ISLAMTODAY ID— Penjajahan Belanda di Indonesia memberi angin segar kepada para misionaris dalam melancarkan kristenisasi dan gerakan zending.
Upaya ini tak dibiarkan Muhammadiyah. Pada awal kehadirannya, Muhammadiyah dengan gigih melawan berbagai modus kristenisasi dan gerakan zending.
Gerakan zending itu semakin masif dalam bidang pendidikan, sosial hingga kesehatan. Berbagai aksi nyata terus dilakukan oleh Ki Haji Ahmad Dahlan melalui Muhammadiyah.
Pada saat yang sama kehadiran Muhammadiyah pada 18 November 1912 atau 8 Dzulhijjah 1330 H, bisa dimaknai sebagai simbol kebangkitan umat Islam. Umat Islam bangkit dari penderitaan panjangnya pasca berakhirnya Perang Diponegoro.
Kerugian besar penjajah Belanda dalam perang seolah dibebankan kepada umat Islam. Berbagai kebijakan seperti tanam paksa hingga politik etis menjadikan umat Islam sebagai obyek penderitaan.
Bahaya Pendidikan Politik Etis
Salah satu dampak sosial keagamaan program politik etis ialah tercerabutnya pendidikan umat Islam dari dunia pesantren. Pendidikan ala barat yang disediakan oleh pemerintah kolonial Belanda identik dengan gerakan zending.
Sederet fakta-fakta penting di awal abad 20 tersebut diungkapkan oleh Direktur Pusat Studi Peradaban Islam (PSPI) Solo, Arif Wibowo.
Pada masa itu tujuan pendidikan era politik etis ialah untuk mendapatkan tenaga kerja administrasi murah. Langkah tersebut ditandai dengan munculnya sekolah-sekolah guru milik lembaga zending.
“Lembaga-lembaga misi menyambutnya dengan membentuk sekolah-sekolah guru,” ungkap Arif Wibowo dilansir dari kanal Youtube Laboratorium Dakwah (Labda) Ki Ageng Henis pada 12 Februari 2021.
Arif juga mengutip pernyataan pendiri Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Mohammad Natsir. Dikatakan olehnya bahwa pendidikan era Politik Etis mengandung ‘racun Kristen’.
“Pak Natsir dengan jeli dia mengatakan bahwa di balik politik etis itu ada racun Kristen di dalamnya,” tutur Arif.
Pernyataan itu cukup beralasan jika melihat kualifikasi guru yang mengajar, yang merupakan lulusan sekolah guru milik lembaga pendidikan Kristen. Akibatnya anak-anak dari keluarga muslim akan mendapatkan pengajaran dari para lulusan sekolah-sekolah misi.
“Karena kemudian anak diberi pendidikan dan pengajaran sesuai pengetahuan guru-guru yang keluaran dari lembaga Kristen itu,” jelasnya.
Namun realita yang ada bukan hal yang mudah untuk dihadapi, di tengah suasana kehidupan masyarakat yang serba susah. Jaminan kehidupan yang layak sebagai pegawai pemerintah kolonial menjadi daya tarik.
“Banyak kalangan yang menyekolahkan anaknya dengan tujuan supaya dia bisa menjadi pegawai pemerintah,” tutur Arif.
“Itu tradisi yang berkembang pasca Politik Etis,” imbuhnya.
Akibatnya pendidikan pesantren mulai ditinggalkan. Tidak sedikit keluarga muslim yang akhirnya tidak lagi menjadikan pesantren sebagai basis pendidikan anak-anaknya.
“Sehingga kemudian pendidikan tradisional yang berbasis pesantren itu mulai digeser, mulai tidak diminati lagi,” ujar Arif.
Pertempuran Riil Muhammadiyah
Arif juga mengungkapkan sasaran lain lembaga misi selain pendidikan ialah bidang kesehatan. Pemilihan dua bidang tersebut tidak bisa dilepaskan dari motif tersembunyi pemerintah kolonial.
Fenomena sosial itulah yang menjadi perhatian Haji Ahmad Dahlan dan mendorongnya untuk mendirikan Muhammadiyah. Ia prihatin dengan berbagai aksi penginjilan yang tengah digalakan oleh para misionaris saat itu.
Arif mengatakan para misionaris Kristen di Hindia Belanda tengah mengubah metode penginjilan dari yang langsung menjadi tidak langsung. Mereka menampilkan citra sebagai pelayan di bidang pendidikan, kemanusian dan juga kesehatan.
“Melalui pra penginjilan, mereka banyak mendirikan rumah sakit, panti asuhan, sekolah-sekolah juga supaya orang Jawa berubah juga pandangannya tentang agama kolonialis Belanda,” ungkapnya.
Panggilan jihad untuk segera menyelamatkan akidah umat Islam itu dilakukan oleh Haji Muhammad Dahlan pasca pulang ibadah Haji. Ia sangat terpengaruh dengan pemikiran tokoh modernis Islam, Muhammad Abduh mengenai Islam.
“Pada saat di Mekah itu dia bertemu dengan pemikiran-pemikiran kaum modernis terutama dari Muhammad Abduh,” tutur Arif.
“Dia memandang Islam itu sebagai agama yang mengurusi permasalahan sosial,” terangnya.
Bagi Haji Ahmad Dahlan, agama Islam juga sudah selayaknya bertanggungjawab atas problem-problem sosial keumatan. Bahkan di tengah situasi yang tidak memungkinkan sebagai bangsa, sudah selayaknya umat Islam mampu menjadi umat yang mandiri dan berdikari.
Muhammadiyah pun berusaha mengimbangi gerakan kaum misionaris dengan melahirkan berbagai gerakan. Mendirikan sekolah, rumah sakit (PKU Muhammadiyah) hingga panti asuhan Muhammadiyah.
“Itu sebabnya kata Alwi Shihab dalam buku ‘Membendung Arus, Respon Muhammadiyah Terhadap Kristenisasi’ itu mengatakan Muhammadiyah pada era Ki Haji Muhammad Dahlan itu berhadapan head to head dengan misi Kristen,” ucap Arif.
Aksi Muhammadiyah menunjukkan bahwa organisasi tersebut berada dalam pertempuran riil dengan para misionaris.
“Muhammadiyah berada di aras pertarungan riil,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti