ISLAMTODAY ID—Kesultanan Buton memiliki konstitusi yang dinamai Murtabat Tujuh Sara Wolio, atau lebih populer disebut Undang-undang Martabat Tujuh.
Konstitusi ini dibuat pada masa Sultan La Elangi Dayanu Ikhsanuddin (1597-1631), sultan keempat Buton.
Martabat Tujuh disahkan oleh Sultan Dayanu Ikhsanudin pada tahun 1610. Pembuatan undang-undang baru ini didampingi oleh seorang ulama asal Arab yang bernama Syarif Muhammed.
Undang-Undang Martabat Tujuh terdiri dari 11 bab, 21 Pasal, yang jika terperinci bisa menjadi 46 pasal. Konstitusi Kasultanan Buton ini diawali dengan hadis Nabi yang sangat termahsyur di kalangan para pengikut sufisme.
“Man Arafa Nasfahu Laqad Arafa Rababhu yang artinya barang siapa mengenali dirinya, maka ia akan mengenal Rabbnya”
Konstitusi ini dipraktikkan kurang lebih lima abad, dengan 38 periodisasi masa kepemimpinan Sultan.
Martabat Tujuh menjadi pedoman penguasa dan para pejabat dalam menjalankan pemerintan di Kesultanan Buton.
Menurut La Ode Dirman dalam Sejarah Etnografi Buton konstitusi ini menata pemerintahan Kesultanan Buton.
Peran eksekutif dijalankan oleh Mokenina Parinta. Kemudian, peran Legislatif dijalankan oleh Mokenina Kafaka te Kambotu. Sementara peran yudikatif dilaksanakan oleh Sara Wolio dan Sara Hukumu. Dua lembaga ini bertugas menanganai masalah umum dan perdata.
Tak hanya itu, urusan kepegawaian ditangani oleh Bonto Ogena (Menteri Koordinator).
“Sejumlah aturan penting diatur dalam undang-undang ini. Mulai dari prosedur pengangkatan sultan hingga penghapusan perbudakan,” ungkap La Ode Dirman dalam bukunya Buku Sejarah dan Etnografi Buton.
Kriteria dan syarat Pejabat
Undang-undang Murtabat Tujuh juga mengatur kriteria dan syarat bagi calon pegawai di Kesultanan Buton.
Pertama, sidiq yakni benar, jujur, dalam segala hal, rela dijalan kebenaran, tidak boleh berbohong.
Kedua, tabligh yakni menyampaikan segala perkataan yang memberi manfaat terhadap kepentingan umum.
Ketiga, amanah yakni mempunyai rasa kepercayaan terhadap umum.
Keempat, fathonah yakni fasih lidah dalam berbicara, tidak boleh berbicara kaku.
Oleh karena itu, Menurut La Ode Dirman Martabat Tujuh merupakan konstitusi yang sangat istimewa. Konstitusi ini tidak hanya mengatur aspek ketatanegaraan. Aspek kehidupan sosial masyarakatnya pun ditata sedemikian rupa.
“Salah satu kekuatan Murtabat tujuh ialah kemampuannya menciptakan akhlak yang tinggi di kalangan masyarakat Buton selama lebih dari tiga ratus tahun,” tulis La Ode Dirman dalam.
Pemilihan Sultan
Martabat Tujuh merubah tata cara pemilihan pejabat, termasuk pemilihan seorang raja.
Sebelum lahirnya konstitusi Martabat Tujuh di Buton, posisi raja selalu menggunakan sistem monarki absolut.
Posisi raja selalu diwariskan kepada putra mahkota secara turun-temurun. Namun pascalahirnya konstitusi Martabat Tujuh, proses pengangkatan raja diubah dan harus didasarkan pada persetujuan dari sebuah Mahkamah atau Dewan Pata Limbona.
Proses pencapaian konsensus dilakukan melalui prosedur disebut Faali atau Afaalia. Hasil konsesus dewan tersebut bermakna sebagai basis legimatasi kuasa raja.
Dalam konteks inilah, posisi Pata Limbona, yang pada perkembangannya menjadi Sio Limbona yaitu Majelis Syara Kesultanan Buton.
Konsekwensinya, posisi sultan secara politik diawasi oleh Sio Limbona dan sultan juga sekaligus bertanggung jawab kepada lembaga ini.
Limbona bukan hanya bisa mengkritisi Sultan, juga bisa mengambil tindakan pemakzulan.
Tapi, pemakzulan tidaklah serta-merta sepenuhnya ditentukan oleh Sio Limbona. Pemakzulan harus dikonsultasikan dengan Bonto Ogena, yang menurut perspektif ketatanegaraan kini lembaga itu berfungsi sebagai dewan pertimbangan agung.
Sejarah Kesultanan Buton mencatat momen pemakzulan Sultan. Kejadian ini dialami Sultan Kedelapan yaitu Mardan Ali (1647-1654).
Sultan Mardan Ali dimakzulkan karena dianggap banyak melakukan kesalahan fatal dan melanggar ketentuan konstitusi Martabat Tujuh.
Musyawarah Sio Limbona menyepakati agar Sultan Mardan Ali harus diturunkan demi menyelamatkan negeri dari malapetaka besar.
Tak hanya itu, Sultan dan pejabat Sapati (Perdana Menteri) yang dianggap bersalah ikut menompang kejahatan raja, akhirnya bahkan dijatuhi hukuman mati.
Kasus hukuman mati ini dikenang oleh masyarakat Buton dengan memberi raja tersebut gelar Sultan Yigogoli I-liwuto, yang artinya Sultan yang dihukum mati di Liwuto ( pulau).
Sistem pertahanan dan keamanan
Martabat Tujuh juga mengatur sistem pertahanan dan keamanan Kesultanan Buton .
Pertahanan dan Keamanan Kesultanan Buton dibagi dalam empat zona.
Pertama, pertahanan garis. Pada zona ini pertahanan dan keamanan bekerjasama dengan Kerajaan Barata, Kerajaan Muna di utara, Kerajaan Tiworo di barat, Kerajaan Kolencusu di timur, dan Kerajaan Kaledupa di selatan.
Di Zona Kedua, pertahanan terdiri atas sejumlah wilayah Matana Soromba (empat ujung tombak). Wilayah ini meliputi Wabula di sisi timur, Lapandewa di sisi selatan, Watumo tobe di utara, dan Mawangsangka di Barat.
Sementara zona Ketiga, terletak di belakang lapisan kedua yang disebut Kambari.
Dan Zona keempat, merupakan istana sultan yang berada di dalam benteng.
Kewajiban Jihad
Undang-undang Murtabat Tujuh juga mengingatkan tentang kewajiban berjihad kepada seluruh rakyat Buton.
Hal ini bisa dilihat dengan adanya ungkapan:
Amadaki-amadakimo Arataa, Solana bholi o Karo
Amadaki-amadakimo Karo, Solana bholi o Lipu
Amadaki-amadakimo Lipu, Solana bholi o Sara
Amadaki-amadakimo Sara, Solana bholi o Agama
Artinya:
Biarlah rusak harta benda, asal jangan rusak diri
Biarlah rusak diri, asal jangan rusak negeri
Biarlah rusak negeri, asal jangan rusak pemerintah
Biarlah rusak pemerintah, asal jangan rusak agama.
Pengaruh Tasawuf
Martabat Tujuh pertama kali mengemuka dari teks tasawuf, At-Tuhfah al-Mursalah Ila Ruh an-Nabiy, dikarang oleh Muhammad Ibnu Fadhlillah al-Burhanfuri al-Hindi, seorang sufi kenamaan dari Gujarat (w. 1620 M). Kitab ini berisi tentang tujuh martabat ilahiah yang didasarkan atas pemikiran falsafi Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili.
Pengaruh ajaran tasawuf ini ditengarai masuk melalui jaringan intelektual ulama Nusantara. Bahkan, telah muncul di era awal pengislaman melalui pemikiran Hamzah Fansuri, Syekh Syamsuddin al-Sumatrani, Abdul Rauf Singkel di Sumatra, atau Muhammad Arsyad al-Banjari di Banjar (Kalimantan), Syeikh Abdul Wahid dan Firus Muhammad di Buton (Sulawesi).
Penulis: Kukuh/Arief