ISLAMTODAY ID — Proklamasi kedua Republik Indonesia (RI) oleh Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) IX, di Yogyakarta. Menjadi peristiwa puncak dalam sejarah perjuangan RI selama beribukota di Yogyakarta.
Yogyakarta telah menjadi saksi perjuangan para pejuang melawan invansi militer Belanda di Indonesia. Berbagai peristiwa penting telah terjadi di Yogyakarta, mulai dari Amanat 5 September 1945 (bergabungnya Kesultanan Yogyakarta ke RI), ditetapkannya Yogyakarta sebagai ibukota negara per 4 Januari 1946.
Selain itu para pejuang di Yogyakarta pun terlibat dalam aksi militer melawan Agresi Militer Belanda I & II pada 21 Juli 1947 dan 19 Desember 1948. Mereka juga menginisiasi Serangan Oemoem 1 Maret 1949, hingga peristiwa Jogja Kembali pada 29 Juni 1949.
Makna Proklamasi Kedua
Proklamasi kedua erat sekali dengan penarikan tentara Belanda pada 24 Juni hingga 29 Juni 1949. Sebagai salah satu kesepakatan dalam Perjanjian Roem-Royen.
Sri Sultan HB IX kembali mengambil peranan penting selaku Menteri Negara Koordinator Keamanan, untuk mencegah kekosongan pemerintahan di wilayah RI.
Mengingat pimpinan RI seperti Soekarno-Hatta belum tiba di Yogykarta, mereka baru kembali pada 6 Juli 1949. Sementara itu Panglima Besar, Jenderal Soedirman baru mengakhiri perang gerilyanya pada 10 Juli 1949.
Pembacaan proklamasi kedua sekaligus menjadi bukti kepada dunia internasional bahwa Pemerintah RI masih eksis pasca pendudukan Belanda (1945-1949).
Berikut kutipan naskah Proklamasi Kedua:
Pada hari Kamis tanggal 30 Juni 1949 kekuasaan pemerintah di seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta kembali di tangan pemerintah Republik Indonesia, yang berkedudukan lagi di Ibu Kota Yogyakarta.
Atas penetapan Paduka Yang Mulia Presiden, Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia, maka buat sementara waktu kekuasaan pemerintah republik, baik sipil maupun militer, di Daerah Istimewa Yogyakarta dipegang dan dijalankan oleh Menteri Negara Koordinator Keamanan dengan dibantu oleh segala badan pemerintahan dan alat kekuasaan serta pegawai negeri yang ada dan yang akan datang di Daerah Istimewa Yogyakarta
Segala badan dan peraturan negara Republik Indonesia yang ada sebelum hari dan tanggal pengembalian kekuasaan di tangan pemerintah Republik Indonesia, langsung berlaku selama tidak diadakan ketentuan lain.
Setelah keadaan mengizinkan, maka segera Paduka Yang Mulia Presiden, Paduka Yang Mulia Wakil Presiden serta anggota-anggota pemerintah Republik Indonesia lainnya akan kembali ke Yogyakarta.
Yogyakarta, 30 Juni 1949
Atas nama Presiden Republik Indonesia,
Menteri Negara Koordinator Keamanan,
Hamengku Buwono IX
Kiprah Sri Sultan HB IX
Sri Sultan HB IX memiliki sejumlah peran penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Selain membacakan naskah Proklamasi Kedua, ia lebih dulu melakukan berbagai langkah dan kebijakan strategis untuk membantu pemerintah pusat.
- Surat Usul Ibukota Dipindahkan Sementara ke Yogyakarta
Pasca proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, kota Jakarta dalam situasi yang tidak aman. Pejabat pemerintah dan rakyat di Jakarta dalam posisi terancam keselamatan dan keamanan mereka.
Belanda lewat tentaranya NICA (Netherland Indies Civil Administration) membonceng tentara sekutu, tiba di Jakarta pada 5 Oktober 1945. Kedatangan mereka membuat ibukota menjadi kian mencekam, setiap harinya tentara kolonial Belanda melakukan aksi penembakan secara brutal.
Keganasan para tentara Belanda tersebut terjadi sejak 6 Oktober hingga Desember 1945 dengan 8000 korban jiwa. Sri Sultan pun berinisiatif agar untuk sementara ibukota negara dipindahkan ke Yogyakarta.
Rapat kabinet kabinet pemerintah 3 Januari 1946, memutuskan untuk menerima tawaran tersebut. Maka terhitung sejak 4 Januari 1946 hingga 27 Desember 1949, Yogyakarta menjadi ibukota negara.
- Sri Sultan Menghadapi Agresi Militer Belanda
Jasa Sri Sultan dalam menghadapi agresi militer Belanda ini terlihat saat mendukung gerakan jihad fi sabilillah umat Islam Yogyakarta melawan Belanda.
Hal ini terjadi pasca Ki Bagus Hadikusumo mengeluarkan Amanat Jihad Muhamamdiyah pada Mei 1946. Amanat Jihad ini kemudian disusul dengan berdirinya badan militer bernama Markas Ulama Perang Sabil (MUAPS).
Sebuah badan yang mewadahi mantan laskar-laskar Islam (Hizbullah dan Sabilillah) dengan membentuk Askar Perang Sabil (APS). Mereka dipersiapkan untuk membantu perjuangan tentara Indonesia.
Sri Sultan HB IX menyambut baik tekad umat Islam, hal ini disampaikannya kepada perwakilan umat Islam Yogyakarta Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mahfudz Siradj, dan K.H. Ahmad Badawi.
Dukungan Sri Sultan ini ditunjukkan dengan adanya Surat Kekancingan. Adapun surat itu berbunyi, “…sudah menerima menghadap Ki Bagus Hadikusumo, K.H. Mahfudz Siradj, dan K.H. Ahmad Badawi sebagai wakil para ulama di Yogyakarta, yang menyampaikan permohonan para uama di Yogyakarta setelah melaksanakan iktikaf memohon kepada Allah SWT di Masjid Taqwa Kampung Suronatan Yogyakarta pada malam hari tanggal 17 bulan puasa tahun 1879 Jawa atau tanggal 23 bulan Juli tahun 1947…”
Surat dukungan Sri Sultan juga diakhiri dengan keterangan bahwa Surat Kekancingan atau Serat Kekancingan tersebut merupakan dukungan Sri Sultan kepada Asykar Perang Sabilillah (APS):
“Serat Kekantjingan Dalem Ngarsa Sampejan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Ngajogjakarta Dumateng Asjikar Perang Sabilillah.”
Selain itu Sri Sultan juga menolak tawaran Belanda untuk menjadi Raja Jawa dan Madura setelah mereka berhasil membombardir Yogyakarta.
Sri Sultan justru membuat rencana serangan kepada Belanda. Pada 14 Februari 1949, ia bersama Soeharto yang saat itu masih menjadi kolonel tentara melakukan rapat untuk menyusun strategi perang melawan Belanda.
Serangan tersebut ialah Serangan Oemoem 1 Maret 1949. Mereka pun berhasil memukul mundur pasukan Belanda.
Usaha ini berhasil dengan ditandatanganinya perjanjian Roem-Royen, 7 Mei 1949. Dengan salah satu kesepakatan ialah penarikan kembali tentara Belanda dari wilayah Indonesia atau Yogya Kembali.
Penulis:Kukuh Subekti