ISLAMTODAY ID— Perang Aceh (1873-1942) telah mempersatukan seluruh masyarakat Aceh untuk bersatu melawan kolonialisme Belanda. Jihad melawan bangsa kaphe atau kafir menjadi motivasi utama mereka dalam mempertahankan tanah airnya.
Lahirlah sejumlah nama-nama pejuang Aceh seperti Teuku Cik di Tiro, Cut Nyak Dien, Teuku Umar, Cut Meutia, dan lain-lain. Kehadiran mereka melengkapi para pejuang asal Aceh periode sebelumnya seperti Sultan Iskandar Muda, Laksamana Keumalahayati.
Berikut profil singkat para pejuang Aceh yang berhasil dihimpun dari berbagai sumber:
Teuku Cik di Tiro
Teuku Cik di Tiro bernama lengkap Muhammad Saman, ia lahir di Cumbok Lamlo, Tiro, Pidie, Aceh pada tahun 1836 atau 1251 Hijriyah. Putera dari pasangan ulama ternama, Syekh Abdullah dan Siti Aisyah.
Ia tumbuh di tengah keluarga pesantren. Wajar jika sejak kecil ia telah belajr tentang ilmu tasawuf Imam al-Ghazali.
Tidak hanya itu seorang ulama dan pejuang ini juga menguasai berbagai bidang ilmu. Mulai dari ilmu tasawuf, sejarah, ilmu bumi dan ilmu kontemporer masa itu.
Semangat jihad Teuku Cik di Tiro makin membara usai dia pulang haji. Bahkan Belanda dibuat ketakutan dengan Gerakan Angkatan Perang Sabil yang dipimpinnya.
Ia adalah ulama yang diburu Belanda, bahkan Belanda membuat sayembara dengan hadiah 7000 dolar untuk menangkapnya.
Demi menghentikan aksi perlawanan Teuku Cik di Tiro Belanda akhirnya menggunakan cara licik dan keji. Mereka meracuni makanan yang disuguhkan kepadanya, ia pun syahid pada 25 Januari 1891.
Cut Nyak Dien
Seorang muslimah tangguh kelahiran Lam Padang, Aceh Besar tahun 1848. Ia puteri dari seorang bangsawan dan pejuang, Teuku Nanta Seutia.
Teuku Nanta mempunyai saudara laki-laki, bernama Teuku Mahmud yang menikahi Cut Mahani, adik raja Meulaboh. Teuku Mahmud merupakan ayah dari Teuku Umar, laki-laki yang kelak menjadi suami Cut Nyak Dien.
Cut Nyak Dien tumbuh selama masa pergolakan di wilayah Kesultanan Aceh Darussalam. Pada tahun 1873, Cut Nyak Dien telah menikah dan bersuamikan Ibrahim Lamnga. Seorang pejuang yang syahid setelah mempertahankan daerah VI Mukim.
Sepeninggal sang suami, Cut Nyak Dien tak larut dalam kesedihan dan kembali berjuang melawan Belanda. Semangat jihadnya melawan bangsa kaphe atau kafir itu membuat Teuku Umar terpesona.
Keduanya menikah dan saling bekerjasama melawan Belanda, meskipun sempat terdapat perbedaan pandangan. Sampai pada suatu ketika, Teuku Umar syahid di medan perang pada 11 Februari 1899 H.
Selain mendiang suaminya, perjuangannya juga didukung oleh anak-anaknya termasuk menantunya, Teuku Ali Baet. Termasuk adiknya sendiri, Teuku Raja Nanta.
Memasuki usia 50-an, ia makin mantap untuk berperang melawan penjajah dan memimpin perang gerilya hingga ke pedalaman Meulaboh.
Tubuhnya kian ringkih, matanya mengalami rabun dan harus hidup jauh dari kata nyaman. Keadaan ini membuat Pang Leot, orang kepercayaan mendiang suaminya yang mengawalnya tak sampai hati.
Ia pun berinisiatif memberitahu Belanda tentang keberadaan Cut Nyak Dien. Maka pada pekan pertama November 1905, Cut Nyak Dien ditangkap.
Awalnya Cut Nyak Dien hanya dibawa dari Meulaboh ke Banda Aceh. Namun Belanda yang ketakutan akan mendapat protes rakyat Aceh segera mengasingkan Cut Nyak Dien ke Sumedang.
Cut Nyak Dien akhirnya wafat di Sumedang pada 6 November 1908.
Teuku Umar
Teuku Umar seorang pejuang kelahiran Meulaboh tahun 1854. Ia masih saudara sepupu dengan Cut Nyak Dien, muslimah tangguh yang pada akhirnya menjadi istrinya.
Usianya masih sangat muda ketika perang Aceh meletus pada tahun 1873, 19 tahun. Ia pun mulai terlibat dalam peperangan pada tahun 1878 hingga 1899, yang diawalinya dari tanah kelahirannya Meulaboh.
Ia dan Cut Nyak Dien sama-sama orang berdarah Minangkabau, masih keturunan Datuk Machudum Sati. Kakek dua tokoh pejuang ini datang ke Aceh pada masa Sultan Jamalul Badrul Munir.
Meskipun berasal dari lingkungan keluarga bangsawan, Teuku Umar justru lebih memilih hidup merakyat. Sebagai seorang pemuda rasa ingin tahunya yang besar membuatnya kerap berpergian dari satu daerah ke daerah lain di Aceh.
Jalan hidupnya mulai tertata semenjak ia menikah, terutama menikahi Cut Nyak Dien. Seorang muslimah pejuang yang gagah berani di medan tempur.
Bahkan putri kandungnya, Cut Gambang harus lahir di tengah perang gerilya yang dilakukan oleh ia dan Cut Nyak Dien.
Teuku Umar melakukan berbagai strategi perjuangan selama melawan Belanda. Selain menahan kapal-kapal asing, ia juga pernah membuat keputusan paling fenomenal.
Sejak tahun 1883 hingga tahun 1886, ia memutuskan untuk berpura-pura berpihak pada Belanda. Keputusan yang sempat membuatnya dituduh sebagai seorang pengkhianat.
Strategi ini cukup sukses dengan membawa hasil yang cukup gemilang. Teuku Umar dan pasukannya berhasil merampas 800 pucuk senjata, 25.000 butir peluru, 500 kilogram bubuk mesiu, 5 ton timah, $ 18.000.
Rampasan senjata dari pasukan Belanda itu membuatnya siap berjuang melawan Belanda. Bahkan ia tidak peduli lagi dengan ultimatum dari Jenderal Vetter pada 26 April 1896.
Kecerdikan Teuku Umar dalam menyusun strategi perang pun dilaporkan kepada pemerintah Belanda. Dalam laporannya Gubernur Belanda di Aceh, Van Vliet merasakan sikap pesimis.
“Meskipun Belanda bertindak terus menerus pihak Aceh tetap memberikan perlawanan, Belanda belum bisa menguasai pemberontakan ini, malah api pemberontakan tetap berkobar. Teuku Umar terus memberikan perlawanan yang sengit dari Leepong, dan usaha untuk menangkap Teuku Umar hidup atau mati gagal sama sekali,” tulis Van Vliet dikutip dari Enam Pahlawan Nasional Asal Aceh.
Jihad Teuku Umar melawan pasukan penjajah Belanda ini baru terhenti ketika sebuah peluru mengenai tubuhnya. Tepat pada 11 Februari 1899, Teuku Umar syahid di perbatasan Kota Meulaboh.
(Bersambung)….
Penulis: Kukuh Subekti