ISLAMTODAY ID — Pada kesempatan ini kita akan mengenal Jazirah Leihitu atau Kesultanan Tanah Hitu abad ke-15 M. Merupakan salah satu dari tiga Kesultanan Islam di Maluku bagian Selatan tepatnya Ambon.
Maluku merupakan kawasan penghasil rempah-rempah seperti cengkih, pala, kopi. Fakta ini membuat Maluku memiliki daya tarik tersendiri bagi para pedagang asing.
Nama Maluku disebut-sebut berasal dari bahasa Arab, Jaziratul Muluk atau wilayah banyak raja. Sebutan ini tentu ada benarnya sebab muluk adalah bentuk jamak untuk penyebutan raja dalam bahasa Arab.
Pulau Maluku sudah dikenal orang sebagai pulau seribu pulau. Pulau yang terletak diujung timur Indonesia ini memang memiliki banyak pulau-pulau besar, seperti Ternate, Tidore, dan Seram. Maluku juga memiliki pulau-pulau kecil seperti Nusalaut, Saparua, Haruku, Boano, Kelang dan Manipa. Di tiap pulau berdiri kesultanan Islam.
Kerakusan Bangsa Barat
Mula-mula pedagang-pedagang di Maluku hanya bertransaksi dengan pedagang dari nusantara, Arab, Persia dan Turki. Namun, sekitar abad 16 bangsa Barat seperti Portugis, Belanda dan Spanyol yang haus rempah rempah memburunya hingga Maluku.
Bangsa Barat yang dating pertama adalah Portugis (1512) kemudian disusul Belanda (1599). Pada mulanya mereka hanya melakukan hubungan dagang. Namun, lambat laun mereka melakukan langkah langkah licik untuk menguasai negeri yang kaya akan rempah rempah ini. Salah satunya dengan melakukan politik adu domba antar kesultanan Islam di Maluku.
Selain gemar melakukan politik adudomba mereka juga melakukan agenda Misionaris (Portugis) dan Zending (Belanda). Hal ini memicu perlawanan kaum muslimin dan para Sultan. Salah pertempuran yang terekam sejarah terjadi di Kesultanan Tanah Hitu.
Perang Sabil
Para pejuang dari Kesultanan Tanah Hitu menyebut peperangan melawan Portugis sebagai Perang Sabil. Sebab peperangan tersebut terjadi antara pasukan Islam dan tentara kafir.
Perang Sabil pertama meletus pada masa Sultan Mateuna. Ia adalah sultan kelima dari Kesultanan Tanah Hitu yang wafat pada 29 Juni 1634.
Salah satu mitra sukses dalam peperangan ini adalah Ratu Kalinyamat dari Jepara. Pertempuran melawan portugis berkobar tahun 1564 dan 1565. Berkat bantuan Ratu Kalinyamat Portugis berhasil memukul kekuatan Portugis dan menyingkir dengan mendirikan Benteng Kota Laha di Teluk Ambon pada 1575.
Intrik Belanda
Bangsa Barat lainnya yang menginjakkan kaki di Kesultanan Tanah Hitu adalah Belanda. Mengetahui kemelut perang antara kesultanan Tanah Hitu dan Portugis, belanda menyusun siasat licik.
Belanda menjanjikan kerjasama untuk melawan Portugis. Tepat pada 25 Februari 1605 Portugis menyerah dan meninggalkan Ambon. Selain itu juga membantu mengusir inggis, jepang dan Spanyol.
Bantuan Belanda kepada Kesultanan Tanah Hitu untuk mengusir Portugis rupanya hanya modus untuk menancapkan kekuasannya.
Hal ini ditandai dengan diangkatnya Frederik de Houtman (kakak dari Cornelis de Houtman) sebagai Gubernur Jenderal Belanda pertama di Maluku.
Seiring berlannya waktu, wilayah kekuasaan Belanda pun semakin luas. Keretakan hubungan Kesultanan Hitu-Pemerintah Kolonial Belanda terjadi.
Kesultanan hitu berjuang mati-matian melawan Belanda. Namun, kemenangan gagal diraih. Pada pertengahan abad ke 17 Belanda makin berkuasa di Maluku.
Hikayat Tanah Hitu
Peristiwa perang sabil di Maluku juga dimuat dalam Hikayat Tanah Hitu atau Hikayat Rijali. Naskah Hikayat Tanah Hitu ini terbagi atas empat bagian, setiap bagian mewakili beberapa persitiwa penting.
Bagian pertama tentang pendirian dan sistem pemerintahan yang berlangsung di Tanah Hitu. Kedua tentang perang sabil antara Kesultanan melawan Portugis (1512-1605). Ketiga kedatangan Belanda (VOC) dan penerapan monopoli cengkih (1605-1648). Keempat perang melawan kolonialisme Belanda (1643-1646), akhirnya rakyat banyak yang mengungsi ke Makassar.
Meletusnya Perang Sabil, perlawanan antara rakyat Maluku dan Belanda ini secara singkat disebutkan dalam naskah Hikayat Tanah Hitu. Sebab aktivitas zending yang dilakukan Belanda telah membuat resah rakyat di Kesultanan Tanah Hitu.
“Lalu berperang pula serang-menyerang, alah-mengalah, sentiasa tiada berkeputusan perang di Ambon dengan orang Nasreini itu, karena kehendakriya Nasrani itu enda mengerusakkan agama Islam dimasukkan agama Nasrani. Daripadanya dan demikian lagi kehendaknya Islam enda mengerusak agama Nasrani dan Yahudi dimasukkan agama Islam.”
Kolonialisme Belanda di Pulau Maluku sebagaimana yang dimuat di bagian empat Hikayat Tanah Hitu menyebabkan banyak rakyat Maluku (Islam) memilih mengungsi ke Makassar. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kawasan Maluku akhirnya lebih dikenal sebagai kawasan Kristen.
M.S.Putuhena (1970) menjelaskan tentang awal mula Islam masuk di Maluku. Khususnya berdasarkan tradisi lisan Islam yang berkembang di Maluku, Islam diyakini telah ada sejak abad kedua hijriyah atau abad ke-8 Masehi.
Hal yang menarik tentang perkembangan Islam dan Kristen diungkapkan oleh Radjawane (1960). Ia dalam tulisannya seolah menjawab tentang berhasilnya kegiatan zending di Maluku, dibalik banyaknya pengungsi asal Maluku ke Makassar.
Ia menyebut pada saat Belanda berkuasa di Maluku, umat Islam lebih memilih menarik diri dari bidang pemerintahan dan politik. Mereka sama sekali tidak ingin bersentuhan langsung dengan Belanda.
Akibatnya umat Islam pun dikucilkan dalam hal akses pendidikan, sebab untuk bisa bersekolah syaratnya harus beragama Kristen. Hal senada pun terjadi juga dalam bidang militer.
“Faktor-faktor inilah yang menyebabkan Maluku seakan-akan diidentikkan dengan agama Kristen karena yang paling banyak memasuki lapangan pemerintahan, pendidikan dan kemiliteran adalah orang-orang Maluku yang beragama Kristen. Sedangkan orang-orang yang beragama Islam umumnya menarik diri dari ketiga lapangan tersebut, sehingga tidak dikenal di seluruh Indonesia.” (Radjawane; 1960).
Salah satu alasan mengapa Belanda membiarkan gerakan zending berkembang pesat di Ambon, ialah sebagai tandingan atas gerakan misionaris yang diterapkan Portugis.
Masifnya gerakan zending inilah yang kemudian membuat gerakan Muhammadiyah bisa tumbuh pesat di Maluku. Buku Sejarah Kebudayaan Maluku terbitan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1999) menyebutkan bahwa seiring lahirnya Muhammadiyah di Yogyakarta (1912), maka pada tahun 1950-an banyak lembaga pendidikan muncul di Maluku.
Penulis: Kukuh Subekti