ISLAMTODAY ID—- Bongal adalah situs cagar budaya di Desa Jago-jago, Kec. Badiri, Kab. Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara (Sumut). Temuan artefak-artefak kuno Bongal semakin menguatkan Bongal sebagai kota pelabuhan kuno yang pernah eksis pada abad ke-7 hingga 10 Masehi.
Situs Bongal dan berbagai artefaknya diyakini akan mampu mengubah historiografi Indonesia. Kesimpulan ini berdasarkan hasil temuan artefak Bongal baik yang berasal dari dalam maupun mancanegara.
Ketua Tim Peneliti Arkeologi Situs Bongal, Dr. Ery Soedowo mengatakan temuan artefak kuno Situs Bongal bisa merubah historiografi Indonesia. Pasalnya, data arkeologis Bongal terbukti lebih tua dari Situs Barus, kawasan yang dianggap sebagai titik nol peradaban Islam di Nusantara.
“Data arkeologis yang ditemukan di situs Bongal, Desa Jago-jago, Kab. Tapanuli Tengah akan mengubah historiografi Indonesia,” kata Ery belum lama ini.
Temuan di Bongal itu didominasi oleh berbagai artefak Islam. Berikut ini contoh-contoh temuan di Bongal yang didominasi oleh temuan Islam:
Pertama, koin-koin emas era Abbasiyah dan Umayyah. Koin era Umayyah misalnya, terbit pada tahun 75-95 Hijriyah atau tahun 694 sampai 713 Masehi.
Koin tersebut termasuk koin edisi perdana Umayyah yang masih mengadopsi koin-koin Persia Kuno. Koin ini masih memuat gambar Raja Persia yang bernama Raja Khusrau II yang dikelilingi dengan tulisan Arab.
Kedua, wadah kalam. Kalam ialah alat tulis yang familiar digunakan oleh Bangsa Arab, pada abad pertama Hijriyah atau abad ke-7 sampai 9 Masehi.
Ketiga, guci Neishapur. Merupakan guci atau gerabah berglasir yang berasal dari Persia. Keramik dengan metode pewarnaan dari campuran kaca dan timah ini diperkirakan diproduksi pada abad ke-7 Masehi.
Keempat, wadah kaca berkerat khas Timur Tengah. Wadah kaca ini diyakini sebagai alat penyulingan minyak dari pohon kapur atau kemenyan. Melalui alat inilah komoditas yang berasal dari pohon kapur tidak dibawa dalam bentuk gelondongan pohon.
Kelima, temuan yang berasal dari pecahan kayu. Berdasarkan hasil uji laboratorium kayu tersebut berasal dari tahun 668 sampai tahun 778 Masehi.
Pecahan kayu ini memuat aksara yang diperkirakan berasal dari Kerajaan Sriwijaya. Kerajaan yang berada di aliran Sungai Musi, Sumatera Selatan.
Keenam, buah pala. Salah satu komoditas yang berasal dari luar Pulau Sumatera. Berdasarkan hasil uji penanggalan buah pala telah ada di Bongal sejak abad ke-6 Masehi.
Ketujuh, keramik yang berasal dari era Dinasti Tang (abad ke-8 sampai 9 Masehi). Kehadiran keramik ini membuktikan bahwa Bongal adalah pelabuhan internasional penting di dunia.
Awal Mula Ekskavasi
Temuan arkeologi di situs Bongal sudah diketahui sejak tahun 2019, dengan ditemukannya fragmen Arca Ganesa. Namun upaya penyelamatan kawasan Bongal belum mendapatkan perhatian serius.
Perhatian terhadap situs ini baru muncul setelah viral penemuan koin Umayyah dan Abbasiyah serta temuan kayu tiang pancang bangunan ditahun 2020.
Media Literasi Nesia dan lembaga riset Sultanate Institute terpanggil untuk mendorong penyelamatan situs ini.
Di tahun 2021 dilakukan ekskavasi di situs Bongal. Ekskavasi ini menghasilkan sejumlah kesimpulan dan rekomendasi.
Salah satu kesimpulan dan rekomendasi tersebut itu ialah menjadikan Bongal sebagai situs cagar budaya. Baik di tingkat kabupaten maupun nasional.
Komitmen menyelamatkan situs Bongal terus berlanjutm tahun 2022 PT media literasi nesia dan Sultanate Institute kembali berkolaborasi dengan BRIN Kantor Arkeologi Sumatera Utara untuk meneliti situs Bongal.
Ekskavasi ke-2 yang diselenggarakan pada 14 sampai 28 Februari 2022 mendapatkan sejumlah temuan penting.
Pada hari ke-6 ekskavasi misalnya ditemukan berbagai ekofak yang berupa biji-bijian, dan gumpalan getah damar. Selain itu kegiatan ekskavasi ditemukan pula fragmen kayu yang dibuat runcing dan dilubangi.
Temuan yang paling istimewa dalam ekskavasi tahap dua ialah temuan lempengan kuningan berinskripsi Arab. Menariknya meskipun ditulis dengan kaligrafi Arab namun tidak memakai bahasa Arab tapi bahasa Ajam.
Istimewanya lempengan kuningan ini diyakini sebagai hiasan piring khusus untuk jamuan istimewa era Abbasiyah. Piring besar ini biasanya digunakan untuk tempat penyajian buah-buahan.
Dari ekskavasi tersebut ketua tim arkeolog Ery Sudewo menyusun kesimpulan sementara, antara lain:
Pertama, antara abad VI-X M, situs Bongal adalah satu pelabuhan dan permukiman dengan berbagai aktivitas sehari-hari yang kompleks.
Kedua, komoditas yang dihasilkan oleh alam Nusantara seperti emas, kamper, kemenyan, pala, damar, kemiri, dan pinang menjadi alasan para pelaut dan pedagang mancanegara & Nusantara menyinggahi Bongal di masa lalu.
Ketiga, artefak mancanegara beragam bentuk berasal dan Asia Barat, Asia Selatan, hingga Asia Timur yang ditemukan di situs Bongal adalah bukti keluasan jaringan niaga yang terlibat dalam perdagangan di Bongal khususnya.
Keempat, data arkeologis yang ditemukan di situs Bongal, Desa Jagojago, Kab. Tapanuli Tengah akan mengubah historiografi Indonesia. Khususnya historiografi tentang asal dan awal masuknya Islam di Kepulauan Nusantara.
Ia juga merekomendasikan Bongal sebagai tujuan wisata budaya. Upaya tersebut bisa dimulai dengan pendirian bangunan berupa museum di Desa Jago-jago.
Ery juga meminta agar semua pihak terlibat dalam perlindungan dan pelestarian situs Bongal. Pasalnya keberadaan situs ini sangat terancam dengan adanya bisnis pertambangan tradisional.
“Sebab keberadaan Situs Bongal di masa lalu terkait erat dengan sumberdaya alam yang berada di kawasan Bongal,” tutur Ery.
Cagar Budaya Nasional Hingga World Heritage
Ekskavasi situs bongal mendapat dukungan berbagai pihak, seperti Bupati Tapanuli Tengah (Tapteng), Bakhtiar Ahmad Sibarani hingga para pimpinan provinsi Sumut.
Bupati mengatakan bahwa pihaknya mendukung dan mempercayakan kegiatan ekskavasi yang dilakukan oleh Sultanate Institute. Ia juga berharap agar keberadaan situs Bongal ini tidak hanya menjadi cagar budaya nasional namun juga warisan dunia atau world heritage.
“Saya sebagai bupati, saya mendukung penuh ini digali oleh Sultanate Institute. Saya harap situs ini bisa dikenal bukan hanya di Indonesia tapi juga dunia, dan dunia (UNESCO) menetapkannya sebagai situs penting,” ucap Bakhtiar kepada tim Sultanate Institute dan perwakilan tim peneliti BRIN saat ditemui di Kantor Dinas Bupati Tapteng pada 23 Februari 2022 silam.
Hal senada juga disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi Sumut, Ramansyah Sibarani. Pihaknya mendukung kegiatan ekskavasi Situs Bongal.
“Kita selaku wakil rakyat Sumatera Utara sangat mendukung penggalian situs ini. Karena kita tahu bahwa Situs Bongal merupakan pelabuhan internasional yang telah terbenam di wilayah Jago-jago, Kecamatan Badiri, Kabupaten Tapanuli Tengah,” tutur Ramansyah.
Ramansyah juga menyatakan komitmennya sebagai wakil rakyat untuk turut bertanggungjawab terhadap penggalian situs-situs bersejarah. Bahkan ia siap untuk mengawal penetapan Situs Bongal sebagai cagar budaya nasional.
Tak hanya itu, Koordinator Kantor BRIN Arkeologi Bahasa dan Sastra Sumut, Ketut Wiradnyana menilai situs bongal layak menjadi cagar budaya nasional. Bahkan menurutnya situs ini layak menjadi world heritage.
Kesimpulan Ketut didasarkan atas berbagai data artefak yang ditemukan di Situs Bongal. Hasil uji temuan-temuan artefak Bongal menunjukkan fakta yang mengejutkan.
“Data-data yang dimiliki oleh Situs Bongal dari proses ekskavasi dan data pada temuan-temuan di situs ini sangat langka,” ujar Ketut.
Ketut juga mengungkapkan jika Bongal memainkan posisi penting dalam dunia pelayaran kuno. Bongal tidak hanya sebagai kawasan penghasil komoditas perdagangan namun juga tempat memroduksi.
Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya botol-botol kaca, alembic atau alat destilasi. Bahkan ditemukan pula alat untuk mencetak koin mata uang.
“Ada indikasi yang kuat bahwa di Bongal ini orang tidak hanya mengumpulkan kekayaan atau komoditas alam saja, tetapi mereka juga turut mengolah kekayaan alam itu di sini,” ujar Ketut
“Jadi teknologi pengolahan kekayaan alam itu sudah dilakukan di sini. Itu menunjukkan bahwa betapa intensnya aktivitas masyarakat pada masa itu atau pada kurun abad ke-7 hingga 10 Masehi,” pungkasnya.
Penulis: Kukuh Subekti