ISLAMTODAY ID— Gerakan melawan penista agama bukan hal baru di Indonesia. Pada tahun 1918 umat Islam membentuk gerakan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM).
Kemunculan TKNM merupakan reaksi atas maraknya penistaan terhadap agama Islam. Di mata pemerintah kolonial Belanda, TKMN dinilai sebagai gerakan radikal
Semangat revolusioner TKNM yang mampu memobilisasi umat Islam benar-benar terasa di berbagai daerah. Gerakan TKNM terus meluas di berbagai daerah sepanjang bulan Februari hingga April.
Artikel Djawi Hisworo
Insiden penistaan agama bermula dari artikel yang terbit di Surat Kabar Djawi Hisworo pada 11 Januari 1918. Dalam artikel karangan Djojodikoro itu dikatakan bahwa Rasulullah Muhammad minum miras, menggunakan opium hingga candu.
“….Maka baiklah sekarang sadja adapun fatsal (selamatan) hoendjoek makanan ituoe tidak perloe pakai nasi woedoek dengan ajam tjengoek brendel sebab kangdjeng Nabi Rasoel itoe minoem Tjioe A.V.H dan minoem madal, kadang-kadang klelet djoega soeka,” ujar Adhytiawan Suharto dalam Tjokroaminoto dan Tentara Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) .
Adhyt mengungkapkan tindakan penistaan agama itu mengundang kemarahan hebat dari kalangan umat Islam Surabaya. Mereka menuntut agar penulis dan pemimpin redaksi Djawi Hisworo untuk meminta maaf kepada kaum muslimin.
Aksi tersebut dipimpin oleh Sekretaris Sarekat Islam (SI) Surabaya, Abi Koesno Tjokrosoejoso. Ia menggalang kekuatan berbagai kelompok seperti Redaktur surat kabar Oetoesan Hindia, CSI, Pengurus SI Surabaya, Al-Djami’ah Al-Khairiah, Al-Arabi’ah, Mura’atul, Ikhwanul Muslimin, Taman Manikam, Nadhatul Wathan, dan Taman Kemuliaan.
“(Mereka) menuntut penulis artikel yaitu Djojodikoro dan Hoofdredacteur [Pemimpin Redaksi] Djawi Hisworo R. Marthodarsono untuk meminta maaf kepada Kaum Muslimin,” tuturnya.
Besarnya desakan umat Islam Surabaya membuat R. Marthodarsono segera meminta maaf dan memberikan klarifikasinya. Permintaan maaf itu ia sampaikan tulis dalam artikelnya berjudul Serangan Haibat edisi tanggal 4 Februari 1918.
Permintaan maaf serta klarifikasi yang dilakukan oleh R. Marthodarsono tidak membuat kasus penistaan agama selesai. Aksi permintaan maaf R. Marthodarsono dinilai hanya setengah hati.
Umat Islam merasa tidak terima dengan klarifikasi yang disampaikan oleh R. Marthodarsono. Misalnya ketika menjelaskan Nabi Rasul dan ilmu Jawa.
Sebab bagi umat Islam Nabi Rasul sudah pasti identik dengan Nabi Muhammad SAW. Begitupun dengan ilmu Jawa yang sesungguhnya hanyalah alibi.
“Alasan yang diutarakan R. Marthodarsono tersebut tidak diterima oleh Kaum Muslimin. Maksud dari perkataan ‘Nabi Rasoel’ pasti dan tidak lain adalah Nabi Muhammad SAW, ditambah lagi hukum minum ‘ciu’ (minuman keras) adalah haram dalam Agama Islam,” ujarnya.
Situasi semakin kurang nyaman dengan munculnya fitnah kepada pimpinan Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Fitnah tersebut tersebar luas dalam surat sebaran berjudul Sifat yang Adil yang diterima KH Ahmad Dahlan pada 23 Februari 1918.
Pencatutan nama KH Ahmad Dahlan pun segera diklarifikasi. KH Ahmad Dahlan dalam Darmo Kondo membantah apa yang disangkakan kepadanya.
“Dalam Darmo Kondo Haji Ahmad Dahlan memberikan klarifikasi bahwa dirinya sama sekali tidak membela tulisan Djojodikoro, dan justru sangat melawan tulisan tersebut,” tutur Adhyt.
Pembentukan & Aksi TKNM
Organisasi yang berdiri pada 6 Februari 1918 itu diketuai langsung oleh Tjokroaminoto. Sementara sebagai sekretaris Sosrokardono dan bendahara Syaikh Roebaja bin Ambarak bin Thalib dari Al-Irsyad.
Vergadering pertama TKNM berlangsung pada tanggal 7 Februari 1918. Pertemuan akbar tersebut diikuti oleh 1000 utusan yang berasal dari berbagai organisasi Islam.
Ribuan peserta yang merupakan perwakilan dari Al-Jamiah al-Khairiyah, Sarekat Islam (SI), Nahdlatul Wathan, Muraatul Ikhwan, Taman Kamulyan, Ittihadul Ikhwan, dan Cahaya Islam itu mengeluarkan sebuah pernyataan bersama. Pernyataan tersebut keesokan harinya dikirimkan kepada Gubernur Jenderal, Sri Susuhunan dan Resident Surakarta.
“(Mereka) meminta pertimbangan dari Gubernur Jenderal akan kasus ini, agar dikemudian hari tidak terulang kejadian yang sama,” ujar Adhyt.
Aksi massa terus bermunculan terhadap tindakan dan sikap R. Marthodarsono. Bahkan pada tanggal 24 Februari berlangsung aksi serempak di 40 lokasi se-Jawa dan Sumatera.
Aksi tersebut salah satunya berlangsung di Lapangan Sriwedari, Solo yang diikuti oleh 25.000 orang. Aksi digerakkan oleh Haji Misbach, Haji Hisamzaijnie dan Purwodiharjo itu menyatakan sikap anti terhadap R. Marthodarsono dan Djawi Hisworo.
Bersinggungan Dengan Kaum Abangan
Kehadiran TKNM yang kemunculannya berlangsung serempak di semua daerah cabang-cabang SI rupanya membuat risih kalangan abangan. Terutama mereka yang tergabung dalam Javaansche Nationalisme.
“Komite tersebut tidak setuju akan berdirinya TKNM, karena gerakan tersebut hanya untuk menyerang R.Marthodarsono dan Djojodikoro serta tidak menghormati ilmu Jawa,” kata Adhyt.
Kalangan abangan menilai kehadiran TKNM sebagai sebuah gerakan Islam radikal. Mereka mencoba memprovokasi masyarakat untuk tidak bergabung dalam TKNM.
“Ia mengatakan bahwa Komite TKNM adalah “gerakan oentoek memboeat bertjerai-berai antara golongan manoesia dan menanam bidji kebetjian pada agama”, ungkap Adhyt.
Sementara itu Ahsanul Alfan dalam Gerakan Kanjeng Nabi Muhammad (TKNM) Tahun 1918 menjelaskan bahwa kelompok abangan mengirimkan sebuah surat rilis kepada Surat Kabar Neratja pada 23 Februari 1918.
Kelompok abangan mengatakan jika TKNM sangat membahayakan bagi nasionalisme bangsa Jawa. TKNM dianggap sebagai penghalang bagi praktik pengamalan kepercayaan kelompok abangan.
“(Komite Javaansche Nationalisme) menuduh bahwa TKNM bisa membahayakan nasionalisme Jawa…karena mereka bermaksud menghalang-halangi orang Jawa dalam mengamalkan kepercayaannnya,” tutur Ahsanul.
Ahsanul juga menambahkan kebencian kelompok abangan itu tidak lepas dari pertarungan ideologis antara kalangan Islam dan sekuler. Bagi kalangan Islam, perjuangan melawan kolonial harus dilandasi semangat ke-Islaman.
Bagi kalangan sekuler berlaku sebaliknya. Mereka ingin perlawanan terhadap kolonialisme itu bebas dari pengaruh agama.
Keberadaan TKNM memang tidak berumur panjang, dikarenakan hingga akhir tahun 1918 mereka tidak memiliki program yang nyata. Namun demikian kehadiran TKNM menjadi inspirasi lahirnya berbagai gerakan keumatan, salah satunya di Solo dengan hadirnya Perhimpunan Sidiq Amanah Tabligh, Fathonah (SATV) pada tahun 1919.
Penulis: Kukuh Subekti