ISLAMTODAY ID — Hari ini, tepat 20 tahun lalu, tanggal 23 Juli 2001 untuk kali kedua di Indonesia terjadi pemakzulan presiden yang dilakukan oleh lembaga Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR). Pemakzulan pertama MPR dilakukan kepada Presiden Sokarno (1967) saat menolak pidato pertanggungjawaban yang berjudul Nawaksara.
Namun demikian ada yang menarik dari pemakzulan Gusdur. Hingga kini mampu mengundang banyak pihak penasaran untuk mengkajinya, terutama oleh para pakar hukum tata negara.
Pernyataan menarik pernah dikeumukakan oleh Pakar Hukum Tata Negara, Mahfud MD ia menilai pemakzulan Gusdur cenderung cacat hukum. Pasalnya pemakzulan ini tidak berjalan sesuai dengan mekanisme pemakzulan yang benar.
“Pelengseran Gusdur secara konstitusi salah. Mestinya itu tanggal 1 Agustus tetapi dimajukan menjadi 23 Juli 2001. MPR langsung mempercepat sidang Gus Dur , harusnya diberi memorandum I dan II. Ini menjadi cacat hukum,” kata Mahfud MD dilansir dari merdekacom (23/01/2014).
Pakar Hukum Tata Negara dari IAIN Antasari, Arie Sulistyoko dalam jurnal Syariah ‘Jurnal Hukum dan Pemikiran’ edisi Juni 2016 mengemukakan jika pemakzulan Gus Dur menunjukkan bahwa status Indonesia sebagai negara hukum (rechtsstaat) belum berjalan sempurna.
Ia menjelaskan pemakzulan presiden dalam UUD 1945 harus menempuh jalan hukum yang panjang. Bahkan berdasarkan teori pemakzulan di Indonesia, pemakzulan dapat dilakukan jika memenuhi beberapa syarat seperti korupsi, maksiat, dan pelanggaran hukum lainnya.
Mengingatkan kembali jika saat pemakzulan Gusdur itu terjadi, ia dikaitkan dengan dua kasus hukum. Pertama, kasus penyalahgunaan dana Yayasan Bina Sejahtera (Yanatera), Bulog senilai Rp 35 miliar.
Kedua, kasus Bruneigate yakni penyelewengan dana bantuan dari Sultan Brunei Darussalam, Hasanal Bolkiah senilai USD 2juta. Namun tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2003 Kejaksaan Agung (Kejagung) menyatakan Gusdur tidak terlibat dalam dua kasus tersebut.
Keterbelahan Pers
Pandangan pers dalam kasus lengsernya Gusdur diungkapkan oleh Teguh Santosa, pendiri kanal berita online RMOL. Hal ini disampaikannya dalam kanal Youtube Refly Harun (22/07/2021) bahwa pada masa itu pers terpecah dalam beberapa kelompok yakni Istana Negara, Gusdurian dan istana Wakil Presiden.
Sebagai seorang wartawan ia mengungkapkan jika pada masa itu wakil presiden (Wapres) Megawati Soekarno Putri memainkan peranan penting di kalangan pers. Salah satunya melalui agenda Coffee Morning yang diadakan rutin setiap hari Jum’at oleh Sekretaris Wapres (1999-2001), Bambang Kesowo.
“Waktu itu kelihatan ada yang disebut sebagai wartawan Gusdurian, ada yang di istana, ada yang di Wapres juga. Jangan salah wapres juga memainkan peranan penting,” ungkap Teguh sebagai saksi sejarah dalam peristiwa pemakzulan Gusdur pada Juli tahun 2001 silam.
“Bambang Kesowo itu waktu itu Sekretaris Wapres itu sangat rajin bikin Coffee Morning setiap Jum’at, mengundang wartawan untuk menyampaikan perspektif dari ibu Mega,” jelas Teguh.
Salah satu momentum yang terjadi pada masa itu ialah ketika terjadi fragmentasi, perpecahan antara Megawati dan Gusdur. Namun dalam sesi akhir jamuan pagi tersebut diminta agar apa yang dibicarakan pada waktu itu menjadi off the record.
“Ini kan kacau, udah cerita enak tiba-tiba off the record. Jadi ada media yang menulis itu semua kemudian di ujung dia bilang tapi itu semua kata Bambang Kesowo ini semua off the record,” tutur Teguh.
“Bagi kami, tahun 2000, tahun 2001 itu memang sebuah pertunjukan yang luar biasa,” imbuhnya.
Teguh mengungkapkan secara umum pada masa itu terjadi pembelahan di kalangan pers. Pers saat itu terbagi dalam dua kelompok yang pro dengan kehadiran pemerintahan baru dan kepada mereka yang menilai bahwa pemakzulan Gusdur itu tidak bisa dibenarkan.
“Ada kelompok yang minoritas, itu adalah kelompok yang mengatakan ‘Waduh Gusdur tidak pada tempatnya untuk dijatuhkan dengan cara demikian.’,” kata Teguh.
Keterbelahan dalam redaksi media pada masa itu juga diungkapkan oleh Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun, berdasarkan pengalamannya selama masih bekerja di Media Indonesia. Pad masa itu media terpecah menjadi dua kelompok tajam, pro Gusdur dan anti Gusdur.
“Saya mengalami juga karena pada waktu itu saya bekerja di Media Indonesia. Ada wartawan pro Gusdur, ada wartawan yang mau menjatuhkan Gusdur itu sangat kentara sekali,” ujar Refly.
“Setiap hari yang mau menjatuhkan Gusdur cari berita yang kira-kira bisa menjatuhkan Gusdur, demikian pula sebaliknya,” terangnya.
Situasi keterbelahan ini juga dirasakan oleh Mantan Juru Bicara Presiden Gusdur, Adhie Massardi. Situasi pers saat itu terlihat jelas antara kubu pro pemerintah dan kubu pro oposisi.
Meluruskan Sejarah
Peristiwa pemakzulan Gusdur telah menimbulkan munculnya berbagai interpretasi. Salah satu interpretasi itu ialah sikap Gusdur yang anti demokrasi, perseteruan antara Istana dan DPR, lalu permusuhan antara Gusdur dan Amien Rais.
Hal ini diungkapkan oleh Adhie dalam forum yang sama dengan Teguh Santosa, Refly Harun, Rizal Ramli, Bachtiar Chamsyah, Fuad Bawazier, MS Ka’ban hingga Eep Saifullah Fatah.
Adhie selaku orang terdekat Gusdur mengemukakan banyak hal yang paling serius ialah mengenai persepsi yang muncul terhadap relasi Gusdur dan Amien Rais. Peristiwa pemakzulan pada saat itu dianggap sebagi solusi terbaik untuk mencegah semakin meluasnya konflik politik di tanah air.
Salah satu hal yang merisaukannya ialah ketika dua tokoh penting pembawa perubahan tersebut, ditempatkan sebagai sosok pecundang politik.
“Tetapi yang menjadi persoalan, yang saya risaukan ini adalah ada dua tokoh besar perubahan yaitu Gusdur dan Amien Rais, dalam konteks ini menjadi pecundang-pecundang politik,” ujar Adhie.
“Gusdur mengeluarkan dekrit anti demokrasi kemudian dijatuhkan oleh Amien Rais seolah-olah kan seperti itu,” jelasnya.
Dalam jangka panjang insiden pemakzulan ini dinilai kontra produktif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Peristiwa nasional yang melibatkan dua tokoh dari dua ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah itu berpengaruh kepada para jamaahnya.
“Sejak peristiwa (pemakzulan) itu antara NU dan Muhammadiyah ada beban, ada konflik psikologis yang kontra produktif buat bangsa ini,” jelas Adhie.
Kenangan yang membekas selama bertugas sebagai jubir presiden bagi Adhie membuat penilaiannya terhadap Gusdur sebagai sosok yang demokratis. Hal ini terlihat dalam beberapa kasus pertama ketika ia akan memilih wakil presiden, ia lebih memilih Megawati Soekarno Putri.
Kedua, ketika DPR berencana membuat Pansus Buloggate dan Bruneigate yang diketuai oleh Bachtiar Chamzah Gusdur memilih untuk membiarkan saja. Baginya sudah seharusnya DPR menjalankan tugasnya untuk mengawasi jalannya pemerintahan.
Ketiga Golkar berusaha melakukan lobi politik untuk mendukung Gusdur dalam sidang Istimewa DPR pada Senin, 23 Juli 2001. Saat itu Golkar menjanjikan akan memenangkan Gusdur dalam voting sidang.
Tokoh Golkar saat itu berhasil menemui salah satu tokoh PKB, Muhaimin Iskandar dengan syarat slot kursi khusus bagi Golkar. Namun sayang tawaran itu ditolak Gusdur.
Bagi Gusdur di tengah situasi krisis urusan negara tidak bisa dipermainkan dengan cara sewenang-wenang misalnya dengan reshuffle kabinet di tengah jalan.
“(Golkar) minta tiga menteri, menteri keuangan, menteri dalam negeri sama jaksa agung,” ungkap Adhie.
“Gusdur bilang, ‘wah ini nggak bisa ini mempertaruhkan nasib bangsa.’ Dia bilang ‘ ya udah lawan aja sebisa-bisanya,” jelasnya.
Adhie menambahkan Gusdur sangat paham prinsip dalam politik hanya ada dua kemungkinan. Sosok Gusdur paham bahwa resiko dalam politik hanya ada dua yakni diangkat dan dijatuhkan.
Penulis: Kukuh Subekti