ISLAMTODAY ID— Kader Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) berperan aktif dalam upaya menyelamatkan Madiun dari cengkraman PKI pada tahun 1948. Mereka aktif membantu tugas tentara TNI, Divisi Siliwangi dengan menjadi ‘telik sandi’ atau informan.
Pada saat yang sama kader-kader Masyumi banyak yang menjadi korban dalam peristiwa itu. Kiprah Masyumi di Madiun tak bisa dibantah sebab hampir semua masyarakat Madiun merupakan anggota Masyumi.
“Masyumi adalah partai terbesar kedua di Madiun hampir seluruh masyarakat Madiun merupakan anggota Masyumi,” kata Nur Rahma Nisfatul Akbar dalam Peran Masyumi Dalam Penimpasan PKI di Madiun 1948.
“Pada saat pemberontakan PKI di Madiun pada tahun 1948, Masyumi berjasa sebagai informan bagi pasukan Siliwangi,” imbuhnya.
Ia juga menjelaskan upaya Masyumi untuk meyakinkan masyarakat Madiun agar tidak terprofokasi oleh PKI. Selain itu rakyat juga diimbau untuk tidak terpedaya dengan janji-janji manis PKI.
“Masyumi menghimbau rakyat agar tidak mudah tergiur oleh janji-janji PKI yang dikatakan akan membela rakyat, menyejahterakan rakyat, berjanji akan menciptakan kemakmuran rakyat,” jelas Rahma.
Berbagai kegiatan syiar mereka lakukan diantaranya tentang cinta tanah air. Islam juga mengajarkan pada umatnya untuk taat pada ulama, dan pemimpinnya.
Kiprah Kader Masyumi
Rahma mengungkapkan sekalipun sebagian masyarakat di Madiun merupakan orang abangan, namun peran Masyumi sangat besar bagi kesukesan penumpasan PKI di Madiun. Terutama menjadi telik sandi bagi tentara Divisi Siliwangi.
Kiprah tersebut disampaikan oleh para saksi sejarah, Sakirin. Ia merupakan sekretaris Masyumi di sebuah desa, di Magetan pada tahun 1948.
“Anggota Masyumi dan para pemimpin memiliki peran sangat besar dalam penumpasan pemberontakan PKI di Madiun. Peran Masyumi sebagai informan dan membantu pasukan Siliwangi. Para pemimpin dan juga anggota Masyumi pada saat itu tidak ikut mengangkat senjata, hanya pasukan Siliwangi yang mengangkat senjata dan berperang,” ungkap Rahmah.
Kesaksian senada juga disampaikan oleh kader Masyumi di Ponorogo, Sanusi. Ia adalah korban penculikan PKI yang selamat dari.
“Kami ikut bekerjasama dengan pasukan Siliwangi yang dikirim oleh pemerintah pusat. Kami diminta menjadi informan pasukan, karena kami pernah ditahan dan paham letak markas PKI,” ungkap Sanusi.
Sanusi sebagaimana yang dikisahkan oleh Rahma mengungkapkan bahwa pada tahun 1948, banyak tokoh Masyumi ditangkap, diculik dan disiksa oleh PKI. Ia adalah salah satu korban penculikkan PKI yang berhasil kabur.
“Banyak anggota Masyumi yang diculik, ditahan dan disiksa oleh PKI, termasuk saya yang merupakan seorang pemuda Masyumi. Kami diikat di bawah pohon jati dan hanya diberi makan sekali selama 4 hari masa penyekapan,” tutur Rahma.
Kisah yang sama juga dialami oleh tokoh Masyumi Magetan, ia adalah Kiai Imam Suhada. Seorang tokoh Masyumi di Magetan.
“(Kiai) Imam berperan sebagai penunjuk jalan dalam penggrebekan markas-markas pemberontakan PKI,” ujar Rahma.
Kiai Imam Suhada merupakan tokoh kelahiran Desa Bogem, Sukomoro, Magetan pada 24 September 1906. Ia putera dari pasangan Harjo Besari dan Saerah yang juga masih keturunan dari salah satu prajurit Pangeran Diponegoro, Ronggo Kusumo.
Rahma menuturkan, Kiai Imam Suhada berjasa dalam membentengi akidah umat Islam. Selain itu, ia juga aktif menggerakkan rakyat untuk untuk bersama-sama melawan PKI.
Rahma juga merinci jumlah korban dari Masyumi dengan menyatakan mereka sebagai korban yang dibunuh dan hilang. Mereka berasal dari berbagai daerah di Karisidenan Madiun, dengan jumlah korban setiap kota ialah 12 orang (Madiun), 23 orang (Magetan), 13 orang (Ponorogo), dan 5 orang lainnya dari berbagai daerah di Madiun.
Penulis: Kukuh Subekti