ISLAMTODAY ID— Minangkabau memiliki sejumlah ulama yang berperan penting dalam proses islamisasi, diantaranya Syekh Burhanudin Ulakan pendakwah di daerah pesisir Pantai Ulakan, Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar) dan Syekh Ibrahim Mufti seorang ulama di daerah Nagari Taram, Kecamataan Harau, Kab. Lima Puluh Kota, Sumbar.
Syekh Ibrahim Mufti merupakan pelanjut dakwah yang sudah dilakukan oleh Syekh Burhanudin Ulakan pada abad ke-17 Masehi. Ia adalah ulama yang berdakwah di daerah darek atau pedalaman di Minangkabau.
Ia adalah seorang ulama yang berasal dari Palestina. Masyarakat setempat memanggilnya Beliau Taram.
Syekh Ibrahim Mufti membantu masyarakat Minangkabau memajukan pertanian mereka. Ia mengenalkan masyarakat dengan sistem irigasi yang mengalir dari Sungai Kapalo Banda ke daerah persawahan masyarakat.
“Syekh Ibrahim Mufti mengajak masyarakat untuk membuat aliran irigasi dari Sungai Kapalo Banda ke persawahan masyarakat,” ungkap Samsudin dkk dalam Sejarah Pergerakan Tokoh dan Perkembangan Sosial Budaya Islam.
Pada masa itu di tengah musim kemerau aliran air yang ditunggu untuk mengaliri sawah tidak langsung mengalir. Hal ini membuat Syekh Ibrahim Mufti mengajak masyarakat untuk melakukan salat memohon hujan, Salat Istisqa.
“Setelah itu turunlah hujan dan air irigasi pun mengalir ke persawahan masyarakat,” tutur Samsudin.
Peristiwa ini membuat mereka tertarik untuk memeluk Islam. Hal inilah yang mendorong berdirinya Surau Tuo Taram. Sebuah surau yang menjadi pusat islamisasi di Nagari Taram, Lima Puluh Kota.
Berbagai kegiatan keilmuan seperti membaca Al-Qur’an, ragam kajian ke-Islaman hingga musyawarah diadakan di surau. Surau ini menjadi pusat kegiatan penulisan dan penyalinan naskah.
Keberadaan Surau Tuo Taram menjadi pusat islamisasi pertama di Kab. Lima Puluh Kota. Surau ini bahkan menjadi pusat perkembangan tarekat Naqsabandiyah.
“Syekh Ibrahim Mufti mendirikan sebuah surau sebagai pusat dan media dakwahnya yang sekarang dikenal dengan Surau Tuo Taram karena surau ini merupakan surau pertama yang ada di Kabupaten Lima Puluh Kota,” jelas Samsudin.
Surau ini sempat mengalami renovasi pada abad ke-20. Surau yang menjadi pusat tradisi penulisan dan penyalinan naskah hingga kini hanya menyisakan 14 manuskrip, dengan 10 manuskrip dalam kondisi rusak parah dan 4 diantaranya disimpan di rumah Rami Dt Marajo Basa.
Penulis: Kukuh Subekti