ISLAMTODAY ID— Aksi heroik kiai dan santri untuk mempertahankan kedaulatan Indonesia terus dilakukan hingga tahun 1949. Aksi heroik itu diantaranya deklarasi Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat (PPPR) Jember yang dilakukan oleh Kiai Haji Dzofir bin H. Abdus Salam.
Kiai Dzofir merupakan Panglima Perang Sabilillah Pesantren Talangsari, Jember. Ia putera dari pasangan KH Abdus Salam dan Muslikhah yang lahir di Desa Rambipuji, Jember tahun 1908.
Ketokohannya di Jember sangat diakui, ia adalah pendiri NU Cabang Jember pada tahun 1930. Di samping itu pada periode perang kemerdekaan mayoritas pimpinan NU ditingkat kecamatan hingga desa adalah santri Pesantren Talangsari.
Pada bulan September 1945, ia memimpin Laskar Sabilillah Jember melucuti senjata pasukan Jepang. Saat itu ia bersama ribuan pasukan umat Islam menyerbu konsigniring atau gudang penampungan senjata.
Gudang senjata yang terletak di Garahan, Silo, Jember itu adalah gudang senjata terbesar di Jawa Timur. Gudang tersebut untuk mengcover kebutuhan senjata untuk beberapa karisidenan di Jawa Timur.
Pasukan kaum muslimin akhirnya memiliki berbagai senjata modern, alat teknik, kendaraan hingga bahan makanan serta obat-obatan. Jepang dibuat tak berdaya dengan kehadiran ribuan laskar-laskar Sabilillah dan Hizbullah.
Penyerbuan ke gudang senjata itu dilakukan bersama-sama dengan sejumlah kiai seperti Kiai Shodiq Machmud (Sabilillah) dan Sulthon Fadjar dari Hizbullah. Mereka pun berhasil membuat pasukan Jepang angkat kaki dari Surabaya.
Pada saat peristiwa berlangsung Kiai Dzofir merupakan Pimpinan NU Cabang Jember. Oleh karenanya ia bisa dengan mudah memobilisasi para kiai dan santri untuk berjuang.
Setelah proklamasi kemerdekaan ia menjadi inisiator terbentuknya Laskar Sabilillah. Hal ini dilakukannya untuk mengawasi gerak anak-anak muda di Laskar Hizbullah.
Turut bergabung sejumlah nama seperti KH Halim Shiddiq, KH Shodiq Machmud, KH Jauhari Kencong, KH Abdullah Shiddiq, Kiai Dawud Klompangan, KH Damanhuri Mangli, KH Sholeh Kaliwining dan lain sebagainya.
Deklarasi PPPR Jember
Aksi perlawanan Kiai Dzofir tetap dilakukannya meskipun ia dalam pengungsian. Hal ini terjadi pasca Agresi Militer Belanda di Jawa Timur diantaranya Bondowoso, Jember pada Juli 1947.
Pada hari Senin Wage, tanggal 7 Syawal 1366H bertepatan dengan 25 Agustus 1947, Kiai Dzofir mendeklarasikan Pusat Pimpinan Perjuangan Rakyat (PPPR). Deklarasi berpusat di Desa Curahlele, Kec. Balung, Kab. Jember.
Keberadaan PPPR sangat penting bagi umat Islam untuk menentang Rijksverbund atau Negara Serikat yang ditetapkan Van Mook. Pembentukan Negara Serikat Jawa Timur yang berdiri sejak 3 Desember 1947 hingga Februari 1950.
Dikutip dari buku Pahlawan Jember karya Afton Ilman Huda dijelaskan bahwa pada hari Senin Wage 2 Ramadhan 1366 Hijriyah atau 21 Juli1947, Belanda melancarkan aksi Agresi Militernya. Kapal-kapal Belanda merapat ke Situbondo, Bondowoso dan Jember.
Kiai Dzofir pun mengonsolidasikan seluruh kekuatan laskar umat Islam. Saat itu laskar-laskar umat Islam seperti, Sabilillah, Hizbullah, Laskar PPPR dan Batalyon Elang Emas bersatu membentuk Laskar Mujahidin.
Aksi mereka meluas tidak hanya di Jember, mereka bergerak hingga ke Bondowoso, Banyuwangi, dan Situbondo.
Sejumlah kiai pun ikut menjadi pemimpin pasukan PPPR misalnya di Banyuwangi PPPR dipimpin oleh KH Abdul Latief dan KH Harun. Lalu PPPR Bondowoso dan Situbondo dipimpin oleh KH Ghozali Wonosari.
Para kiai tak hanya aktif di medan pertempuran, mereka juga berupaya aktif menyosialisasikan PPPR. Salah satunya dengan pembuatan selebaran, mereka ingin agar umat Islam bersatu bergerak di bawah komando para kiai.
Belanda rupanya tak tinggal diam, para kiai pun harus mengatur strategi perang. Mereka berupaya mengelabuhi Belanda dengan cara menyamarkan nama-nama kiai di PPPR.
Berikut nama-nama kiai dan nama samaran mereka: KH Dzofir sebagai ketua memiliki nama samara Pak Nur, KH Shodiq Mahmud selaku sekretaris menggunakan nama samar Pak Isyampir, KH Abdul Halim Shiddiq bagian politik nama samara Pak Ali, KH Abdullah Shiddiq sebagai kepala keamanan menggunakan nama samaran Pak Jimun, KH Sholeh bagian pengadilan nama samarannya ialah Pak Salam.
Nama-nama lain yang juga muncul sebagai nama samara ada Pak Supiah selaku bendahara. Selain nama pengurus inti para komandan kompi laskar umat Islam juga menggunakan nama samaran seperti Pak Arief Wignyo Sumarto, Pak Sholeh Hasan, Pak Burah dan Pak Sutoyo.
Sengitnya perlawanan laskar umat Islam di wilayah Besuki membuat Van Der Plas yang menjadi penanggungjawab Negara Jawa Timur terpaksa mengubah taktik. Ia yang juga seorang orientalis Belanda terpaksa melakukan pendekatan persuasif Kiai Dzofir.
Penulis: Kukuh Subekti