ISLAMTODAY ID — Tahun 1918 menjadi tahun yang mencekam bagi banyak negara, akibat munculnya wabah Flu Spanyol. Virus influenza H1N1 diyakini lebih banyak memakan korban jiwa dibandingkan dengan wabah black death pada abad ke-14 Masehi.
Dikutip dari buku ‘Yang Terlupakan Pandemi Influenza 1918 di Hindia Belanda’ wabah yang mewabah pada Perang Dunia I ini sebenarnya bukan berasal dari Spanyol. Penamaan wabah penyakit mematikan lebih dikarenakan publikasi pertama.
“Publikasi mengenai wabah ini pertama kali dilakukan oleh pers Spanyol. Sejak itulah wabah ini dinamakan Flu Spanyol bukan Flu Amerika negara yang mencatat korban pertama atau Flu Perancis sebagai daerah yang sebagai daerah yang dianggap pertama kali mencatat merebaknya wabah tersebut secara luas,” tulis Priyanto Wibowo dkk.
Buku yang disusun oleh Tim Departemen Sejarah Universitas Indonesia (UI) pada tahun 2009 itu juga menyebut jika sejak Maret hingga Juli 1918 telah menyebar di beberapa negara. Baik di Afrika Utara, India, Filipina, Selandia Baru dilaporkan telah terjangkit Flu Spanyol.
Dijelaskan pula faktor pemicu terjangkitnya penyakit adalah kepanikan seseorang dalam merespon suatu penyakit. Terutama ketika berita tentang isu ini menyebar luas.
Ketika seseorang panik, ia mengabaaikan beberapa langkah pencegahan seperti rutin mencuci tangan, menutup hidung dan mulut saat bersin dan batuk. Ditambah tidak melakukan jabat tangan atau berbagi gelas dengan mereka yang sedang mengalami flu.
Kasus Hindia Belanda
Pemerintah kolonial Belanda sempat memandang remah tingginya kasus kematian inluensa di Hindia Belanda. Mereka mengabaikan informasi terkait mewabahnya Flu Spanyol yang telah menyerang berbagai negara.
Rumah sakit-rumah sakit di Hindia Belanda mulai melaporkan kasus tersebut pada Juli 1918. Wabah ini kian parah pada akhir tahun 1918, hal ini dibuktikan dengan adanya laporan daerah seperti Banjarmasin, Buleleng, Banyuwangi, Surabaya.
Pada periode Oktober hingga Desember 1918, jalur transportasi dan pasar diyakini sebagai media penyebar virus. Dalam kasus ini Muntilan Magelang sebagai contoh kasus.
Buku tersebut menggunakan laporan dari P.B. van Steenis yang terdapat dalam Geneedkundig Tijdschrift voor Nederlandsch Indie, tahun 1919. Disebutkan jika wabah berasal dari kedatangan para pedagang yang berasal dari Yogyakarta.
Namun para sejarawan UI juga mengungkapkan keraguannya atas informasi tersebut, mengingat tidak ditemukannya laporan resmi dari otoritas Belanda di Yogyakarta.
“….opini dari Yogyakarta masih perlu diragukan, mengingat tidak ada laporan tentang wabah influenza oleh pejabat kolonial Belanda di Yogyakarta pada saat itu.”
Pada periode yang sama penggunaan jalur laut oleh para imigran juga memicu mewabahnya Flu Spanyol di Semarang. Mengingat interaksi Semarang dan daerah lainnya pada Desember 1918, didominasi oleh jalur laut daripada jalur darat.
“Kedatangan emigran ke Semarang ini diduga masuk lewat jalur laut mengingat frekuensi transportasi darat antara Semarang dengan Jawa Timur atau kota-kota lain yang telah terjangkit influenza lebih sedikit.”
Penyakit influenza yang terjadi Hindia Belanda pada periode 1918 hingga 1919 tidak lagi hanya Flu Spanyol. Melainkan juga munculnya Demam Kuning dengan sumber penyebaran yang sama yakni jalur laut, pelabuhan dan perkapalan.
Kasus Magelang dan Tana Toraja
Para peneliti sejarah dari UI itu juga menyebutkan sejumlah kasus di beberapa daerah seperti Magelang dan Tana Toraja. Untuk kasus Magelang para sejarawan mengutip pemaparan Prof. Dr. Slamet Iman Santoso dalam memoarnya Warna-warni Pengalaman Hidup R. Slamet Iman Santoso.
Pada masa itu di tahun 1918, wabah influenza menginfeksi ratusan orang dan menewaskan puluhan orang di Muntilan. Bahkan karena banyaknya korban jiwa, membuat toko kain kafan harus tutup khawatir diserbu oleh pembeli.
Banyaknya korban meninggal juga terjadi di wilayah Kedu lainnya seperti Bandongan, Magelang. Dimana setiap ada korban meninggal segera dipersiapkan pemakamannya, hal ini untuk mengantisipasi kasus serupa pada waktu yang sama.
Misalnya jika seseorang meninggal pada pukul 16.00 maka ia akan segera dimakamkan pada malam itu juga atau maksimal besok paginya pukul 06.00. Tindakan ini tentu menunjukkan kepada kita bahwa virus influenza pada awal abad ke-20 itu adalah persoalan serius.
Selanjutnya para sejarawan UI tersebut menambahkan paparan Colin Brown untuk menjelaskan situasi yang sama di Tana Toraja. Wabah influenza menyebabkan 10 persen dari 3000 penduduk di Tana Toraja meninggal.
Lambannya Pemerintah Belanda
Pemerintah kolonial Belanda dalam merespon mewabahnya Flu Spanyol di Indonesia tersebut. Hal ini terlihat dengan waktu keluarnya kebijakan resmi pada 20 Oktober 1920.
Sebuah kebijakan yang dimuat dalam Lembaran Negara Hindia Belanda (Staatsblad van Nederlandsch Indie) No. 723 Tahun 1920. Sejumlah pihak pun dikenai kebijakan tersebut seperti Dinas Kesehatan Umum (Burgerlijke Gezondheid Toestand), kepala pelabuhan (haven meester) dan nahkoda kapal (gezaghebber).
Kelambanan ini ditunjukkan dengan rentang waktu dua tahun pasca peringatan pertamaa tahun 1918. Sekaligus menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menuntaskan masalah influensa di Hindia Belanda.
Pemerintah di Batavia itu dinilai abai dengan sejumlah peringatan dini yang masuk. Selain itu pemerintah juga mengabaikan laporan para pejabat di tingkat daerah.
Di tengah situasi yang tidak jelas rakyat Hindia Belanda melakukan sejumlah langkah inisiatif. Ada yang meresponnya dengan hal-hal yang berbau spiritual. Begitu pula dalam bidang pengobatan, rakyat mulai mengonsumsi jamu-jamu herbal tradisional.
Penulis: Kukuh Subekti