ISLAMTODAY ID—Mohammad Natsir adalah tokoh kunci dibalik kembali bersatunya bangsa Indonesia dengan gagasannya yang berlian Mosi Integeral pada 3 April 1950. Tidak hanya itu ia juga berupaya mempersatukan dua sahabat karib yang berpisah demi memperjuangkan cita-citanya masing-masing, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dan Soekarno.
Sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) Indonesia pada 18 Agustus 1945 menjadi saksi persetruan antara wakil Islam dan wakil nasionalis. Jika Natsir memilih jalur parlementer dan tetap menjadi mitra Soekarno, maka Kartosoewirjo memilih jalur revolusioner.
Ikhtiar Natsir
Perbedaan pilihan sikap antara tokoh-tokoh Masyumi ini rupanya tak menyulut amarah yang berkepanjangan. Natsir justru senantiasa berikhtiar untuk menyatukan dua sahabat yang sama-sama pernah berguru pada Tjokroaminoto itu.
Jalan islah dua sahabat ini makin rumit pasca deklarasi Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949. Surat Natsir yang dititipkan kepada Tuan A. Hasan (Tokoh Persatuan Islam-PERSIS) rupanya terlambat diterima oleh Kartosoewirjo.
“Surat itu baru diterima tiga hari sesudah Kartosoewirjo memproklamasikan Darul Islam (NII),” ungkap Lukman Hakiem mantan aktivis HMI Cabang Yogya saat mengisi kajian virtual di Pondok Pesantren Budi Mulia pada 8 Februari 2021.
“Tapi kata Pak Natsir bukan soal terlembatnya itu, yang susah bagi Kartosoewirjo itu menjilat ludahnya sendiri (Deklarasi NII),” jelasnya.
Namun upaya bapak pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII) ini tidak berhenti di situ saja. Terutama setelah ia berhasil menyatukan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Mantan sekretaris pribadi Mohammad Natsir ini menyebut selama menjadi Perdana Menteri era demokrasi parlementer, Natsir terus berupaya menyatukan dua sahabat itu. Salah satunya dengan mengutus seorang tokoh Nahdlatul Ulama (NU), Kiai Muslich.
“Sejarah mencatat ketika kemudian Pak Natsir menjadi Perdana Menteri, Pak Natsir berkali-kali (berusaha). Terakhir itu pak Natsir mengutus Kiai Muslich seorang tokoh NU yang sebelumnya akrab dengan Kartosuwiryo,” tutur Lukman.
Kiai Muslich adalah tokoh NU pendiri Yayasan Pendidikan Diponegoro yang juga pernah bersama-sama aktif dengan Kartosuwiryo di Partai Serikat Islam Indonesia (PSII). Ia bahkan sebenarnya telah berhasil melunakkan sosok Kartosoewirjo.
“Kartosoewirjo menurut penuturan Kiai Muslich itu sudah mulai melunak dan berjanji akan terus menjalin komunikasi dengan pemerintah,” ujar Lukman.
Ikhtiar Natsir untuk menyatukan kembali Kartosuwiryo dan Sukarno rupanya sampai pada titik dimana hal itu tidak bisa dipersatukan lagi. Terutama setelah insiden penembakan terhadap pengawal utama Kartosoewirjo yang diminta mengawal kepulangan Kiai Muslich.
“Ketika Kiai Muslich pamit, kemudian dikawal oleh orang kepercayaan Kartosoewirjo. Tapi rupanya, misi Kiai Muslich ini rupanya diintai oleh tentara,” ungkap Lukman.
“Jadi ketika tentara melihat ada rombongan orang bersenjata, nggak ditanya lagi langsung ditembak. Kiai Muslich selamat tapi pengawal utama Kartosoewirjo tewas tertembak” imbuhnya.
Insiden penembakan yang semena-mena oleh tentara RI inilah yang akhirnya kembali memantik kekecewaan dan sakit hati Kartosoewirjo kepada pemerintah.
“Sejak itu Kartosoewirjo nggak mau lagi berhubungan dengan pemerintah apalagi sejak Natsir menyerahkan mandatnya sebagai Perdana Menteri,” tegas Lukman.
Respon Perjanjian Renvile
Pasca kemerdekaan Indonesia, Belanda masih berusaha merong-rong kedaulatan Indonesia. Berbagai perundingan damai seperti Linggarjati (1947), Renvile (1948) dan Roem Royen (1949) semakin melemahkan posisi Indonesia.
Hal inilah yang membuat para tokoh bangsa kecewa, termasuk Kartosoewirjo. Ia merasa kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia yang dinilai kurang tegas dalam perundingan, puncak kekecewaannya semakin menjadi pasca perjanjian Renvile pada 17 Januari 1948.
Perjanjian Renvile membuat wilayah Indonesia menjadi semakin menyempit hanya terdiri atas sebagian Sumatera, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Hal ini makin diperparah dengan pembentukan negara federal yang di dalamnya terdapat tujuh negara bagian termasuk, Jawa Barat (negara Pasundan).
Bagi Kartosoewirjo pembentukan negara Pasundan oleh Belanda menunjukkan bahwa Jawa Barat bukan lagi wilayah Indonesia. Apalagi setelah terjadinya aksi long march yang diikuti oleh tentara Indonesia Divisi Siliwangi untuk meninggalkan Jawa Barat menuju Jawa Tengah.
Kartosoewirjo pun berinisiatif berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia di Jawa Barat melalui jalur militer. Ia bahkan telah mempersiapkan membentuk terntara Islam yang terdiri atas laskar umat Islam (Sabilillah dan Hizbullah) jauh sebelum NII terbentuk, tepatnya pada Februari 1948.
Pembentukkan ini sebagai respon terjadinya perjanjian Renvile. Ia dan lascar-laskar Islam mantan tentara Sabilillah dan Hizbullah bersama-sama dengan Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII) mengadakan musyawarah pembentukan calon Tentara Islam Indonesia (TII)
Aksi Kartosoewirjo dengan TII boleh jadi merupakan usaha maksimalnya di tengah situasi yang tidak menenetu pasca Agresi Militer Belanda I dan II. Mulai dari terpecah belahnya Indonesia menjadi negara-negara bagian hingga pendudukan Belanda terhadap ibukota pemerintahan Yogyakarta, serta diasingkannya para pimpinan negara.
“Situasi politik nasional yang seperti ini dan republik Indonesiapun belum diakui oleh dunia luar. S.M. Kartosoewirjo tetap melawan Belanda dan kemudian karena kekosongan pemerintahan ini ia berijtihad memproklamasikan Negara Islam Indonesia pada tanggal 7 Agustus 1949 di Jawa Barat,” dikutip dari skripsi Aga Itbah Baihaki, UIN Sunan Ampel Surabaya tahun 2019.
Penulis: Kukuh Subekti