ISLAMTODAY ID— Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz merupakan salah satu penguasa Kesultanan Mamluk. Sultan dari kerajaan Islam yang berdiri di Mesir, Afrika Utara sejak tahun 1250 hingga 1517 itu mampu menghentikan arogansi bangsa Mongol.
Sultan yang wafat pada 24 Oktober 1260 memiliki nama yang begitu melegenda dalam sejarah peradaban Islam. Ia adalah pemimpin pasukan kaum muslimin dalam perang Ain Jalut, Palestina.
Ia adalah Sultan yang berhasil menumbangkan kekuatan Mongol yang selama ini dikenal sadis dan bengis. Mereka berhasil mematahkan mitos, tentara Mongol pasukan tak terkalahkan.
Sejarawan Indonesia, Alwi Alatas dalam artikelnya berjudul ‘Ramadhan di Ayn Jalut’ Perang Ain Jalut merupakan perang menentukan (decisive battles). Suatu peperangan dianggap penting jika ia bisa menjadi suatu titik balik atau turning point dalam sejarah dan peradaban.
“Perang Ain Jalut sangat menentukan karena ia merupakan perang pertama, di mana pihak Mongol berhasil dikalahkan dan dihentikan laju penaklukkannya, sejak kemunculan Jenghis Khan,” ungkap Alwi dilansir dari Hidayatullah (07/09/2009).
Surat Ancaman
Penguasa Mongol bahkan mengancam kaum muslimin, kisah ini diabadikan dalam kutipan surat mereka kepada Sultan Mamluk. Sejarawan David W.TSchanz, dalam ‘History’s Hinge: Ain Jalut’ menyebut bahwa surat dari Hulagu Khan itu berisi ancaman.
Berikut ini kutipan singkat surat Hulagu Khan untuk Sultan Saifuddin Qutuz:
Percepatlah balasanmu sebelum api perang menyala…. Lawan dan Anda akan menderita malapetaka yang paling mengerikan. Kami akan menghancurkan masjid-masjid Anda dan mengungkapkan kelemahan Tuhan Anda, dan kemudian kami akan membunuh anak-anak Anda dan orang tua Anda bersama-sama.
Saat ini Anda adalah satu-satunya musuh yang harus kami lawan.
David menjelaskan Sultan Saifuddin Qutuz segera bermusyawarah menyusun strategi perang. Ia sama sekali tidak gentar dengan ancaman Hulagu Khan.
Sejumlah langkah-langkah politik ia lakukan. Pertama-tama, bermusyawarah dengan para petinggi kerajaan dan ulama untuk mengambil alih pimpinan negara, mengingat sang raja yang masih belum sangat belia dan belum cukup umur.
“Mengamati karakter lemah sultan Nur al-Din ‘Ali yang berusia 15 tahun, Qutuz telah menggulingkannya empat bulan sebelumnya. Dia tidak akan menyerah tanpa perlawanan. Qutuz memerintahkan pengawalnya untuk mengeksekusi utusan, dan jenderalnya dia perintahkan untuk bersiap mempertahankan kota,” ujar David.
Kemenangan Kaum Muslimin
David menuturkan bahwa sejak 26 Juli 1260, pasukan tentara Mamluk telah siap untuk berperang. Mereka menghancurkan pasukan Mongol yang tengah berpatroli di dekat Gaza. Peperangan berlanjut hingga tanggal 3 September 1260 atau 25 Ramadhan 658 hijriyah, pasukan Mamluk berhasil memukul mengalahkan pasukan Mongol.
“Qutuz memimpin serangan balasan yang menyapu mundur pasukan Mongol… Dalam beberapa hari Qutuz yang menang kembali ke Damaskus dengan penuh kemenangan, dan Mamluk bergerak untuk membebaskan Aleppo dan kota-kota besar lainnya di Suriah,” ujar David.
David juga menjelaskan mengapa peperangan di Ain Jalut masuk dalam pertempuran paling menentukan dalam sejarah peradaban dunia. Pertempuran tersebut penentu bagi masa depan Islam dan sejarah Barat.
“Eropa akan dikelilingi (Mongol) dari Polandia ke Spanyol. Dalam keadaan seperti itu, apakah Renaisans Eropa akan terjadi? Fondasinya pasti akan jauh lebih lemah. Dunia saat ini mungkin merupakan tempat yang sangat berbeda,” tegas David.
Penentu Sejarah Islam
Kemenangan kaum muslimin dalam Perang Ain Jalut mengingatkan kembali kemenangan kaum muslimin dalam Perang Badar. Jika dua perang tersebut kaum muslimin kalah, belum tentu Islam bisa tersebar sampai ke Indonesia.
Jika pasukan kaum muslimin di bawah pimpinan Sultan al-Muzhafar Saifuddin Qutuz kalah berbagai kemungkinan terburuk bisa saja terjadi. Bulan sabit akan digantikan oleh simbol salib dan kota suci Mekkah dan Madinah akan kembali ke zaman jahiliyah.
“Seandainya Mamluk kalah, Kairo akan mengalami nasib yang sama seperti Bagdad, Salib akan menggantikan Bulan Sabit dan dukun Mongol akan menguasai tempat-tempat suci Mekah dan Madinah,” ujar Prof. Dr. Nazeer Ahmed dalam The Battle of Ayn Jalut.
Perang yang berjarak hampir 600 tahun lamanya, membuktikan bahwa keimanan yang kuat mengantarkan umat Islam pada kemenangan. Pada perang Ain Jalut, pasukan kaum muslimin harus berhadapan dengan pasukan Mongol yang berhasil membumi hanguskan peradaban Islam di Kota Baghdad.
Mongol dibawah pimpinan Hulaghu Khan dan Kit Buqa Noyan atau Ked Buqa sedang berada di bawah euforia kemenangan setelah berhasil menguasai sebagian besar Asia.
Situasi tersebut bukan hal yang mudah bagi kaum muslimin. Mereka seperti sedang berhadapan dengan ancaman kepunahan sebagaimana nasib Daullah Abbasiyah di Baghdad.
“Sejak Perang Badar, dunia Islam berdiri berhadapan dengan kepunahan seperti yang terjadi pada Perang Ayn Jalut. Sama seperti Nabi menang di Badr 600 tahun sebelumnya, Mamluk menang atas pasukan gabungan Mongol, Tentara Salib dan Armenia,” ungkap Prof. Dr. Nazeer Ahmed.
Penulis: Kukuh Subekti