ISLAMTODAY ID—Lahir sebagai seorang anak pejabat penting tak membuat Kiai Ahamd Rifa’i terninabobokan dan abai terhadap perjuangan melawan penjajah Belanda. Ayahnya, Muhammad Marhum merupakan ulama sekaligus penghulu di Kendal.
Semasa hidupnya bahkan Kiai Ahamd Rifa’i merupakan ulama yang sangat kontra terhadap sosok penghulu. Pasalnya jabatan penghulu sejak tahun 1829 resmi menjadi birokrat Belanda.
Kiprah Penghulu
Penghulu sudah menjadi bagian penting dalam sejarah kesultanan Islam di Nusantara, terutama Jawa, pada abad ke-16 hingga 18. Peran penghulu hampir sama dengan fungsi kadi atau qadi di kesultanan Islam di luar Jawa, mereka memiliki peranan penting dalam dakwah dan politik.
Pada awal abad ke-19, penghulu merupakan jabatan administrasi agama tertinggi. Selanjutnya pada periode sebelum 19 Januari tahun 1882, seorang penghulu merupakan sosok pilihan penguasa. Hanya penghulu yang berpihak pada kepentingan penguasa, tumenggung, bupati saja yang dipilih.
Pada tahun 1830, Belanda resmi mulai memberlakukan hukum Eropa di Nusantara. Jabatan penghulu masuk dalam pengadilan negeri atau landraad milik pemerintah Belanda.
Kiai Ahmad Rifa’i adalah sosok yang menentang kebijakan kolonial itu. Ia bahkan secara tegas mengatakan bahwa umat Islam yang menikah di penghulu tidak sah.
Hal tersebutlah diyakini oleh para santrinya yang tergabung dalam jamaah Rifa’iyah. Kiai Ahmad Rifa’i mengingatkan tentang pentingnya kkualitas seorang penghulu, mereka haruslah orang yang mursyid, yakni harus memiliki sifat adil dan tidak fasiq.
Syair Nizam Wiqayah
Aksi kontranya terhadap penghulu Kiai Ahmad Rifa’I, terekam dalam Kitab Nizam Wiqayah. Ia menuliskan syair-syair yang isinya tentang seruan perlawanan terhadap berbagai praktik kolonialis Belanda, termasuk ulama yang bersedia menjadi penghulu.
Berikut kutipan dari kitab Nizam Wiqayah yang ditulis oleh Kiai Ahmad Rifa’i untuk membakar semangat jihad melawan penjajahan di tanah Jawa. Isinya ialah kritik sosialnya terhadap fenomena-fenomena sosial yang terjadi di Jawa misalnya tentang kritiknya terhadap para priyayi dan seorang haji.
Sumerep badan hina seba ngelangsur; Manfaate ilmu lan amal dimaha lebur; Tinemu priyayi laku gawe gede kadosan; Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung, Kebayan; Maring rojo kafir pada asih anutan; Haji, abdi, dadi tulung maksiyat; Nuli dadi khotib ibadah; Maring alim adil laku bener syareate; Sebab khawatir yen ora nemu derajat; Ikulah lakune wong munafik imane suwung; Anut maksiyat wong dadi tumenggung.
Artinya: Melihat tubuh hina menghadap dengan tubuh merayap; Manfaat ilmu dan amal hilang binasa; Pendapat dan tindakan kaum priyayi membuat dosa besar; Ratu, Bupati, Lurah, Tumenggung, Kebayan; Kepada raja kafir senang jadi pengikut; Termasuk haji abdi, menolong kemaksiatan; Kemudian menjadi kadi khotib ibadah; Kepada alim bertindak membenarkan syariat; Sebab khawatir bila tidak mendapat kedudukan; Itulah amalan orang munafik yang kosong imannya; Mengikuti perbuatan maksiat orang yang jadi Tumenggung.
Kiai Ahmad Rifa’i menyebut penghulu yang menghamba pada pemerintah Belanda itu dengan ungkapan ngelangsur yang berarti merendahkan diri. Ia sangat menyayangkan jika kealiman seorang berilmu untuk mendukung pemerintahan kolonial, mengikuti perintah tumenggung.
Syair kritik sosial senada juga terus menerus terus diserukan oleh Kiai Ahmad Rifa’i kepada para santri. Propagandanya pun berhasil memantik kemarahan Belanda dan para kaum priyayi Jawa.
“Hal ini membuat K.H. Ahmad Rifa’i dijadikan musuh bersama oleh Belanda dan aparat birokrasi tradisional,” ucap Adif.
Upaya megkriminalisasi Kiai Ahmad Rifa’i pun dilakukan secara bersamaan. Selain dinyatakan sebagai ajaran yang menyesatkan, Kiai Ahmad Rifa’i ditangkap dan dibuang ke Ambon lalu dipindahkan ke Minahasa, Sulawesi Utara.
Ia pun wafat di Minahasa, mengenai tanggal wafatnya ada dua versi. Ada yang menyebutkan jika ia wafat pada tahun 1286 Hijriyah bertepatan dengan tahun 1870 Masehi. Sumber lain menyebutkan jika ia wafat pada tahun 1292 Hijriyah atau 1876.
Atas kegigihannya melawan penjajahan Belanda ia pun dianugerahi gelar pahlawan nasional pada tahun 2004.
Penulis: Kukuh Subekti