ISLAMTODAY ID— Betawi atau Jakarta sama seperti kota-kota lainnya di Indonesia. Sebuah kota yang perkembangannya tidak bisa dilepaskan dari peran ulama.
Berikut ulama-ulama Betawi yang pernah memiliki jasa penting dalam perkembangan Islam di Jakarta yang dikutip dari buku Genealogi Intelektual Ulama Betawi karya Rakhmad Zailani Kiki.
- Syaikh Junaid al-Betawi
Syaikh Junaid al-Betawi merupakan ulama yang hidup pada abad ke-19. Ulama yang menjadi porosnya para ulama Betawi ini diperkirakan wafat tahun 1890-an.
Syaikh Junaid lahir di daerah Pekojan, Jakarta Barat. Ia pernah tinggal di Mekah dan menjadi imam Masjidil Haram selama enam tahun lamanya.
Salah satu muridnya yang ternama ialah Syaikh Nawawi al-Bantani. Ia menjadi khatib dan guru besar di Masjidil Haram, bahkan pengarang banyak kitab.
Ulama Betawi yang juga murid dari Syaikh Junaid adalah Syaikh Mujitaba. Ia juga merupakan menantu dari Syaikh Junaid.
Catatan sejarah tentang Syaikh Junaid salah satunya diungkapkan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje. Hal ini terungkap dalam catatannya di buku Mecca in the latter part of 19th Century.
Snouck menyebut dalam tulisannya jika Syaikh Junaid enggan untuk bertemu dengan dirinya. Menurut catatan Snouck juga, Syaikh Junaid disebut telah tinggal di Makkah selam 60 tahun lamanya.
Syaikh Junaid merantau ke Makkah bersama istri dan keempat anaknya pada tahun 1834. Dalam usianya yang mendekati 90 tahunan itu, ia masih menjadi ulama yang disegani dan dihormati.
“Ulama Makkah masih meminta beliau memimpin zikir dan membaca do`a penutup dalam setiap pertemuan ulama,” ungkap Rakhmad dalam buku terbitan Jakarta Islamic Centre.
- Syaikh Mujitaba
Informasi tentang Syaikh Mujitaba cukup terbatas. Ia merupakan ulama Betawi yang tinggal di Makkah selama 40 tahun.
Tidak diketahui pasti tahun kelahiran dan wafatnya. Selain menjadi pengajar, ia juga berprofesi sebagai pedagang.
“Setiap pulang, ia membawa barang daganganya dari Hijaz yang ia jual di Betawi, termasuk kitab-kitab agama,” tutur Rakhmad.
Salah satu muridnya yang ternama ialah Guru Manshur Jembatan Lima. Ia juga merupakan ulama ternama di Betawi.
- Guru Manshur Jembatan Lima
Guru Manshur Jembatan Lima memiliki nama lengkap Muhammad Manshur bin Abdul Hamid bin Damiri bin Abdul Muhid bin Tumenggung Tjakra Jaya. Ia lahir di Jakarta pada tahun 1878, dan wafat pada 2 Shafar tahun 1387H atau 12 Mei 1967.
Selama di Nusantara ia berguru pada sejumlah ulama mulai dari ayahnya, KH Abdul Hamid, lalu kakak kandungnya KH Mahbub bin Abdul Hamid, Syaikh Mujitaba dan KH. Mahbub bin Abdul Hamid.
Guru-guru lainnya selama di Makkah ialah yaikh Mukhtar Atharid Al-Bogori, Syaikh Umar Bajunaid Al-Hadrami, Syaikh Ali Al-Maliki, Syaikh Said Al-Yamani, Syaikh Umar Sumbawa.
Ia juga mempelajari ilmu falak kepada Abdurrahman Misri seorang ulama dari Mesir dan Ulugh Begh seorang ulama asal Samarkand.
Guru Manshur tidak lama belajar di Makkah, hanya empat tahun. Ia membuka halaqah di Masjid Jembatan Lima, Kenari dan Cikini.
Ia merupakan ulama yang produktif dalam menulis. Total karyanya mencapai 19 buah dan terdiri atas beberapa disiplin ilmu terutama ilmu falaq, nahwu, waris dan puasa.
Kitab-kitab karya Guru Manshur diantaranya ada Sullam An-Nayrain, Khulashoh Al-Jadawil, Kaifiyah Al-Amal Ijtima, Mizan Al-`Itidal, Tajkirotun Nafi`ah fi Shihah `Amal Ash-Shaum wa Al- Fithr, Limatan Bina, Jadwal aw Khut Ash-Sholah Tathbiq Amal Al-Ijitma` wa Al-Khusuf wa al Kusuf dan Jadwal Kiblah.
Keahliannya di bidang ilmu falaq itu diikuti oleh sang cucu KH. Ahmadi Muhammad. Seorang pembuat kalender hisab Al-Manshuriyah.
“Kalender hisab Al-Manshuriyah masih tetap eksis dan digunakan, baik oleh murid-muridnya maupun oleh sebagian masyarakat Betawi maupun umat Islam lainnya di sekitar Jabotabek, Pandegelang, Tasikmalaya, bahkan sampai ke Malaysia,” ujar Rakhmad.
Penulis: Kukuh Subekti