ISLAMTODAY ID— KH Zainul Arifin Pohan merupakan pejuang Islam yang lahir di Barus, Tapanuli Tengah pada 2 September 1909. Ia adalah panglima para santri yang tergabung dalam laskar Hizbullah.
KH Zainul Arifin Pohan merupakan pahlawan yang berlatarbelakang bangsawan Melayu. Ayahnya, Sultan Ramali bin Tuangku Raja Barus Sultan Sahi Alam Pohan dan ibunya bernama Siti Baiyah Nasution berasal dari Mandailing.
Merantau ke Jakarta
Sebutan kiai haji pada KH Zainul Arifin Pohan merupakan sebuah keistimewaan. Ia menyandang gelar keulamaan yang banyak digunakan di Jawa.
Gelar tersebut diberikan kepadanya karena ia dinilai sosok ulama yang pandai berceramah soal filsafat agama.
Bahkan gelar itu berdasarkan riwayat pendidikan ia tidak secara formal mengikuti pesantren di Jawa. Ia mengikuti sejumlah pendidikan formal, sekolah dasar Hollands Indische School hingga sekolah calon guru, Normal School.
KH Zainul Arifin Pohan sosok pribadi yang sangat senang belajar. Ia tumbuh di lingkungan keluarga yang agamis, dididik dengan bekal agama yang baik di keluarganya.
Dunia aktivis Islam mulai ditekuninya semenjak ia memutuskan merantau ke Jakarta. Ia bergabung dalam Gerakan Pemuda (GP) Ansor kemudian menjadi Ketua Cabang NU Jatinegara hingga menjadi Ketua Majelis Konsul NU Batavia.
Sebagai tokoh NU, pada tahun 1937, ia pun sudah aktif dalam organisasi para ulama Majlis Islam A’la Indonesia (MIAI). Dari MIAI inilah kiprahnya terus meluas mulai dari bidang keagamaan, militer, pendidikan hingga politik.
Panglima Para Santri
Ketokohan KH Zainul Arifin Pohan membuatnya di percaya untuk mengikuti pelatihan militer di Cibarusah. Sebuah pelatihan militer bagi para calon-calon komandan Hizbullah se-Jawa menjelang kemerdekaan.
KH Zainul Arifin Pohan pun mendapat amanah sebagai Panglima Markas Besar Hizbullah. Ia berwenang mengomandoi kaum santri di pertempuran 10 November 1945, Surabaya.
Ia merupakan sosok yang berjasa dalam melindungi para angkatan muda Islam dari kewajiban kerja paksa, romusha. Pada Januari 1945, ketika ia menjadi Kepala Bagian Umum Masyumi menandatangani Program 14.
Program 14 berisi seruan Barisan Pekerja Islam untuk merekrut anggota laskar sebanyak-banyaknya. Program itu cukup sukses dalam merekrut anggota Hizbullah dari berbagai pelosok desa.
Selama masa perang revolusi itu, hingga peristiwa serangan Agresi Militer Belanda I dan II, ia memimpin gerilya laskar Hizbullah di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Bahkan pada era Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Bukit Tinggi, Sumatera Barat, KH Zainul Arifin Pohan menjadi anggota Komisariat Pemerintah Pusat di Jawa (KPPD).
Ia bertanggungjawab untuk mengonsolidasi badan-badan perjuangan di bawah komando Panglima Besar Jenderal Soedirman.
Salah satu keputusan penting yang ia ambil selama periode ini ialah memindahkan markas besar tertinggi Hizbullah dari Malang ke Solo.
Kiprah Politik & Pemerintahan
Dalam dunia politik, KH Zainul Arifin Pohan aktif sebagai kader Masyumi. Ia pun mewakili Masyumi dalam Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP).
Setelah Indonesia merdeka karirnya terus berkembang. Ia pernah duduk di kursi pemerintahan dengan menjadi Wakil Perdana Menteri II pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo.
Amanahnya sebagai Wakil Perdana Menteri II yang bertanggung jawab untuk persoalan dalam negeri termasuk pertahanan itu membuatnya terlibat dalam sejumlah persoalan penting di Republik ini.
Pasca peristiwa pemberontakan Darul Islam di Aceh tahun 1953, KH Zainul Arifin Pohan mengusulkan berdirinya Akademi Hukum Militer.
Di dunia politik ia pernah menjadi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat-Gotong Royong (DPR-GR) sejak tahun 1960 hingga tahun 1962.
Ia wafat pada 2 Maret 1963 setelah mengalami luka tembak yang terjadi pada waktu shalat Idul Adha tanggal 14 Mei 1962 di Istana Negara, Jakarta.
Penulis: Kukuh Subekti