“Segala perairan di sekitar, di antara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagian pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian daripada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak daripada Negara Republik Indonesia. Lalu-lintas yang damai diperairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/mengganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.”
(Cuplikan dari Deklarasi Djuanda)
ISLAMTODAY ID— Deklarasi Djuanda merupakan peristiwa penting dalam sejarah bangsa Indonesia. Urgensi peristiwa tersebut dinilai sama pentingnya dengan peristiwa Sumpah Pemuda tahun 1928, dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesi di tahun 1945.
Deklarasi pada 13 Desember 1957 ini adalah penegasan atas kedaulatan perairan NKRI. Deklarasi ini sekaligus menegaskan bahwa Indonesia tidak lagi menganut hukum laut kolonial Belanda Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie tahun 1939.
Aturan kolonial merujuk pada hukum laut yang dibuat oleh Hugo Grotius, ahli hukum laut internasional berkebangsaan Belanda sejak tahun 1608. Sebuah aturan yang menghendaki kebebasan berlayar bagi kapal-kapal asing di negara lain, terutama Indonesia.
Pakar hukum laut internasional Indonesia, Prof. Hasjim Djalal menilai aturan yang dicetuskan oleh Hugo Grotius itu sangat merugikan Indonesia. Hukum yang dibuat pada awal abad ke-17 M itu dinilai jadi pintu masuk kolonialisme di Indonesia.
“Justru hukum internasional itu yang membawa penjajahan ke Indonesia, sehingga Indonesia dijajah selama 300 tahun lebih karena didasarkan pada hukum internasional yang menyebut laut itu bebas buat semua orang,” ungkap Prof. Hasjim dikutip dari kanal youtube Sekretariat FPCI edisi 11 Juni 2019.
Ia juga memaparkan bagaimana perjuangan Indonesia untuk membuat Deklarasi Djuanda itu diakui dan diterima dunia.
“Usaha memperoleh pengakuan itu wajar saja, walaupun tidak gampang,” ucap Prof. Hasjim Djalal.
Deklarasi yang dideklarasikan tepat dua bulan sebelum Konferensi Jenewa pada Februari 1958 itu menemui sejumlah hambatan. Dalam forum internasional tersebut konsep negara kepulauan atau archipelagic state belum banyak dipahami.
“Tidak ada orang yang mengerti pada waktu itu. What this it? Negara Kepulauan ini?” tutur Prof. Hasjim Djalal.
Pasca kegagalan pemerintah dalam Konferensi Jenewa itu pemerintah segera melakukan berbagai tindakan. Menjalin hubungan diplomasi terus dilakukan ke berbagai negara.
Dilingkungan terdekat ada negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Kemudian sejumlah negara yang sering melakukan perjalanan laut seperti Amerika, Australia dan Jepang.
Sementara di tingkat nasional pemerintah menyusun sejumlah aturan laut nasional pada tahun 1960. Yakni keluarnya Undang-undang No.4/prp/1960 tentang Perairan Indonesia.
Hal-hal yang harus digarisbawahi pada periode tahun yang sama situasi politik nasional Indonesia belum stabil. Berbagai peristiwa pemberontakan seperti Permesta, PRRI yang diduga melibatkan asing.
“Yang menjadi masalah waktu itu adalah sebagian daripada peristiwa-peristiwa ini didukung oleh kekuatan-kekuatan asing dengan mempergunakan laut,” tutu Prof. Hasjim Djalal.
Pada saat yang sama kedaulatan atas laut belum diatur oleh pemerintah, sehingga asing datang dengan mudah ke berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya di Sulawesi Utara.
“Ada salah satu pesawat terbang Amerika pada waktu itu memberikan bantuan dan ditembak oleh Angkatan Udara di Sulawesi Utara, jadi fungsi laut kita jadi fungsi orang luar,” ungkap Prof. Hasjim Djalal.
Makna Deklarasi
Sementara itu Sejarawan Anhar Gonggong menyoroti beberapa hal tentang Deklarasi Djuanda. Mulai dari perjuangan diplomasi dilakukan Indonesia tanpa henti sejak 1958 hingga 1982 hingga makna diplomasi bagi keutuhan bangsa.
“Dua puluhan tahun kita berhasil meyakinkan dunia bahwa wilayah Indonesia seperti, dan itu artinya garis kelautan kita bertambah dari sekitar dua jutaan menjadi lima jutaan,” kata Anhar Gongong dilansir dari kanal youtube Anhar Gongong edisi 25 Desember 2020.
Ia mengatakan deklarasi memiliki makna penting bagi Indonesia yang berbentuk negara kepulauan. Pada masa itu aturan laut internasional masih memberikan kebebasan bagi suatu kapal asing untuk melintasi laut suatu negara.
Selain itu muncul pula desakan di internal kabinet tentang perlunya penyatuan wilayah Indonesia. Deklarasi Djuanda menjadi pegangang bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan nasionalnya.
“Ada desakan agar supaya kabinet Djuanda mengambil langkah-langkah untuk melakukan sesuatu yang akan menjadi pegangan bagi penyatuan wilayah Indonesia yang terdiri dari laut itu,” ujar Anhar.
“Dengan deklarasi ini keutuhan dan kesatuan wilayah republik menjadi jelas,” imbuhnya.
Deklarasi DJuanda baru diakui dalam Konvensi PBB tahun 1982 atau United Nation Convention of Law of the Sea (UNCLOS). Sejak saat itu dunia internasional akhirnya menerima konsep negara kepulauan atau archipelagic state yang diusulkan oleh Indonesia.
Maka sejak saat itu ada aturan khusus bagi negara kepulauan seperti Indonesia. Diaturnya beberapa tata perairan laut seperti Laut Teritorial sepanjang 12 mil dari garis pangkal, Zona Tambahan sepanjang 24 mil, kemudian Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) yang lebarnya 200 mil dari garis pangkal.
Khusus wilayah ZEE di dunia dimiliki oleh 15 negara yang terdiri atas Amerika Serikat, Prancis, Indonesia, Selandia Baru, Australia, Rusia, Jepang, Brasil, Kanada, Meksiko, Kiribati, Papua Nugini, Chili, Norwegia, dan India. Indonesia berada diurutan ketiga setelah Amerika dan Prancis.
Pada area ZEE inilah Indonesia memiliki kedaulatan untuk tujuan eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan mengelola sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati di perairannya, dasar laut dan tanah di bawahnya serta untuk keperluan ekonomi di zona tersebut seperti produksi energi dari air, arus, dan angin.
Kini perjuangan yang dilakukan oleh Ir. Haji Djuanda diperingati sebagai Hari Nusantara. Peringatan Hari Nusantara tersebut telah ditetapkan pemerintah sejak tahun 2001 silam.
Penulis: Kukuh Subekti