ISLAMTODAY ID— Bencana krisis pangan dan wabah penyakit di Hindia Belanda pada periode tahun 1915 hingga tahun 1919 membuat KH Hasan Arif prihatin. Ia memimpin masyarakat Garut untuk berjihad menentang rencana monopoli padi.
Jihad menentang kebijakan monopoli padi yang dikeluarkan oleh pemerintah kolonial Belanda pada 17 Maret 1919. Perlawanan ini tersebut dikenal dengan Peristiwa Cimareme.
Cimareme, merupakan perkampungan di wilayah Garut. Sebuah daerah pegunungan dengan tanah yang subur yang sangat cocok untuk pertanian.
Padi, jagung, ubi kayu, hingga kacang-kacangan menjadi komoditas pangan para petani Garut. Komoditas pangan yang banyak dibutuhkan oleh seluruh rakyat Hindia Belanda.
Perjuangan KH Hasan Arif
KH Hasan Arif sejak awal memilih bersikap non kooperatif terhadap pemerintah kolonial. Pemerintah kolonial terus menawarkannya jabatan penting di bidang keagamaan.
Ia pun membekali santrinya, dengan Latihan fisik. Terutama pasca tersebarnya berita Perang Dunia I yang terjadi di Eropa.
Peristiwa PD I diyakini akan berpengaruh terhadap kekuatan militer Belanda yang ada di Nusantara. Pada kondisi inilah rakyat Indonesia harus bersatu melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.
“Haji Hasan Arif mengharapkan seluruh rakyat dapat bersatupadu melawan Belanda pada saat Belanda sedang lemah,” ujar Sutrisno Kutoyo dalam KH Hasan Arif, Riwayat Hidup dan Perjuangannya.
Seruan ini cukup beralasan sebab dalam sejarah jika suatu negara terlibat perang maka akan terjadi perubahan kenegaraan. Perubahan ini terjadi tidak hanya di negaranya saja tapi juga di daerah jajahannya.
“Haji Hasan arif melihat tanda-tanda demikian sudah kelihatan pada pemerintahan Belanda,” jelas Sunyoto.
KH Hasan Arif senantiasa memupuk semangat jihad melawan penjajahan Belanda kepada rakyat Garut. Ia berharap gerakan ini juga akan diikuti oleh umat Islam lainnya di Hindia Belanda.
“Para petani dipaksa menjual padinya kepada pemerintah sebanyak empat pikul per bahu (0,7 hektar) dengan harga ditentukan oleh pemerintah,” ungkap Sunyoto.
Aturan pemerintah kolonial ini pun ditentang oleh Haji Hasan Arif. Aturan tersebut dinilai hanya akan menyengsarakan rakyat terutama yang tinggal di Cimareme.
KH Hasan Arif dipaksa untuk menyetorkan padinya sebesar 40 pikul atau setara dengan 2500 kg. Aturan tersebut berlaku untuk semua rakyat pribumi, aturan dzalim inilah yang kemudian ditentang KH Hasan Arif.
Ia sempat beberapa kali mengajukan surat protes kepada pemerintah kolonial. Tidak hanya itu pihaknya juga sering melakukan dialog kepada para pemerintah.
Ikhtiarnya memperjuangkan hak-hak rakyat justru dianggap pemerintah sebagai pemberontakan. Ia bahkan dilaporkan kepada Bupati Garut pada 25 Juli 1919.
Akibatnya pada 12 Agustus 1919, Belanda mengepung rumah KH Hasan Arif dan memintanya menyerah. Pengepungan yang disertai dengan penembakan brutal itu pun membuat Haji Hasan Arif syahid.
Jihad perlawanan KH Hasan Arif dinilai sebagai pembuka bagi perang kemerdekaan, tahun 1945. Tanpa semangat perlawanannya, Revolusi Indonesia dan Perang Kemerdekaan (1945-1949) mungkin akan mengalami kegagalan.
Beberapa peralatan perang di Peristiwa Cimareme kini tersimpan di Museum Sejarah Kodam VI Siliwangi/ Bandung. Benda-benda bersejarah tersebut terdiri atas jubah putih, senjata perang hingga bedug yang digunakan sebagai alat komunikasi penanda bahaya.
Penulis: Kukuh Subekti