ISLAMTODAY ID— Pidato pekikan takbir Bung Tomo atau Soetomo melawan pasukan sekutu Inggris di Surabaya begitu melegenda. Ia mampu menggugah semangat jihad fi sabilillah umat Islam dan para pejuang di Surabaya dan sekitarnya.
“Lebih baik kita hancur lebur daripada tidak merdeka. Semboyan kita tetap: merdeka atau mati! Dan kita yakin saudara-saudara. Pada akhirnya pastilah kemenangan akan jatuh ke tangan kita, Sebab Allah selalu berada di pihak yang benar. Percayalah saudara-saudara. Tuhan akan melindungi kita sekalian. Allahu Akbar! Allahu Akbar! Allahu Akbar! Merdeka!!!”
Pidato tersebut bahkan diputar berulang kali oleh radio RRI di sejumlah kota di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Profil Bung Tomo
Bung Tomo merupakan arek Suroboyo yang lahir pada 3 Oktober 1920. Darah aktivis dan pejuang mengalir dari ayahnya, Kartawan Tjiptowidjojo anggota Sarekat Islam (SI) Surabaya.
Ia sosok pribadi yang tumbuh dibawah kondisi sosial ekonomi yang memprihatinkan di era krisis ekonomi pra kemerdekaan. Meskipun ia lahir dari kalangan eknomi keluarga menengah namun situasi sosial masa itu bukanlah sesuatu yang mudah.
Pada era pra kemerdekaan, tepatnya tahun 1930-an Indonesia mengalami depresi ekonomi. Kehidupan masyarakat banyak mengalami berbagai kesulitan ekonomi, sulit mencari pekerjaan hingga sistem stratasosial yang terjadi era penjajahan.
Meskipun demikian, ia sosok yang beruntung bisa menikmati pendidikan. Ia bersekolah di Hollandsch Inlandsche School (HIS) Surabaya.
Jenjang pendidikannya di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) Surabaya sempat terhenti sementara. Krisis ekonomi membuatnya tak menyelesaikan pendidikannya di MULO.
Ia akhirnya menyelesaikan pendidikannya di Hogere Burger School (HBS). Sekolah setingkat MULO yang jenjang pendidikannya di tambah dengan Algemeen Metdelbere School (AMS), selama lima tahun.
Setelah Indonesia merdeka, tahun 1959 ia kembali melanjutkan pendidikan sarjananya di Universitas Indonesia (UI). Ia bahkan membuat skripsi dengan judul Pengaruh Agama pada Pembangunan Ekonomi di Daerah Pedesaan Indonesia dibawah bimbingan Prof. Selo Sumardjan.
Kiprah Perjuangan Bung Tomo
Sejak muda ia dikenal sebagai aktivis. Ia tercatat aktif di Organisasi Kepanduan Bangsa Indonesia (KBI). Sebuah organisasi kepanduan yang paling berpengaruh yang berdiri sejak tahun 1931.
Kiprah perjuangannya diawali dengan perjuangan menggunakan pena. Ia adalah seorang jurnalis di harian Soeara Oemoem Soerabaya di tahun 1937. Pada usia 17 tahun itu ia sudah dikenal sebagai jurnalis yang kritis, lugas, berani dan jelas keberpihakannya kepada rakyat.
Sikap itulah yang membuat banyak pengusaha media tertarik untuk mengajaknya bergabung. Pada tahun 1938 misalnya ia ditunjuk sebagai redaktur pekanan di media Pembela Rakyat, Surabaya.
Setahun berikutnya, pada tahun 1939 ia aktif menjadi kolumnis di media berbahasa Jawa, Ekspres. Berbagai tulisannya yang tersebar di berbagai media itu semakin memantik sikap nasionalisme rakyat untuk merdeka dari penjajahan Belanda.
Sikap tersebut tetap ada mesipun ia bekerja sebagai wakil pemimpin redaksi kantor berita pemerintah Jepang, Domei.
Bung Tomo bahkan termasuk wartawan yang ikut menyiarkan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Ia bersama dengan wartawan senior Romo Bintarti menuliskan berita kemerdekaan dalam bahasa Jawa.
Hal ini dilakukannya untuk menghidari sensor dari pihak Jepang. Sebab menyiarkan berita kemerdekaan pada masa itu adalah sebuah tindakan besar yang penuh resiko.
Karirnya di dunia jurnalistik tertinggi ialah sebagai Pemimpin redaksi Kantor Berita Antara pada tahun 1945.
Karir Bung Tomo yang cukup bersinar ialah di dunia militer. Ia dipercaya Bung Karno sebagai koordinator TNI AD, AL dan AU dalam bidang informasi dan kelengkapan perang.
Ia sosok yang dianggap memiliki kemampuan komunikasi yang baik dengan para elite militer dari tiga angkatan tersebut. Semasa aktif di dunia militer Bung Tomo mendapatkan pangkat Mayor Jenderal (Mayjend).
Namun karir militernya tersebut hanya sebentar. Suatu ketika ia menerima telegram dari Amir Syarifuddin selaku Menteri Pertahanan.
Telgeram tersebut berisi peringatan agar Bung Tomo memilih antara sebagai jenderal atau sebagai orator. Dengan semangat juangnya dia memilih mundur dari dunia militer.
Membaca isi telegram tersebut ia tampak marah dan berkata, “Persetan ora dadi jenderal ya ora patheken (tidak jadi jenderal ya tidak sakit pathek atau kusta)”.
Ia sejak saat itu pun mencurigai ada oknum PKI yang tidak suka dengan kebiasaanya berorasi. Telegram tersebut dinilai sebagai taktik PKI untuk membungkam dirinya.
Meskipun karir militernya tidak panjang, ia tercatat pernah menduduki sejumlah posisi penting. Diantaranya Anggota Staf Angkatan Perang RI, Ketua Panitia Angkutan Darat yang bertanggungjawab langsung kepada Jenderal Sudirman, penanggungjawab siaran pertama TNI, Ketua Badan Koordinasi Produksi Senjata seluruh Jawa dan Madura, Anggota Dewan Penasihat Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Seluruh amanahnya di dunia militer kerap kali atas permintaan langsung dari Bung Karno selaku presiden. Hal ini menunjukkan kredibilitasnya di mata presiden, meskipun keduanya kerap kali berbeda pandangan.
Kiprahnya dalam dunia pemerintahan ialah Menteri Negara Urusan Bekas Pejuang Bersenjata/ Veteran sekaligus Menteri Sosial Ad Interim pada kabinet Burhanudin Harahap tahun 1955-1956.
Dekat Dengan Pesantren
Menyimak pidatonya menjelang pertempuran Surabaya, membuat kita pantas menelusuri siapa sosok Bung Tomo sebenarnya? Adakah darah santri, ulama mengalir dalam dirinya?
Bung Tomo rupanya bukan dari kalangan santri. Namun apa gerangan yang membuat semangat juangnya sangat terpengaruh oleh Islam.
Lafadz-lafadz Allah selalu mengawali dan mengakhiri setiap pidatonya. Begitulah cara dia mengobarkan api perjuangan rakyat Surabaya.
Ia sosok jurnalis yang dikenal dekat dengan kalangan pesantren, salah satunya Pesantren Tebuireng. Ia memiliki kedekatan khusus dengan Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari.
Kisah kedekatan keduanya salah satunya menjelang pertempuran 10 November 1945 di kota pahlawan, Surabaya. Petuah KH Hasyim Asy’ari membuatnya termotivasi untuk menambahkan pekikan takbir di akhir pidatonya.
Pekikan takbirnya mampu menggerakan seluruh kalangan, baik kalangan pesantren maupun masyarakat umum. Mereka tergerak untuk berjihad melawan penjajah.
Ia sadar bahwa Islam adalah kekuatan besar untuk melawan penjajahan. Memanfaatkan momentum Resolusi Jihad KH Hasyim Asy’ari adalah suatu keniscayaan untuk menggerakan para pejuang-pejuang di Surabaya.
Bung Tomo juga dikenal dekat dengan putera KH Hasyim Asy’ari, KH Abdul Wahid Hasyim sang pendiri laskar Hizbullah. Kedekatan keduanya membuat Bung Tomo mendapatkan rekomendasi untuk masuk dalam struktur kepengurusan Gerakan Rakyat Baru.
Relasi Bung Tomo, Jenderal Sudirman & KH Hasyim Asy’ari
Bung Tomo sosok juga dikenal akrab dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman. Kisah kedekatan keduanya terekam saat Agresi Militer Belanda I pada tahun 1947.
Kedua tokoh itu secara khusus mengirim utusan untuk datang ke Pesantren Tebuireng pada malam 3 Ramadhan 1366 H atau bertepatan dengan 21 Juli 1947.
Mereka melalui utusannya secara khusus mendatangi kediaman KH Hasyim Asy’ari untuk memintanya bersedia mengungsi sementara. Utusan tersebut dalam tiga pesannya juga mengabarkan kondisi terkini di Jawa Timur.
Dikutip dari jatimnuorid (1/9/2021) pesan-pesan tersebut berisi sebagai berikut:
- Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah Karesidenan Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, Kediri dan Madiun.
- Hadratussyekh KH M Hasyim Asy’ari dimohon berkenan mengungsi ke Sarangan, Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Sebab, jika tertangkap, beliau akan dipaksa membuat statemen mendukung Belanda. Jika hal itu terjadi, maka moral para pejuang akan runtuh.
- Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu pengungsian Kiai Hasyim.
KH Hasyim Asy’ari tak langsung memberikan jawaban kepada para utusan tersebut. Jawaban baru diterima pada keesokan harinya.
Saat itu, sang kiai menolak untuk memenuhi permintaan Bung Tomo dan Jenderal Sudirman yang tengah bergerilya. Selang empat hari kemudian pada malam 7 Ramadhan, utusan kembali datang.
Kali ini Bung Tomo memohon kesediaan KH Hasyim Asy’ari untuk mengeluarkan komando jihad fi sabilillah bagi umat Islam. Saat itu Jawa Timur dalam suasana genting.
Belanda berhasil menduduki wilayah Karisidenan Malang. Sementara pada saat yang sama banyak laskar Sabilillah dan Hizbullah telah gugur syahid.
Belum sempat memenuhi permintaan kedua itu, kabar terkini dari Malang dibawakan oleh Kiai Ghufron, pimpinan Sabilillah Surabaya. Ia mengabarkan jika benteng pertahanan laskar Islam berhasil direbut Belanda.
Pertahanan kaum muslimin terus tersudut, sementara korban dari kalangan sipil terus bertambah. Mendengar berita itu KH Hasyim Asy’ari merasa pilu, ia hanya mampu berucap ‘Masya Allah…masya Allah’ seraya memegang kepalanya.
Sang kiai pun jatuh tak sadarkan diri, hasil diagnosa dokter mengatakan bahwa ia mengalami pendarahan otak.
Pada hari yang sama, pukul 03.00 WIB dini hari di tanggal 7 Ramadhan 1366 H bertepatan dengan tanggal 25 Juli 1847, KH Hasyim Asy’ari wafat.
Penulis: Kukuh Subekti