“Dari pengalaman yang dimiliki oleh panglima-panglima perang Belanda yang telah
melakukan peperangan di segala penjuru dan pojok Kepulauan Indonesia, bahwa tidak ada
bangsa yang lebih pemberani perang serta fanatik, dibandingkan dengan bangsa Aceh, dan
kaum wanita Aceh yang melebihi kaum wanita bangsa lainnya, dalam keberanian dan tidak
gentar mati. Bahkan, mereka pun melampaui kaum laki-laki Aceh yang sudah dikenal
bukanlah laki-laki lemah dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka,”
(H.C. Zentgraff, Wartawan Berkebangsaan Belanda, Penulis Buku ‘Atjeh’)
ISLAMTODAY ID— Cut Nyak Dien merupakan pejuang muslimah Perang Aceh yang paling ditakuti dan disegani oleh Belanda. Demi memadamkan api perlawanannya, Belanda sengaja menjauhkannya dari Aceh dan mengasingkannya jauh ke Sumedang pada 11 Desember 1906.
Semasa hidupnya ia ditakdirkan menjadi seorang pejuang dan istri seorang pejuang. Pertama, ia mendampingi perjuangan Teuku Cik Ibrahim Lamnga hingga suami pertamanya itu syahid.
Ia yang sempat menjanda itu kemudian bersedia menerima pinangan Teuku Umar. Keduanya pun menikah dan melanjutkan perjuangan melawan Belanda.
Teuku Cik Ibrahim Lamnga adalah seorang ulama pejuang yang gigih pada era Kesultanan Aceh Darussalam, ia syahid pada 29 Juni 1878.
Syahidnya Teuku Cik Ibrahim membuatnya semakin mencintai agamanya. Ia berikrar hanya akan menikah kembali dengan laki-laki yang bersedia membantunya melawan tentara kafir Belanda.
“Jika hati Din sesudah itu dapat pula melekat kepada Teuku Umar, maka yang menjadi dasar dan sebabnya hanyalah satu: tertariknya hati seorang laki-laki yang di dalam Sabilillah, melawan kafir, hendak dijadikan kawan se-ikhwan, rekan seperjuangan. Rekan itulah yang akan mengangkat senjata untuknya, penumpas kafir yang sedang menodai tanah airnya. Kawan itulah yang akan menyertainya dalam ia berhasrat hendak mengusir orang kafir dari tanah Aceh. Bukanlah suami baru sebagai pengganti yang hilang hendak dicarinya, penghibur hati yang gundah. Melainkan ia kehilangan kawan guna menyambung tangan yang puntung, di dalam berhasrat hendak menerkam musuhnya,” tulis Szekely Lulofs, seorang penulis berkebangsaan Belanda dalam bukunya berjudul Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh.
Sementara suami keduanya, Teuku Umar. Ia juga syahid dalam pertempuran melawan Belanda pada 11 Februari 1899.
Cut Nyak Dien dan Teuku Umar merupakan kawan perjuangan yang solid. Keduanya saling bekerjasama dalam perjuangan melawan Belanda selama 19 tahun lamanya, sejak tahun 1880 hingga tahun 1899.
“Ia turun ke medan laga sambil mengasuh, menyusui, dan menggendong anaknya yang masih kecil, pedang terhunus, rencong Aceh di luar sarung pinggang. Ia menghadapi Belanda laksana singa betina,” ujar Reni Kumalasari dalam Perempuan Aceh Dalam Politik Kajian Kegigihan Perjuangan Cut Nyak Dhien Dalam Melawan Penjajahan Belanda.
Panglima Perang Gerilya
Sepeninggal dua suami yang sangat dicintai dan dikasihinya itu, memantapkannya untuk terus melakukan perlawanan pada Belanda. Ia tak ingin berlarut-larut dalam kesedihan.
Cut Nyak Dien bersama pasukannya senantiasa melakukan perang gerilya di wilayah Aceh. Mereka terus menerus bergerak dengan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
“Serdadu Belanda yang telah berpengalaman sekalipun selalu gagal untuk menemukannya,” ungkap Muchtaruddin Ibrahim dalam buku Cut Nyak Din.
Pada tahun 1901 ketika operasi penangkapan Cut Nyak Din terus meningkat, ia dan pasukannya bergerilya dari Beutung menuju Gayo, Aceh Tengah. Untuk menghindari pasukan Belanda mereka sempat menetap sementara di Kampung Celala, 30 km barat daya Kota Takengon.
Kehadiran Cut Nyak Din di Kampung Celala disambut baik oleh rakyat Gayo. Mereka menjamin seluruh kebutuhan dan keamanan Cut Nyak Din.
Setahun kemudian, tepatnya tahun 1902, Belanda menggempur wilayah Gayo. Hal ini mendorong Cut Nyak Din kembali bergerilya dengan bertolak ke Beutung Atas, perbatasan antara Aceh Barat dan Aceh Tengah.
“Tahun 1902 Van Daalen (Kapten Pasukan Marsose) yang ambisius itu mengerahkan kekuatan tempumya ke daerah Gayo (Aceh Tengah) dengan tujuan untuk menyapu bersih perjuangan rakyat Gayo,” tutur Muchtaruddin.
Muchtaruddin menuturkan dalam diri Cut Nyak Din telah terpatri niat untuk mengusir Belanda dari Indonesia.
“Orang-orang kafir harus diusir dari Aceh. Seruan Cut Nyak Din (itu) untuk melanjutkan perjuangan mendapat simpati dari rakyat Aceh. Kata-katanya yang tajam membakar semangat pemudapemuda Aceh,” ucap Muchtaruddin.
Sumber lainnya seperti diungkapkan oleh Reni Kumalasari semenjak Cut Nyak Dien turun ke medan pertempuran, ribuan tentara Belanda tewas. Ia tampil sebagai pemimpin perang sabil yang gagah berani.
“Selama enam tahun ia terus berusaha untuk melakukan dan mengkoordinir suatu serangan yang besar-besaran terhadap kedudukan Belanda,” ujar Reni Kumalasari.
Sosoknya yang kharismatik membuatnya dengan mudah mampu menggerakan seluruh elemen rakyat Aceh, salah satunya di Meulaboh. Rakyat Aceh dari berbagai elemen masyarakat seperti Uleeballang, para datuk, penghulu hingga rakyat biasa bergerak di bawah komandonya.
Cut Nyak Din juga tampil sebagai panglima perang yang cerdik. Dalam berperang ia sengaja membagi jumlah pasukannya hingga jumlah terkecil.
Ia dan pasukannya bergerak menyebar dengan cara bergerilya ke berbagai seluruh penjuru Aceh. Keluar masuk hutan belantara, melewati gunung dan lembah tak dihiraukannya.
“Masuk dan keluar belantara, naik dan turun gunung hingga ia uzur dan rabun, tetap rencong terselip di pinggangnya dan siap terhunus untuk musuhnya,” ujar Reni Kumalasari.
Reni mengatakan di tahun-tahun terakhirnya bergerilya Cut Nyak Din hidup dalam penuh kesederhanaan. Sebagai seorang putri bangsawan ia rela makan seadanya apa yang tersedia di hutan belantara.
Komitmennya untuk berjuang melawan penjajah Belanda tak surut walau fisiknya kian melemah. Ia enggan untuk tunduk dan takluk pada pasukan tentara kafir, Belanda.
“Takluk kepada kaphe? Cis najis, semoga Allah SWT menjauhkan perbuatan yang sehina ini dariku. Selama masih hidup, masih berdaya, perang suci melawan kaphe ini hendakku teruskan. Demi Allah! Polem hidup, Bait hidup, Sultan Dauh hidup, dan kita hidup! Belum ada yang kalah, Umar syahid, marilah kita meneruskan perkerjaannya, guna agama, guna kemerdekaan bangs akita, guna Aceh, guna Allah!” tulis Reni Kumalasari dikutp dari buku Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh.
Perjuangan gerilyanya berakhir semenjak Belanda menangkapnya di tempat persembunyiannya pada 4 November 1905. Belanda akhirnya mengasingkannya hingga ke Sumedang.
Beberapa sumber menyebutkan ia diasingkan ke Sumedang pada 11 Desember 1906. Namun ada pula yang menyebut pada tahun 1907.
Selama di Sumedang, Cut Nyak Din mengisi hari-harinya menjadi guru ngaji bagi masyarakat sekitar. Ia merupakan hafidzah atau seorang penghafal Al-Qur’an yang dihormati di Sumedang.
Tak lama berselang, Cut Nyak Din pun syahid dalam pengasingannya di Sumedang, tepatnya pada 6 November 1908. Ia dimakamkan tak jauh dari makam para bangsawan Sumedang, di Gunung Puyuh, Desa Sukajaya, Kec. Sumedang Selatan, Sumedang, Jawa Barat.
Penulis: Kukuh Subekti