ISLAMTODAY ID — Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih familiar dengan Buya Hamka merupakan ulama serba bisa, alias paket komplit yang patut dijadikan panutan. Terutama di kalangan aktivis dakwah Islam, Buya Hamka layak dijadikan sebagai role model mereka dalam berdakwah.
Ulama kelahiran Sumatera Barat, 17 Februari 1908 ini merupakan sosok ulama Nusantara yang memiliki segudang prestasi gemilang. Ia memang tak menamatkan pendidikan di sekolah formal lazimnya para ulama dan tokoh penting bangsa lainnya.
Namun menariknya gelar dan penghormatan justru diberikan umat secara sukarela sebagai bentuk apresiasi atas kepakarannya di sejumlah bidang. Umat memberikannya sebutan yang beragam mulai dari sastrawan, jurnalis, dosen, politisi serta ulama.
Namanya harum di berbagai kalangan, baik nasional maupun internasional. Ulama yang juga aktivis Muhammadiyah memperoleh gelar kehormatan dari kampus tertua di dunia, Universitas Al-Azhar.
Kurang lebih pada tahun 1959 hingga 1961, Universitas Al-Azhar memberikan gelar kehormatan Honoris Causa (HC) atas karyanya berupa Tafsir Al-Qur’an Al-Azhar itu. Ia dinilai berjasa dalam mendakwahkan Islam dengan bahasa Melayu.
Ulama sekaligus cendekiawan muslim yang wafat pada 24 Juli 1981 ini sangat penting dan wajib dikenal para aktivis Islam di Idonesia, terutama aktivis dakwah kampus. Banyak di kalangan aktivis dakwah kampus lebih mengenal tokoh ulama internasional seperti Hasan Al-Banna, Sayyid Qutb, Taqiyuddin an Nabbani daripada Buya Hamka, atau Mohammad Natsir.
Bahkan yang lebih miris ialah ketika aktivis dakwah justru menjadikan sosok Pramoedya Ananta Toer sebagai role model pilihan mereka. Padahal ada ulama kita yang memiliki prestasi paripurna seperti Buya Hamka.
“Kita punya satu sosok yang jauh lebih komplit dari Pramoedya. Kalau Pramoedya itu kan memang penulis, dia sastrawan sementara kita punya sosok Buya Hamka yang didalamnya melekat aneka gelar,” kata Ustadz Arif Wibowo, Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo seperti dikutip dari kanal youtube Laboratorium Dakwah Ki Ageng Henis (1/4/2021).
Jurnalis dan Penulis Novel
Ustadz Arif menjelaskan kualitas paripurna yang dimiliki oleh Mantan Ketua MUI pertama ini. Ia memiliki keahlian di bidang jurnalistik. Ia merupakan sosok yang cukup lama aktif di dunia wartawan dan menjadi pimpinan di Pedoman Masyarakat dan Panji Masyarakat.
Buya Hamka juga termasuk penulis novel legendaris yang terus digemari bahkan hingga generasi jauh setelahnya. Novel-novel karyanya pun banyak mendapat tempat di hati masyarakat sebut saja Di Bawah Lindungan Ka’bah, Tenggelamnya Kapal Van der Wijk, Merantau ke Deli, Sabariah dan masih banyak lagi.
Merantau Ke Jawa, Menjadi Aktivis Islam
Selain menelusuri jejak-jejak kegemilangan Buya Hamka. Hal yang menarik yang patut ditelusuri bersama ialah bagaiamana semangat berdakwah itu muncul dari Buya Hamka.
Ustadz Arif mengisahkan tentang kapan dan dimana ruh aktivisme Buya Hamka itu muncul. Menurutnya hal ini layak untuk disorot sebab, ruh tersebut tidak muncul di tanah kelahirannya Sumatera Barat.
“Buya Hamka ini justru mendapatkan ruh aktivisme Islamnya itu ketika dia berada di Yogyakarta,” ujar Ustadz Arif.
Pada saat merantau di Jawalah bibit-bibit aktivis di dalam diri Buya Hamka mulai bersemi. Terutama setelah ia banyak bertemu dengan para tokoh dan aktibis dari berbagai organisasi Islam di Jawa seperti Sarekat Islam (SI) dan Muhammadiyah.
Ustadz Arif menerangkan tentang aktivitas Buya Hamka salama merantau di Yogyakarta. Diantaranya bertemunya Buya Hamka dengan tiga tokoh pergerakan di Indonesia.
“Buya Hamka itu ikut kursus Islam yang mentornya itu adalah tiga orang besar. Yang pertama adalah Haji Oemar Said Tjokroaminoto, kemudian Kiai (AR) Fahrudin kemudian yang ketiga itu Raden Mas Soerjopranoto sebagai raja mogok,” terang Ustadz Arif.
“Jadi buruh-buruh pada masa lalu itu akan mogok melawan pemodal kalau yang memerintahkan Raden Mas Soerjopranoto dan beliau adalah tokoh Islam,” imbuhnya.
Perjalanannya di Jawa juga yang kemudian mendorongnya untuk kembali meneruskan belajarnya hingga di Kota Mekah. Di sana dia bertemu dengan banyak tokoh pergerakan dari berbagai negara di dunia, terutama tokoh pergerakan dari Indonesia.
“Tokoh pergerakan Indonesia misalkan Ki Haji Munawar Kholil dari Pemalang nanti juga sama-sama dakwah di Muhammadiyah,” tutur Ustadz Arif.
Peristiwa bangkitnya spirit ke-Islaman Buya Hamka di tanah Jawa tentu menjadi peristiwa menarik yang sayang untuk dilewatkan. Sebab pengaruh Islam di Jawa dinilai lemah jika dibandingkan dengan daerah lainnya di Nusantara terutama Sumatera.
Tentu fakta yang terjadi pada Buya Hamka sangat menarik untuk dikaji dan didalami oleh para aktivis dakwah. Sebab di Jawalah spirit perjuangannya lahir, dengan mengambil spirit perlawanan Islam terhadap praktik kolonialisme dan bahaya Komunisme yang terjadi di Jawa.
“Yang dianggap orang itu Jawa paling lemah ke-Islamannya, karena itu teman-teman aktivis muslim di Jawa perlu kembali pemikiran para tokoh-tokoh pejuang itu,” tuturnya.
“Ki Haji Samanhudi, Ki Haji Ahmad Dahlan, Haji Oemar Said Tjokroaminoto itu semuanya orang-orang Jawa. Sehingga yang membenturkan Jawa dengan Sumatera, Jawa dengan luar Jawa ini ditangan Islam ternyata Jawa dengan daerah lain menyatu,” pungkas Ustadz Arif.
Ustadz Arif menambahkan gerakan Islam yang lahir di Jawa bahkan mampu menginspirasi gerakan Islam lainnya di Indonesia. Baik itu gerakan sosial, maupun gerakan politik.
Penulis: Kukuh Subekti