ISLAMTODAY ID— Ibnu Jazla seorang dokter ternama era Abbasiyah bukan lahir dari keluarga muslim. Aktivitas intelektualnya, membaca Kitab Perjanjian Lama itu mengantarkannya menjadi seorang mu’alaf.
Ilmuwan bernama lengkap Abu Ali Yahya bin Isa Ibnu Jazla itu berasal dari keluarga Kristen Nestorian. Ia memutuskan menjadi seorang muslim pada tanggal 11 Februari 1074.
Baghdad, kota kelahirannya saat itu adalah pusat peradaban Islam dan dunia, membuatnya mudah mengakses berbagai kitab-kitab kuno. Melalui Kitab Pantateuch atau Kitab Perjanjian Lama ia terpesona pada Nabi Muhammad.
“Ia merasa tertarik dan hatinya terpanggil menjadi pengikut (Nabi Muhammad),” ungkap Wahyu Murtiningsih dalam Biografi Para Ilmuwan Muslim.
Kisah perjalanan spiritualnya memeluk Islam dituliskannya dalam kitab berjudul ar-Radd’ala Nasarah. Karya ini sebagai wujud pengakuan Ibnu Jazla atas keunggulan Islam.
“Melalui karya tersebut, Ibnu Jazla menuliskan alasan utamanya berpindah keyakinan,” ucapnya.
Nama ilmuwan yang wafat pada bulan Juni tahun 1100 M atau bulan Sya’ban tahun 493 Hijriyah ini melegenda berkat karyanya di bidang kedokteran dan kesehatan. Ia adalah penulis Kitab Taqwin al-Abadan fi Tadabir al-Insan dan Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan.
Kitab Kedokteran dan Pengobatan
Nama Ibnu Jazla banyak dikenal orang berkat karya inteleltualnya di kitab kedokteran dan kesehatan. Kitab-kitab tersebut menjadi saksi bagaimana kemajuan kaum muslimin di bidang kesehatan pada abad ke-11 Masehi.
Kitab Taqwin al-Abadan fi Tadabir al-Insan merupakan kitab kedokteran klasik karya Ibnu Jazla. Kitab yang berisi hasil analisis 352 jenis penyakit itu terbit pada abad ke-11 Masehi.
Ilmuwan modern mengakui jika kitab era akhir Daullah Abbasiyah itu sebagai kitab kedokteran yang lengkap. Kitab ini berisi deretan penyakit paling lengkap dan akurat.
“Para ilmuwan masa itu menganggap Taqwin al-Abadan fi Tadabir al-Insan sebagai buku daftar penyakit yang paling lengkap dan akurat,” kata Wahyu.
Beruntungnya kitab kedokteran era akhir Daullah Abbasiyah itu telah diterjemahkan dalam bahasa Tacuini Aegrutinum. Alhasil kitab ini banyak berpengaruh bagi dunia kedokteran Eropa.
Penerjemahan dilakukan oleh seorang dokter Yahudi Mr. Farachi atau Faraj bin Salilim. Sehingga sejak tahun 1280 kitab tersebut tidak hanya berpengaruh di kalangan bangsa Arab namun juga meluas hingga Eropa.
Kitab kedokteran Ibnu Jazlah bahkan masih terus digunakan hingga abad ke-20. Di Damaskus, kitab ini dicetak ulang.
“Pada 1914 atau 1333H, karyanya ini dicetak ulang di Damaskus,” jelas Wahyu Murtiningsih.
Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan
Wahyu juga menjelaskan kitab lain karya Ibnu Jazla. Kitab tersebut berjudul Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan ini berisi tentang obat-obatan.
Sebuah kitab yang dipersembahkan khusus untuk Khalifah Al-Muktadi, Khalifah Abbasiyah ke-27 yang berkuasa antara tahun 1075 sampai tahun 1094 M.
“(Kitab) Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan yang dipersembahkannya kepada Khalifah Al-Muktadi. Karyanya berisi sejumlah daftar tanaman dan obat-obatan,” tutur Wahyu Murtiningsih.
Kitab tersebut merupakan rangkuman hasil penelitian dan eksperimen langsung Ibnu Jazla. Sama seperti Kitab Taqwin al-Abadan fi Tadabir al-Insan, kitab ini juga telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Prancis.
Hasil terjemahan yang dilakukan oleh bangsa Eropa baik itu ke dalam bahasa Prancis maupun bahasa Latin mengantarkan kitab Minhaj al-Bayan fi ma Yasta’miluh al Insan sebagai rujukan utama kedokteran Eropa.
Karya intelektual Ibnu Jaszla yang lainnya ialah al-Ishara fi Talkhis al-Ibara, Fada’il al-Thibb dan Mukhtar Mukhtasar Tarikh Baghdad.
Selain membuat karya intelektual, semasa hidupnya ia juga mendedikasikan dirinya sebagai seorang dokter dan ahli kesehatan. Ia tinggal di wilayah al-Karkh, di sana ia kerap menolong tetangga dan kerabatnya secara cuma-cuma.
“Ibnu Jazla adalah seorang dokter yang dermawan, ia memberikan pengobatan gratis kepada para pasiennya,” ungkap Wahyu Murtiningsih.
Pada saat yang sama ia akan menerima penjelasan dari pasiennya tentang obat-obatan yang mereka lakukan. Informasi tersebut ditindaklanjutinya dengan sejumlah percobaan dan eksperimen lanjutan.
“Selama menekuni dunia kedokteran, Ibnu Jazla rajin melakukan berbagai penelitian, terutama tentang obat-obatan,” ujar Wahyu Murtiningsih.
“Hasil dari setiap percobaanya itu kemudian ditulisnya dalam bentuk buku,” jelasnya.
Kini karya-karya intelektualnya telah tersebar di berbagai perpustakaan di seluruh dunia. Diantaranya ialah Perpustakaan Rampur Raza di India, Perpustakaan Lidon, Inggris.
Penulis: Kukuh Subekti