ISLAMTODAY ID—Hutan Cibarusah menjadi saksi sejarah pendidikan militer Laskar Hizbullah. Hutan dipelosok Kabupaten Bekasi ini pernah menjadi kawah chandradimuka untuk mendidik 500 komandan Laskar.
Pendidikan ratusan calon Komandan Hizbullah ini lahir dari strategi jenius kalangan ulama. Para ulama tak ingin lagi terbuai dengan janji kemerdekaan yang disampaikan Jepang.
Mereka menolak menggabungkan santri dalam keanggotaan militer Jepang, Heiho, dan mengusulkan untuk diadakan pendidikan militer khusus santri.
Pelatihan calon pejuang itu dipimpin langsung oleh KH Wahid Hasyim dan KH Zainal Arifin. Pendidikan militer ini melibatkan sejumlah Komandan Kompi Pembela Tanah Air (Peta), seperti Abdullah Sajad, Zaini Nuri, Abd. Rahman, Kamal Idris dan lain-lain.
Ratusan santri datang dari berbagai wilayah di tanah air untuk mengikuti latihan militer di hutan Cibarusah. Tingginya partisipasi ini didorong adanya panggilan jihad yang diserukan para ulama.
Pada akhir Mei 1945, sebanyak 500 santri itu resmi dinyatakan sebagai komandan Hizbullah. Mereka memiliki kewajiban untuk melakukan pelatihan serupa di daerahnya masing-masing.
Keberadaan Hizbullah semakin memperkuat kekuatan militer untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Keanggotaan Hizbullah terus bertambah. Sekitar Agustus 1945, jumlah laskar Hizbullah telah mencapai 50.000 orang.
Dinamika Pelatihan Komandan Hizbullah
Terhitung sejak Februari 1945 akhir, mereka tinggal di kamp sederhana berdinding bambu beratapkan welit atau rumput ilalang dengan ukuran 50 meter kali 10 meter. Tidak hanya berdindingkan bilah bambu, tempat tidur mereka juga terbuat dari bambu yang digelari tikar.
Sebuah tempat istirahat yang jauh dari kata nyaman tentunya. Pada bagian atas tempat tidur terdapat gawangan yang berfungsi sebagai tempat gantungan pakaian.
Fasilitas lainnya juga tak kalah memprihatinkan bagi para tentara Allah itu ialah kamar mandi ala kadarnya tanpa kakus. Setiap santri harus berjalan ke sawah untuk buang hajat alias BAB.
“Ada tempat untuk mandi, tetapi tidak ada tempat buang air. Kalau buang air harus ke sawah yang letaknya cukup jauh,” ungkap Zainul Milal Bizawie dalam bukunya Masterpiece Islam Nusantara Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945).
Setiap pagi para santri telah bersiap memulai aktivitas latihan militernya. Mereka berkumpul di lapangan dengan berseragam lengkap, mengenakan pakaian warna biru, berkopiah hitam putih yang terdapat simbol bulan sabit, dan alas kaki berupa bakiak (sandal terbuat dari kayu).
Lokasi Latihan yang berada di tengah hutan membuat mereka harus terbiasa dengan segala keterbatasan. Setiap harinya mereka melakukan berbagai kegiatan mulai dari upacara, baris-berbaris, bongkar pasang senjata, membuat bahan peledak, praktik perang gerilya dan sebagainya.
Tantangan lain selama pelatihan ialah jika hujan turun lebat, tanah hutan Cibarusah basah serta becek alhasil alas kaki mereka, bakiak belepotan oleh tanah dan tak bisa dipakai lagi. Kondisi seperti itu harus mereka rasakan selama empat bulan lamanya hingga Mei 1945.
Fasilitas pelatihan yang sangat jauh dari kata nyaman itu terpaksa harus dinikmati sebab mereka tak bisa kabur. Tajamnya pagar kawat berduri siap melukai mereka jika mereke berniat kabur, mundur dari pelatihan.
“Barak tersebut terletak di tengah lapangan yang dikelilingi pagar kawat berduri, sehingga orang yang berada di dalam barak tidak bisa keluar,” jelas Zainul.
Demi menguatkan azam dan niat dalam dada untuk berjuang dengan sungguh-sungguh, para santri bersama-sama mengucapkan ikrar. Sebuah ikrar perjuangan yang dilafalkan setiap pagi menjelang Latihan.
“Rodliitu billahi rabba wabil Islaami dina, wabi Muhammadin Nabiyya wa Rasula (Aku rela Allah sebagai Tuhan, Islam sebagai agama, dan Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul)”.
Jika pada siang hari para santri dilatih ketangguhan fisiknya, pada malam hari mereka disirami dengan berbagai motivasi perjuangan dari para ulama ternama. Mereka adalah Kiai Haji (KH) Wahid Hasyim (Jombang), KH Zarkasi (Ponorogo), KH Abdul Halim (Majalengka), KH Mustofa Kamil (Singaparna), KH Mawardi (Solo), dan KH Mursyid (Kediri).
Disentri dan Kolera
Padatnya aktivitas, terbatasnya fasilitas MCK disertai gizi makanan yang jauh dari standar kesehatan membuat para santri mulai diserang penyakit. Puncaknya dua bulan setelah mengikuti pelatihan, hampir seluruh santri mengalami disentri.
“Penyakit ini seperti penyakit kolera, dan ketika buang air penderita merasa sakit dan kotorannya bercampur lendir,” tutur Zainul.
Kondisi santri makin memburuk sejak dilarangnya para santri mengonsumsi nasi. Pasca dilaporkan kepada pemerintah Jepang di Jakarta, setiap harinya para santri hanya diizinkan menyantap wortel dan lobak alias labu.
Para santri akhirnya bisa sembuh dari gangguan pencernaan tersebut setelah sebulan lamanya mengonsumsi gula batu. Setiap santri diberi satu kantong kecil yang berisi gula batu yang bisa mereka makan setiap saat baik saat apel hingga ke kamar mandi.
Penulis: Kukuh Subekti