ISLAMTODAY ID— Ketupat bagian dari salah satu strategi dakwah Walisongo. Ketupat bukan hanya sekedar makanan khas Idul Fitri, ketupat memiliki pesan dakwah yang mendalam.
Ketupat bagi masyarakat Jawa sangat erat kaitannya dengan tradisi ba’da kupat atau lebaran ketupat. Sebuah tradisi yang hidup di masyarakat Jawa yang dilaksanakan pada tanggal 8 Syawal.
Saat itu umat Islam baru saja menunaikan ibadah puasa enam hari di bulan syawal. Pada masa lalu, pelaksanaan puasa syawal diikuti dengan tradisi bersantap ketupat beserta opor ayam secara bersama-sama.
Tradisi Bakda Ketupat diyakini sebagai bagian dari strategi dakwah walisongo. Layaknya strategi dakwah, tradisi tersebut juga memiliki makna filosofi, kearifan lokal yang disertai simbol-simbol kebijaksanaan.
“Tradisi ketupat erat kaitannya dengan sejarah awal penyebaran agama Islam di Jawa yang dilakukan oleh Wali Sanga, khususnya Sunan Kali Jaga,” ungkap Ginanjar Sya’ban dalam Ensiklopedi Islam Nusantara.
Makna Kupat
Pertama, ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan kupat yang berasal dari kata papat atau empat. Ketupat merupakan simbol bagi rukun Islam keempat, puasa ramadan.
Kedua, kupat adalah akronim dari ngaku lepat yang berarti mengaku salah. Sehingga berbagi ketupat di hari lebaran juga berarti saling memaafkan.
“Saling berbagi dan memberi kupat di hari raya lebaran idul fitri dan lebaran ketupat adalah simbol atas pengakuan kesalahan dan kekurangan diri masing-masing terhadap Allah, terhadap keluarga, handai taulan, dan juga terhadap sesama,” ungkap.
Ketupat adalah simbol manifestasi dari sebuah doa pengharapan agar setiap berakhir bulan Ramadan, seseorang menjadi lebih baik lagi. Sebuah doa yang lazim dibacakan pada hari Idul Fitri, Kullu ‘am wa nahnu ila Allah wa al-hasanat aqrab. Taqabbalallahu minna wa minkum.
“Semoga setiap tahun kita semakin dekat dengan Allah dan kebaikan-kebaikan. Semoga Allah memaafkan kita semua dan menerima amal kita,” jelas.
Ketiga, kupat juga merupakan akronim dari laku papat atau empat tindakan. Empat tindakan spiritual, al-maqamat, al-ruhiyyah, dan al-arbaah yang dalam bahasa Jawa ‘lebaran’, ‘luberan’, ‘leburan’, dan ‘laburan’.
Lebaran yang berarti usai atau selesai. Lebaran merupakan penanda berakhirnya bulan ramadan.
Luberan berarti luber atau melimpah. Luberan berarti ajakan untuk saling berbagai rejeki dengan cara berzakat dan bersedekah.
Leburan berasal dari kata lebur atau melebur, menghilang. Melebur setiap kesalahan dengan mengaku salah, meminta maaf dan memberi maaf.
Laburan dalam bahasa Jawa ‘labur’ atau kapur untuk memutihkan dinding dan menjernihkan air. Mengajak manusia untuk menjaga kesucian lahir dan batinnya.
Janur
Hal yang sama juga terjadi pada bungkus ketupat yang memanfaatkan janur. Janur dikaitkan dengan kata bahasa Arab, jaa nur yang berarti telah datang seberkas cahaya.
Ada makna tersimpan dari janur sebagai bungkus ketupat. Manusia senantiasa mengharapkan adanya petunjuk dan bimbingan untuk meniti jalan kebenaran.
“Simbolisasi atas harapan yang dipanjatkan umat Islam dan manifestasi atas do’a yang termaktub dalam surat al-Fâtihah; ihdinas shirathal mustaqim,”.
Sejarah
Ketupat menurut seorang orientalis asing H.J. de Graaf dalam The Malay Anals menyebut jika tradisi ketupat bermula dari zaman walisongo. Tepatnya pada masa pemerintahan Raden Patah, Kesultanan Demak di abad ke-16.
Sementara itu tradisi lebaran ketupat makin populer pada masa Kiai Sholeh Darat, pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Salah satu strategi dakwah yang digunakannya kepada kalangan bangsawan.
“Saat itu para priyayi Jawa rajin merayakan ‘Lebaran Syawal’ dengan berpegang penanggalan kalender yang masih diperdebatkan, sekalipun mereka tidak menjalankan puasa Ramadan,” ujar Ishom Shaha.
Oleh karenanya Kiai Sholeh Darat pun menuliskan sebuah kitab khusus, Kitab al-Qawanin al-Syar’iyyah li Ahl al-Majalis al-Hukmiyyat wa al-Ifta’iyyat. Kitab ini berisi perintah anjuran berpuasa enam hari yang diakhiri dengan adanya lebaran ketupat.
Penulis: Kukuh Subekti