ISLAMTODAY ID— Kisah tentang penghentian hujan untuk sementara waktu pernah dilakukan oleh KH Mahrus Ali Lirboyo. Peristiwa ini dilakukan pada hari peresmian Institut Agama Islam Tribakti (IAIT), 25 Oktober 1966 atau 9 Rajab 1386 H.
Saat itu mendung gelap pertanda hujan terjadi menjelang peresmian kampus yang kini bernama Universitas Islam Tribakti (UIT). Situasi ini membuat panik panitia dan seluruh warga pesantren yang telah bersiap-siap dan sedang menunggu Menteri Agama, KH Syaefudin Zuhri.
KH Mahrus lantas memimpin doa, dan memohon kepada Allah agar hujan bisa dihentikan sementara waktu. Langit pun cerah, peresmian gedung kampus UIT Kediri pun berjalan lancar dan khitmat.
Usai acara, hujan pun turut dengan derasnya. Peristiwa ini diakui kalangan santri Lirboyo sebagai buah dari karamah KH Mahrus Aly, berikut kisah sang kiai yang dikutip dari berbagai sumber.
Sang Pembelajar
KH Mahrus Ali seorang ulama Nahdlatul Ulama (NU) yang lahir di Cirebon, Jawa Barat pada tahun 1906. Putra dari pasangan KH Aly bin Abdul Azis dan Hasinah binti Kyai Said ini dikenal sebagai sang pembelajar.
Sebelum dikenal sebagai kiai ternama dari Pesantren Lirboyo, ia adalah sosok santri yang giat dalam menuntut ilmu.
Pesantren pertamanya ialah pesantren milik ayahnya di Cirebon. Setelah itu ia menempuh perjalanan intelektual ke berbagai pesantren di Jawa, baik di Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Di Jawa Tengah, ia belajar agama di Pesantren Panggung, Tegal dibawah asuhan Kyai Mukhlas yang juga kakak iparnya sendiri. Sewaktu menjadi santri di Tegal ini ia banyak belajar Nahwu dan juga ilmu bela diri.
Usai dari Pesantren Panggung ia lebih dulu menunaikan ibadah haji pada tahun 1927. Ia baru melanjutkan belajarnya di pesantren, dua tahun kemudian, tepatnya di tahun 1929.
Pondok pesantren lainnya di Jawa Tengah tempatnya belajar ialah Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah. Sementara di Jawa Timur, Pesantren Lirboyo, Kediri menjadi tempat yang dituju.
Semangatnya belajar agama tetap membara meskipun libur. Waktu liburan pesantren, ia manfaatkan untuk tabarukan kepada kyai dari berbagai pesantren di Jawa.
Pesantren-pesantren yang dipilihnya untuk mengisi jeda liburan pesantren ialah Pesantren Tebuireng, Jombang; Pesantren Watucongol, Muntilan; Pesantren Langitan, Tuban; Pesantren Saran dan Lasem di Rembang.
Kecerdasan KH Mahrus membuat KH Abdul Harim terpesona dan tertarik menjodohkannya dengan putrinya. Pada tahun 1938, sang kiai pun menikahi Zaenab, sejak itulah ia menetep di Lirboyo.
KH Mahrus, merupakan salah satu pejuang kemerdekaan yang berjuang dalam Perang 10 November 1945 di Surabaya. Ia dan santri-santri Lirboyo turut serta dalam mempelopori pelopor berdirinya Kodam V Brawijaya.
Ulama yang wafat pada 6 Ramadhan 1405 Hijriyah atau 26 Mei 1985 itu memiliki sejumlah kiprah penting. Ia hingga wafatnya tercatat sebagai Rektor Universitas Islam Tribakti, Rais Pengurus Wilayah NU, Mustasyar PBNU, Ketua Pusat Rabithah Ma’had Islamiyah (RMI) hingga Penasihat Kodam V Brawijaya.
Penulis: Kukuh Subekti