ISLAMTODAY ID— Kitab Angger-angger atau undang-undang dalam sejarah Kesultanan Islam di Jawa sangatlah penting. Bahkan keberadaanya menjadi ancaman yang ditakuti Belanda.
Belanda melakukan upaya intervensi penggunaan kitab angger-angger. Intervensi ini dilakukan setelah mereka nyaris kalah dalam Perang Diponegoro.
Belanda melakukan berbagai cara untuk memperlemah kekuasaan Kesultanan Islam di Jawa, termasuk undang-undangnya. Awalnya kitab tersebut digunakan untuk menangani semua perkara hukum baik perdata ataupun pidana
Riwayat penggunaan Kitab Angger-angger sebagai pijakan pengambilan keputusan suatu perkara peradilan dibenarkan oleh Kyai Muhtarom selaku Tafsir Anom Keraton Kasunanan Surakarta.
“Angger-anger itu semacam perundang-undangan, dalam bahasa Jawa angger-angger itu kan undang-undang,” kata Kyai Muhtarom kepada ITD saat diwawancarai pada Kamis (30/12/2021).
Kyai Muhtarom menjelaskan lebih lanjut tentang sistem hukum masyarakat Jawa era Kesultanan Islam. Salah satunya pada masa Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Keadilan hukum bagi masyarakat di wilayah Keraton Surakarta Hadiningrat pada masa lalu akan diperolehnya dengan mengikuti Pengadilan Serambi. Pengadilan yang berlangsung di serambi Masjid Agung dan diputuskan oleh para ulama keraton.
Kyai Muhtarom mengungkapkan sejak era Paku Bhuwono (PB) IV Kitab Angger-engger telah digunakan. Saat itu berbagai perkara pidana dan perdata diputuskan langsung lembaga Pengadilan Serambi.
“Mulai era PB IV kan itu dari permasalahan2 perdata sama pidana itu semuanya diselesaikan di Serambi,” ujar Kyai Muhtarom.
Pasca Perang Diponegoro
Namun penerapan hukum Islam dalam Pengadilan Serambi mengalami perubahan. Salah satunya dipengaruhi oleh ketakutan Belanda pasca berakhirnya Perang Diponegoro.
“Ketika pergolakan perlawanan Diponegoro dan kemudian PB VI mendukung perjuangan Diponegoro waktu itu dalam antikolonial dan akhirnya PB VI ditangkap dan dibuang di Sulawesi,” tuturnya.
“Setelah PB VI itu peran pengadilan Serambi oleh Belanda tu dikurangi, diintervensilah,” imbuh Kyai Muhtarom.
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat pun mengalami tekanan. Upaya penegakkan hukum makin dipersempit, Pengadilan Serambi tak lagi menangani perkara pidana.
“(Pengadilan) Serambi Masjid Agung, hanya diperuntukan permasalahan-permasalahan perdata saja. Kemudian masalah pidana itu diselesaikan di Gubernur Jenderal,” ungkap Kyai Muhtarom.
Maka sejak era PB VII, Pengadilan Serambi hanya menangani masalah-masalah perdata umat Islam seperti pernikahan, perceraian hingga pembagian warisan.
“Semua permasalahan-permasalahan hukum di keraton yang semula berpusat di serambi sehingga berubah hanya permasalahna perdata saja,” katanya.
Penyempitan peran Pengadlilan Serambi ini berlangsung hingga era Tafsir Anom V dan puteranya Prof. Adnan. Bahkan berlakunya sistem peradilan serambi era Kasunanan Surakarta Hadiningrat nantinya diadopsi oleh sistem Pengadilan Agama di Indonesia.
“Profesor Adnan memperjuangkan itu satu diantaranya adalah peradilan agama, pendidikan perguruan tinggi Islam karena kan ada Mambaul Ulum di keraton sebagai pusat kaderisasi ulama,” tutur Kyai Muhtarom.
“Kebetulan posisi beliau sangat strategis sebagai salah satu konsultan ahli di Kemenag,” jelasnya.
Angger-angger, Kitab Kodifikasi Hukum Islam
Seorang Pemerhati Sejarah dan Budaya Jawa, Susiyanto Pengadilan Surambi, Praktik Hukum Islam di Jawa mengungkapkan tentang kitab-kitab apa saja yang menjadi rujukan dalam Kitab Angger-angger.
Pertama, Kitab Muharrar fi al-Fiqh al-Syafi’i karya Syaikh al-Islam al-Imam Abu al-Qasim Abdul Karim bin Muhammad bin Abdul Karim al-Rafi- ‘iy al-Qazwini karya Imam Ar-Rafi’iy.
Kedua, Kitab Tuhfah al-Muhtaj karya Ibn Hajar al-Haitamiy.
Ketiga, Kitab Fathul Mu’in karya Zainuddin Abdul Aziz al-Malibariy.
Keempat, Kitab Fathulwahab karya Syaikh Abu Yahya Zakaria Al-Anshoriy.
Susiyanto menambahkan dalam pelaksanaannya hukum Islam di Pengadilan Serambi ditangani oleh sepuluh orang. Mereka adalah satu orang Kyai Penghulu (Penghulu Ageng), empat orang Penghulu Pathok Nagari, seorang penghulu hakim dan empat orang panitera pengadilan.
Pelaksanaan hukum serambi pada masa Kesultanan Islam di Jawa juga memiliki eksekutor khusus. Mereka terdiri atas Nirbaya untuk terpidana hukum gantung, Martalulut terpidana hukum tikam keris, tombak atau pedang dan Singanagara terpidana hukum qisas atau potong tangan.
Penulis: Kukuh Subekti