ISLAMTODAY ID — Ulama memegang peranan penting dalam sejarah perlawanan terhadap berbagai kolonialisme asing di Indonesia. Termasuk peristiwa herois perlawanan rakyat Banten yang berasal dari berbagai kalangan mulai dari petani, santri dan para ulama, pada Senin 9 Juli 1888.
Saat itu rakyat Banten tengah mengalami paceklik berkepanjangan. Mulai dari wabah penyakit kolera, sampar (pes) yang menyerang rakyat dan wabah penyakit yang menyerang hewan ternak pada tahun 1879-an hingga bencana alam meletusnya Gunung Krakatau 23 Agustus 1883.
Di tengah-tengah penderitaan rakyat yang berkepanjangan tersebut, pemerintah kolonial Belanda menunjukkan sikap represif. Kedzaliman Belanda makin tidak manusiawi dengan sejumlah kebijakan seperti larangan beribadah di masjid hingga penarikan tarif pajak yang sangat tinggi.
Situasi yang krisis multidimensi di tengah-tengah rakyat Banten inilah peran ulama sangat dibutuhkan. Bahkan orientalis Belanda, Snouck Hurgronje mengakui sepak terjang para ulama Banten dalam memimpin jihad menentang berbagai praktik kolonialisme.
“Sebagian besar asal para ulama paling dihormati, penggagas gerakan intelektual berasal dari Banten” demikian ungkap pemerhati sejarah lokal Banten, Heriyadi.
Kehadiran ulama menjadi pengayom, pelindung, penyemangat dan motivator yang dinantikan oleh umat Islam di Banten. Hal inilah yang dilakukan oleh Kiai Haji Wasyid, Syekh Abdul Karim atau Haji Abdul Karim, dan K.H. Tubagus Ismail menjadi oase bagi rakyat Banten.
Mereka memiliki andil besar dalam memompa semangat perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda. Berikut ini adalah sosok Kiai Haji Wasyid sebagai tokoh utama dalam gerakan ulama melawan kolonialisme Belanda di tanah Banten.
Haji Wasyid Dari Melawan Syirik Hingga Memimpin Jihad
Kiai Haji Wasyid atau Haji Wasyid memiliki nama kecil Qosyid bin Muhammad Abbas. Ia mewarisi darah pejuang dari sang ayah serta kakek buyutnya Ki Mas Jong seorang pejuang pada masa Kesultanan Banten.
Kiai Haji Wasyid juga merupakan salah seorang murid dari ulama ternama Syekh Nawawi Al-Bantani. Ulama Banten ternama yang juga guru dari Haji Ahmad Dahlan dan Hasyim Asy’ari.
Ulama yang lahir pada tahun 1843 ini hidup di zaman rakyat Banten mengalami disorientasi ke-Islaman.
Musibah dan penderitaan rakyat Banten yang tak kunjung berakhir membuat mereka pernah kehilangan arah. Praktik-praktik kesyirikan merajalela di masyarakat Banten, hal ini membuat Kiai Haji Wasyid tergerak untuk segera menyelamatkan rakyat.
Salah satu peristiwa kesyirikan yang berusaha dihentikan olehnya terjadi di Desa Lebak Kelapa, Kecamatan Pulau Merak, Cilegon, Banten. Rakyat Banten di sana menyembah pohon besar yang dianggap keramat.
Sang kiai lebiih dulu mengingatkan mereka dengan cara baik-baik, namun rupanya fatwa dan seruannya tak diindahkan. Akhirnya ia bersama murid-muridnya terpaksa merobohkan pohon yang dikeramatkan tersebut.
Penebangan pohon demi menyelamatkan akidah umat Islam di Banten tersebut justru membuatnya harus berurusan dengan pihak Belanda. Sang pemilik pohon yang merasa dirugikan karena kehilangan pendapatannya dari uang sesaji pohon tersebut melaporkan pada Belanda.
Pengadilan Belanda pada 18 November 1887 memvonis sang kiai bersalah. Selain itu Belanda meminta sang kiai membayar denda senilai 7,50 gulden.
Bagi umat Islam dan kalangan santri ketetapan pengadilan beserta vonis lainnya memantik kebencian dan kemarahan mereka. Hal ini ditunjukkan dengan insiden penyeragan terhadap tangsi militer Belanda pada 19 November 1887.
Pasca insiden tersebut Belanda makin represif kepada umat Islam di Banten. Mereka menerapkan berbagai aturan konyol seperti melarang ibadah shalat dan mendirikan menara pengeras azan yang tinggi di masjid-masjid.
Tidak hanya itu pihak kolonial juga menyebar mata-mata untuk memata-matai gerakan umat Islam. Mirisnya tindakan Belanda tersebut didukung oleh para pejabat pemerintahan dengan sikap antipatinya terhadap ulama dan kiai.
Kebijakan pemerintah Belanda lainnya yang turut memantik api jihad umat Islam ialah penarikan pajak. Rakyat ditarik pajak perahu dan pajak berbagai usaha rakyat.
Amarah rakyat Banten pada Belanda makin memuncak dengan insiden perobohan menara masjid oleh Asisten Residen Goebels. Keberadaan menara di bekakang rumah dinasnya dianggap telah mengganggu kenyamanannya.
Goebels bahkan meminta agar pejabatnya membuat surat edaran larangan azan, shalawat tarhim. Melihat kedzaliman Belanda yang makin sewenang-wenang para kiai di Banten mulai merapatkan barisan.
Pada 22 April 1888, sebanyak 300 orang berkumpul di kediaman Kiai Haji Wasyid. Mereka mendeklarasikan diri untuk segera menunaikan perang sabil melawan tentara kafir Belanda.
Akhirnya dalam pertemuan 22 Juni 1888, mereka memutuskan untuk melakukan serangan pada 9 Juli 1888. Kiai Haji Wasyid bertindak sebagai pemimpin jihad gugur pada usaha perang gerilyanya melawan Belanda pada 30 Juli 1888.
Ulama lainnya yang mati syahid bersama Haji Wasyid adalah Kiai Haji Tubagus Ismail, Haji Usman dan Haji Abdul Gani. Sementara para ulama dan pejuang lainnya ditangkap dan diasingkan oleh Belanda. Sementara 94 orang ulama pejuang lainnya dibuang ke berbagai wilayah seperti Banda, Bukittinggi, Buton, Flores, Minahasa, Ternate, Saparua hingga Ambon.
Insiden berdarah di Cilegon pada 133 tahun yang lalu menewaskan 19 tentara Belanda, dan melukai 7 orang tentara Belanda. Selain menewaskan dan melukai pasukan Belanda, peristiwa yang terkenal paling heroik ini menyebabkan 30 orang umat Islam gugur sebagai syuhada dan 13 orang terluka.
Penulis: Kukuh Subekti