ISLAMTODAY ID— Belum genap setahun Indonesia merdeka, kedaulatan negara dirongrong oleh Belanda dan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mengobarkan pemberontakan. Ditengah situasi genting ini lahir Corps Mahasiswa yang turut serta menjaga kedaulatan negara saat itu.
Gerakan para militer yang didominasi oleh aktivis HMI ini didirikan oleh Achmad Tirtosudiro.Ia adalah Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam ( PB HMI) pada tahun 1948.
Ahmad Tirtosudiro tergolong ‘kaum santri’. Sejak kecil ia ditempa di Pesantren Legok, Plered, Purwakarta, Jawa Barat. Ia belajar langsung dari kakeknya, K.H. Muhammad Thoha pendiri salah satu pesantren tua di Jawa Barat ini.
Achmad Tirtosudiro lahir di Plered, Purwakarta pada 9 April 1922 dengan nama Mohammad Irsyad. Namanya berubah menjadi Achmad Tirtosudiro saat sang ayah mendaftarkannya di sekolah Holand Inlandse School (HIS) Cirebon (1928).
Achmad kecil sering kali pindah sekolah. Dari HIS di Cirebon ia pindah ke HIS Cimahi. Lalu pindah ke HIS Arjuna Bandung dan pindah lagi ke di HIS Bogor hingga tamat sekolah tahun 1936. Kepindahan ini dikarenakan mengikuti tugas sang ayah, yang bekerja sebagai pegawai Djawatan Kereta Api (DKA).
tahun 1936 sampai 1939, Achmad melanjutkan pendidikannya ke MULO Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Bogor. Setelah tamat MULO, ia melanjutkan studinya ke Algemeen Midelbare School (AMS) di Yogyakarta dan berhasil lulus pada tahun 1942.
Setamat sekolah AMS, tahun 1943 sampai 1944 ia bergabung dalam pelatihan militer di Lembaga Pusat Pelatihan Pemuda Chuo Seinen Kunrensho. Setlah itu, pada tahun 1944 sampai 1945 ia melanjutkan pelatihan militer di Tyuo Kyo Shu Sho.
Selesai mengenyam pendidikan militer, Achmad Tirtosudiro bekerja di perusahaan kereta api di Bandung. Namun ini tidak berlangsung lama, hanya sampai tahun 1946. Ia lantas melanjutkan kuliah di Jurusan Hukum Universitas Gajah Mada (UGM).
Di masa inilah ia aktif dalam dunia pergerakan. Ia Pada tahun 1948, ia dipercaya menjadi Ketua Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI). Pada saat bersamaan juga ia dipercaya sebagai Ketua Umum Perhimpunan Pemuda dan Mahasiswa Indonesia.
Namun ia berkeinginan besar mengembangkan HMI sebagai intellectual Moslem berskala nasional. Ia pun berkeliling ke berbagai kota seperti Klaten, Solo dan Malang. Ikhtiar ini tak sia-sia, ia berhasil membangun hubungan baik dengan para aktivis di berbagai kota dan berhasil memperluas HMI.
Di tengah upayanya memperluas HMI, situasi negara memburuk. Belanda melakukan tipu muslihat dalam perjanjian renvile yang menyebabkan wilayah Indonesia semakin kecil. Ditengah kemelut ini, PKI melakukan pemberontakan dan menyusul kemudian agresi militer Belanda II.
Achmad Tirtosudiro yang saat itu menjabat Ketua PB HMI, menilai bahwa mahasiwa memiliki tanggungjawab dalam mempertahankan kedaulatan negara. Ia bersama kawan-kawanya lantas membentuk Corps Mahasiswa untuk memperkuat barisan pertahanan Indonesia.
Pada saat agresi militer Belanda II mislanya ia ditunjuk sebagai Wakil Kepala Staf Komandan Distrik Militer (KDM) Klaten. Selain ditugaskan di Klaten, Achmad juga mendapatkan tugas untuk begerilya di sejumlah daerah seperti Solo, Kebumen, Banyumas, dan wilayah Kedu.
Ketika tugas di Jawa Tengah berakhir, ia ditarik untuk bergabung dengan Divisi Siliwangi, Bandung. Ia pun memulai karir militernya di Bandung dengan jabatan Kepala Staf Komando Militer Kota Bandung.
Berbagai peristiwa penting militer di Bandung pun ditemuinya seperti peristiwa Angkatan Perang Ratu Adil (APRA). Kemudian penyelesaian masalah DI TII di Jawa Barat, pengamanan Pemilu Pertama 1955 hingga jalannya Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung.
Atas saran dari Jenderal A.H. Nasution, Achmad Tirtosudiro kembali melanjutkan pendidikannya di tahun 1956. Ia melanjutkan sekolah militernya di Amerika Serikat, setelah lulus ia pun menjadi dosen khusus untuk materi strategi dan manajemen militer.
Ia kemudian diangkat menjadi Direktur Intendans Angkatan Darat (CIAD) dengan pangkat Letnan Kolonel. Achmad Tirtosudiro bertugas untuk menangani urusan logistik TNI, termasuk persenjataan. Pangkatnya kemudian naik menjadi Brigadir Jenderal (Brigjend) pada 1 Januari 1964. Karir militernya yang paling puncak ialah menjadi penasihat utama dalam bidang militer.
Alergi Dengan Korupsi
Pada periode pemerintahan Soeharto hingga era Habibe ia menjadi Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Selanjutnya pada periode tahun 1999 hingga 2003 ia diamanahi sebagai Ketua DPA menggantikan AA Baramuli.
Achmad Tirtosudiro juga sosok yang ‘sangat alergi’ dengan korupsi. Dalam biografi yang disusun insantaracom 20 Agustus 2020, Achmad Tirtosudiro memiliki resep jitu dalam ‘menumpas’ korupsi di negeri ini.
Ia menilai hukum harus ditegakkan, salah satunya dengan mulai memperhatikan kesejahteraan penegak hukum. Pemerintahan juga harus di isi pejabat-pejabat yang bermoral dan memiliki kredibilitas tinggi.
Selain itu, iklim moral masyarakat dan pelaku bisnis harus terus dibenahi dengan sistem penegakan hukum yang tegas. Namun, lingkungan pertama yang harus dibina ialah keluarga. Sebab, keluarga adalah lingkar pertama dalam mengembangkan iklim yang bermoral, sehingga akan menentukan warna moral secara makro.
Achmad Tirtosudiro juga menyusun 10 langkah untuk memberantas korupsi:
Pertama, pemerintah harus punya nyali baja untuk memberantasnya. Kedua, terapkan hukum seberat-beratnya untuk kedua belah pihak, baik si penggoda maupun yang tergoda. Ketiga, benahi sistem undang-undang atau peraturan yang rapuh yang memberi peluang perkorupsian.
Keempat, galakkan efissiensi, rampingkan berokrasi. Kelima, anggaran yang di tempat basah harus dibuat pas-pasan agar tidak terjadi peluang korup. Keenam, pemerintah harus punya target dalam menyelesaikan setiap kasus korupsi.
Ketujuh, manfaatkan sebesar-besarnya jasa LSM sejenis ICW. Kedelapan, beri imbalan yang cukup untuk pelapor pelaku korupsi. Kesembilan, pers harus pro aktif secara simultan mengkampanyekan anti korupsi.
Dan, kesepuluh, himbauan kepada pejabat atau pemimpin agar tidak hanya bicara. Buat langkah bersejarah yang mendapat dukungan dari rakyat, bukan cuma numpang lewat saja karena mempertahankan kepentingan parpol/koalisi yang nota bene hanya berputar sekitar kekuasaan.
Berpedoman Al Qur’an
Achmad Tirtosudiro yang meninggal pada tanggal 9 Maret 2011. Ia dimakamkan disamping makam istrinya di TPU Tanah Kusir, Jakarta Selatan.
Arief Wicaksana, aktivis HMI dan juga Mahasiswa Pasca Sarjana di Universitas Paramadina mengungkapkan sosok Achmad Tirtosudiro sosok yang teguh keimanannya. Kesalehan pribadinya itu dibenarkan oleh sahabatnya Dahlan Ranuwiharjo.
“…sahabat beliau Dahlan Ranuwiharjo menjelaskan beliau adalah orang yang taat akan beribadah, sholat yang tidak pernah tinggal, rajin berucap doa disegala Aktivitasnya dan itulah yang membuat ia dikenal sebagai sosok yang relijius,” kata Arief dalam Mengenal Sosok Pejuang Intelektual, Achmad Tirtosudiro, radarnusantaracom 12 November 2018.
Hal ini juga ditegaskan oleh Berliana Kartakusuma. Menurutnya, kiprah dan dedikasi perjuangan yang ditunjukkan sosok Achmad Tirtosudiro itu adalah sebuah konsekuensi logis atas keyakinannya terhadap Islam.
“Bahkan dalam buku karangan Berliana Kartakusuma yang berjudul Pemimpin Adiluhung, yang menjelaskan tentang sosok Achmad Tirtosudiro sebagai implikasi logis dari keyakinannya terhadap Ajaran Islam,” jelas Arief.
Ada satu ayat dalam Al-Quran yang menjadi inspirasi dan mewarnai prinsip hidup Achmad Tirtosudiro, yaitu Surah Al Zalzalah ayat 7-8.
“Sebagai hamba Allah, dan seharusnya bagi muslim di mana pun, mata Allah mengamati gerak-gerik kita dalam kehidupan. Maka barang siapa pun melakukan kejahatan seberat zarrah pun, Allah SWT akan melihatnya,” ungkap Achmad Tirtosudiro dalam Letnan Jenderal TNI (Purn) Achmad Tirtosudiro.
Penulis: Kukuh Subekti