbol kepahlawanan Sumatera Selatan pada awal abad 19. Sepanjang tahun 1819, beliau dua kali memimpin pertempuran besar dengan Belanda.
Kesultanan Palembang Darussalam berhasil memukul mundur pasukan Belanda yang dipimpin Herman Warner Muntinghe pada perang Juni 1819 dan September 1819.
Aksi perlawanan ini dipicu oleh hasil Konvensi London, 13 Agustus 1814 serta wafatnya tiga ulama Kesultanan Palembang yakni Haji Zen, Haji Lanang, dan Haji Kemas yang dibunuh oleh tentara Belanda.
Belanda dan Inggris dalam sejarah kolonialismenya di negeri ini memang kerap melakukan pertukaran wilayah. Bahkan kesepakatan dari kedua bangsa kolonial itu sudah terjadi beberapa kali salah satunya Perjanjian Tuntang pada 1811.
Sebuah perjanjian yang mengharuskan Belanda menyerahkan daerah jajahannya kepada Inggris, termasuk Hindia-Belanda (Indonesia). Namun kekuasaan Inggris termasuk Palembang harus berakhir pasca penandatanganan Konvensi London tersebut.
Mengetahui hal ini Sultan Badaruddin II dari Kesultanan Palembang Darussalam pun berusaha untuk melawan dan menentang ambisi Belanda untuk berkuasa kembali. Perjuangan menentang penjajahan ini menjadi faktor penting penyebab terjadinya Perang Palembang atau Perang Menteng.
Pada perang ini Belanda kalah telak. Dendam kesumat Belanda terhadap Kesultanan Palembang terjadi pasca perang pada 12 Juni 1819 tersebut.
Kemampuan Kesultanan Palembang Darussalam memukul mundur pasukan Belanda dibawah Herman Warner Muntinghe membuat malu Belanda. Sebab dari ribuan pasukan yang dikirim hanya tersisa 350 orang serdadu Belanda.
Pasca kekalahannya pada 15 Juni 1819, Muntinghe pun memutuskan untuk kembali ke Batavia. Muntinghe segera melaporkan tentang kekalahan mereka selama di Palembang kepada Gubernur Jenderal Baron van der Capellen.
Kekalahan ini membuat Belanda harus bekerja ekstra keras terbukti dengan rapat yang dihadiri langsung oleh Gubernur Jenderal, bersama Laksamana G.J. Wolterbeek dan Panglima Angkatan Darat Jenderal Baron de Kock pada 30 Juli 1819.
Perang 1821
Tiga tahun berselang setelah kalah dari dua peperangan sebelumnya, Belanda kembali datang ke Palembang, mereka dengan sengaja memanfaatkan momentum bulan suci Ramadhan. Sebab pada bulan ini rakyat dan Kesultanan Palembang Darussalam tengah fokus pada ibadah Ramadhan.
Perang sengit mempertahankan kedaulatan antara Kesultanan Palembang Darussalam dan Belanda terjadi pada hari Ahad, 24 Juni 1821 bertepatan dengan 25 Ramadhan 1236 H.
Serangan Belanda ini berlangsung pada dini hari ketika umat Islam tengah bersantap sahur.
Rahadian Rundjan dari Ilmu Sejarah UI Tahun 2009 menyebut bahwa Perang Palembang (1819-1821) merupakan perang maritim termahal bagi Belanda.
“Pertempuran maritim yang dilakukan Pemerintah Kolonial Hindia-Belanda terhadap Kesultanan Palembang merupakan yang terbesar dan termahal bagi angkatan laut Kerajaan Belanda di Nusantara saat itu.” (StudiKlub Sejarah)
Akhirnya Belanda dengan intrik licik dan jahatnya pada 25 Juni 1821, berhasil mematahkan perlawanan Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sultan Mahmud Badaruddin II pun ditangkap dan dibawa ke Batavia pada 3 Juli 1821 atau bertepatan dengan 4 Syawal 1236 H. Setelah itu Sultan Mahmud Badaruddin II pun diasingkan Belanda ke Ternate.
Pengakuan Belanda Akan Kehebatan Sultan Badaruddin II
Sultan Badaruddin II memiliki nama asli Raden Hasan Pangeran Ratu. Ia merupakan Sultan Palembang Darussalam ke VII (1803-1821), sosoknya amat sangat ditakuti oleh Belanda.
Selain ditakuti, Sultan Mahmud Badaruddin II juga sosok pemimpin yang disegani karena memiliki figur pemimpin yang berkepribadian menawan. Hal ini diakui langsung oleh pejabat Belanda selama menyaksikannya dalam pengasingan di Ternate yang berlangsung 32 tahun lamanya.
Pejabat Belanda yang dimaksud adalah Gubernur Jenderal Belanda, Baron van der Capellen (1816-1875). Ia dalam buku hariannya menuliskan “Sama sekali tidak biadab, dalam peperangan ia tahu mempertahankan kedudukannya; orang ini betul-betul memperlihatkan sifat-sifat sebagai Raja.” (Risalah Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II Tahun 1981).
Sikap Sultan Mahmud Badaruddin II yang penuh adab ini telah ditunjukannya ketika tidak melakukan serangan balasan kepada Belanda pada hari dimana serangan tiba-tiba dilancarkan Belanda kepada Kesultanan Palembang, Ahad, 24 Juni 1821.
Sultan saat itu berpendapat bahwa hari Ahad adalah saatnya umat Kristiani beribadah, sehingga perlu dihormati. Sebab pada hari Jum’at 22 Juni 1821, Belanda pun tidak menyerang umat Islam di Kesultanan Palembang.
“Pancingannya tidak menyerang di hari Jum’at itu berhasil melengahkan Sultan, pada hari Abad tanggal 24 Juni 1821 itu, setelah Belanda mencabut cerucup-cerucup antara sungai Lais dan Pulau Kemaro mereka berhasil meloloskan kapal-kapal perangnya lalu bergerak ke hulu.” (Risalah Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II Tahun 1981)
Pujian dari Belanda tidak hanya berasal dari Gubernur Jenderalnya, begitu juga penulis berkebangsaan Belanda, W.L. de Sturler. Ia menyebut sosok Sultan Mahmud Badaruddin II sebagai: “Seorang pemimpin yang memiliki kepribadian yang kuat, ksatria, pemberani, jantan, cepat bertindak, cekatan, memanfaatkan waktu yang tepat, teguh pendirian.”
Buku Risalah Sejarah Perjuangan Sultan Mahmud Badaruddin II juga menyebutkan lebih rinci mengenai perangai sang sultan. Ia seorang sultan: “Berwatak kesatria, seorang pemberani, bersifat jantan, cepat dalam bertindak, seorang yang memiliki pandangan yang jauh ke depan, sehingga dapat menentukan waktu y_ang tepat, berpendirian teguh, seorang yang alim, sabar dan bertaqwa kepada Allah, mahir dalam karang mengarang, pemimpin perang- yang cekatan, merupakan seorang taktikus dan ahli siasat (“Strateeg”) yang ulung dizamannya, tahu akan martabat dan kedudukannya sebagai seorang raja yang agung, seorang pemimpin yang bijaksana, dapat menghargai sikap para sahabat, handai taulan dan terutama kaum kerabatnya, konsekwen hingga akhir hayatnya seltagai seormg yang anti imperialis dan anti kolonialis.”
Pengakuan Belanda bahwa Sultan Mahmud Badaruddin II merupakan sosok ahli strategi perang ini ditunjukan dengan sulitnya mereka menembus benteng-benteng pertahanan Kesultanan Palembang. Terbukti Belanda harus bersusah payah untuk bisa menembus benteng pertahanannya di Pulau Kemaro dan Tambak Bayo di Plaju pada 1819 dan 1821.
Anti Penjajahan Inggris Dan Belanda
Sejak delapan tahun pertama ia menduduki kursi kesultanan ia rupanya telah lebih dulu melakukan perang melawan melawan berbagai kolonialisme. Insiden melawan berbagai kolonialisme di Palembang ini terjadi bahkan sebelum Inggris dan Belanda tandatangani Perjanjian Tuntang pada 18 September 1811.
Peristiwa tersebut bernama Loji Sungai Aur yang berlangsung pada 14 September 1811. Peristiwa ini menjadi bukti bahwa Kesultanan Palembang di bawah pimpinan Sultan Mahmud Badaruddin II adalah negeri yang berdaulat.
Sultan Mahmud Badaruddin II makin teruji pasca mengetahui Konvensi London pada 1814. Ia sadar bahwa kedua bangsa kolonial baik Inggris maupun Belanda sama-sama berhasrat menguasai Palembang.
Hal ini tidak bisa dilepaskan dari kenyataan bahwa Palembang merupakan daerah penghasil rempah berupa lada dan cengkeh yang menjanjikan. Bahkan Kesultanan Palembang Darussalam diberkahi dengan tambang timahnya yang berlimpah.
Demi mempertahankan eskistensi dan kedaulatan Kesultanan Palembang ini Sultan Mahmud Badaruddin II tidak segan-segan untuk menyatakan perang. Baik dengan Inggris maupun dengan Belanda, perlawanan kepada kolonialisme ini berlangsung hingga akhirnya ia harus diasingkan jauh ke Pulau Ternate, Maluku.
Mengenang jasanya melawan dua penjajah Inggris dan Belanda sejak tahun 1811 hingga 1821 pemerintah menganugerahinya gelar Pahlawan Nasional pada 29 Oktober 1984.
Nama Sultan Badaruddin II juga diabadikan sebagai nama bandara internasional di Kota Palembang, Sumatera Selatan yakni Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sejak tahun 2005, pemerintah pun mengenang jasanya dengan menyematkan sosoknya dalam lembaran mata uang senilai Rp 10.000.
Penulis: Kukuh Subekti