ISLAMTODAY ID— Kehadiran ulama dalam pemerintahan Islam adalah suatu keniscayaan. Begitupula kehadiran Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari di Kesultanan Banjar, Kalimantan.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari menjadi pionir berdirinya Mahkamah Syariah. Sebuah lembaga syariah yang berdiri pada masa kekuasaan Sultan Tahmidullah II, di ibukota Kesultanan Banjar, Martapura.
Lembaga ini dipimpin oleh seorang mufti dan qadhi yang masing-masing menjadi penasihat raja di bidang pemerintahan dan hukum.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari merupakan ulama kelahiran Banjar, pada tanggal 15 Shaffar 1122 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 19 Maret 1710 Masehi. Sultan yang berkuasa saat itu ialah Sultan Tahmidullah bin Sultan Tahlilullah.
Menurut keterangan cucu Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari, Muhammad Khatib bin Pangeran Ahmad Mufti bin Syekh Muhammad Arsyad, kakeknya sejak kecil telah tinggal di lingkungan istana Kesultanan Banjar.
Studi di Mekkah
Selama di istana, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari dididik dengan berbagai ilmu baik agama maupun umum. Setelah dewasa dan menikah, ia melanjutkan belajarnya di Kota Mekkah.
“Sultan menikahkan Syekh Arsyad yang sudah dewasa dengan seorang perempuan yang bernama Tuan Bajut. Tidak lama setelah menikah, ia pergi menuntut ilmu ke tanah suci Mekkah,” ungkap Dr. Wardani dkk dalam Biografi Singkat Ulama Banjar Kelahiran Sebelum Abad ke-19 yang diterbitkan oleh MUI Kalimantan Selatan dan UIN Kalimantan Selatan.
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari berguru pada sejumlah ulama diantaranya Syekh Sayyid Abil Faidh Muhammad Murtadho bin Muhammad az-Zabidi, Syekh Sayyid Sulaiman bin Sulaiman al-Ahdal, Syekh Salim bin Abdullah al-Bashri al-Makkiy, Syekh Hasan bin Ahmad ‘Akisy al-Yamani hingga seorang ulama tasawuf, Syekh Muhammad bin Abdul Karim Samman al-Madani.
Sementara ulama-ulama seangkatannya diantaranya adalah Syekh Abdus Shamad al-Falimbani, Syekh Abdur Rahman al-Mishri al-Batawi, Syekh Dawud bin Abdullah al-Fathani, Syekh Abdul Wahhab al-Bugisi, dan Syekh Muhammad Shalih bin Umar as-Samarani.
Ia, hampir sepuluh tahun lamanya berada di Kota Mekkah, dan berhasil mempelajari 35 bidang ilmu yang terdiri atas ilmu agama, umum dan falak. Dengan kepandaiannya tersebut ia pun diizinkan untuk menjadi salah satu pengajar di Masjidil Haram.
Meskipun telah mendapat gelar syekh dan menjadi guru bagi para ulama di Masjidil Haram, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari tak merasa puas. Ia masih ingin melakukan perjalanan intelektual ke Mesir.
Hal ini bahkan telah dimusyawarahkannya bersama sahabatnya, Syekh Abdus Shamad al-Falimbani. Namun niat kedua ulama ini untuk melanjutkan perjalanan akhirnya batal, mereka diminta untuk pulang dan kembali ke Nusantara.
Saran tersebut disampaikan oleh seorang ulama Mesir, Syeikhul Islam Imam al-Haramain Syekh Muhammad bin Sulaiman Al-Kurdiy. Ia yang saat itu tengah berkunjung ke Madinah dan bertemu dengan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari maupun Syekh Abdus Shamad al-Falimbani yang tengah bersiap-siap menuju Mesir.
“Syeikhul Islam menjelaskan kepada mereka, bahwa mereka tidak perlu lagi pergi ke Mesir… Sang guru menyarankan kepada mereka agar pulang ke Jawi (Indonesia),” kata Dr. Wardani.
Pulang ke Indonesia
Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari yang telah tinggal di Makkah selama 35 tahun lamanya itu akhirnya membatalkan rencananya ke Mesir dan pulang ke Banjar. Sebelum tiba di Banjar, ia lebih dulu singgah di Pulau Penyengat, Riau, wilayah Kesultanan Riau-Lingga.
Setelah singgah beberapa bulan lamanya di Pulau Penyengat, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari melanjutkan perjalanan dan tiba di Batavia (Jakarta). Di sana ia pun melakukan dakwah dengan membetulkan arah kiblat sejumlah masjid besar.
Pembetulan Masjid Jembatan Lima, Jakarta Barat ini bahkan ditulis dalam prasasti beraksara Jawi. Tulisan dalam prasasti tersebut berbunyi, ‘Arah kiblat mesjid ini dipalingkan ke kanan sebanyak 25 derajat oleh Syekh Muhammad Arsyad al-Banjari, pada tanggal 4 Shafar 1186 H yang bertepatan dengan 7 Mei 1772 M.
Selain Masjid Jembatan Lima, masjid berikutnya yang dibetulkan arah kiblatnya ialah Masjid Luar Batang dan Masjid Pekojan. Setelah beberapa lama, Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari kembali melanjutkan perjalanannya menuju Banjar.
Karya-karya intelektual Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari memiliki ragam karya yang terdiri atas: Kitab Ushuluddin, sebuah kitab tauhid beraksara Jawi, Melayu. Lalu Kitab Tuhfaturraghibin, dan Kitab Al-Qaulul Mukhtashar Fi ‘Alamatil Mahdil Muntazhar.
Kitab yang ditulis oleh Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjari cukup beragam, misalnya Kitab Luqhatul ’Ajlan dicetak dalam huruf latin pada tahun 1992. Lalu ada pula Kitab An-Nikah, Kitab Fatawa Sulaiman Kurdi, Sabilal Muhtadien lit Tafaqquh fi Amriddin, Kanzul Ma’rifah dan Mushhaf Al-Qur`an.
Penulis: Kukuh Subekti