ISLAMTODAY ID—Tahun 1915 sampai 1917, Solo dilanda krisis. Para pengusaha batik terancam bangkrut. Kemiskinan ‘meroket’ dan memicu munculnya gangguan keamanan.
Melihat situasi ini Haji Samanhudi tak tinggal diam, ia turut berjuang melawan krisis ekonomi. Ia aktif menyuarakan aspirasi para pengusaha batik yang terancam bangkrut akibat krisis ekonomi berkepanjangan sejak tahun 1915 sampai 1917.
Haji Samanhudi yang juga pendiri Sarekat Islam (SI) Solo, bersama seluruh pengusaha batik Laweyan merasakan sulitnya memperoleh bahan baku batik. Sejumlah bahan baku batik seperti kain, cat dan nila sangat sulit di dapat, kalau pun ada harganya sangat mahal.
Situasi krisis ekonomi menjadi ancaman serius bagi semua kalangan di Solo. Jika pengusaha batik Laweyan gulung tikar, maka pada masa itu jumlah pengangguran di Solo akan naik drastis.
Haji Samanhudi sangat khawatir jika jumlah pengangguran meningkat akan berdampak pada situasi keamanan di Solo. Pengangguran dan krisis akan memicu terjadinya kerawanan sosial seperti pencurian, perampokan dan penjarahan.
Kirim Nota Protes
Haji Samanhudi tidak bisa tinggal diam dalam menghadapi krisis ekonomi gelombang kedua pada Februari 1917. Ia mengirimkan nota protes kepada Residen Surakarta yang isinya meminta untuk dilakukan penstabilan harga bahan baku batik.
“Namun usulan Haji Samanhudi ditolak,” kata Adhytiawan Suharto dalam bukunya Sarekat Islam (SI) Surakarta 1912-1923.
Adhyt menambahkan jika usulan yang sempat ditolak tersebut telah beredar luas di koran Sarotomo. Tidak hanya itu majalah Belanda, Kolonial Tijdschrift Orgaan B.B Ambntenaren juga menayangkan protes Haji Samanhudi.
Isi protes Haji Samanhudi berkaitan dengan ancaman munculnya 25.000 pengangguran baru di Solo. Mengingat para pekerja tersebut sebagian besar merupakan buruh dari perusahaan batik di Laweyan.
Suara Haji Samanhudi terdengar oleh Residen Jambi, Engelenberg. Pertemuan keduanya di Solo akhirnya membuat Residen Surakarta bersedia mengabulkan protes Haji Samanhudi.
Aspirasi kedua yang disuarakan oleh Haji Samanhudi ketika Komisi Pembagian Kleurstoffen tidak memberikan jatah kain secara merata. Pemberian jatah kain dinilai curang dan tidak sebanding dengan kapasitas produksi.
“Haji Samanhudi menghasilkan 6 kodi dan mendapat jatah 4 kilohram kain, sedangkan pedagang yang masih kecil diberi jatah 28 kilogram kain,” ujar Adhyt.
Adhyt menjelaskan bagaimana upaya Haji Samanhudi untuk memperjuangkan hak-hak para pengusaha batik Laweyan. Ia mengirimkan aduannya kepada Komisi Pembagian Kleurstoffen, aduannya dan diterima dengan baik oleh Komisi Pembagian Kleurstoffen.
Adhyt menambahkan situasi krisis juga berdampak pada industri surat kabar, ditandai dengan naiknya harga kertas dan biaya cetak lainnya. Pada tahun 1916 misalnya banyak surat kabar yang menaikkan tarif langganannya, tidak sedikit yang tutup.
Salah satu koran yang terpaksa tutup akibat krisis ekonomi pada sejak 1915 hingga tahun 1917 itu ialah koran SI Solo, Sarotomo.
Penulis: Kukuh Subekti