(IslamToday.id) — Selang hampir tujuh tahun sejak Presiden Republik Rakyat Tiongkok (RRT) Xi Jinping meluncurkan Belt and Road Initiative (BRI) pada musim gugur 2013. Banyak problema yang terjadi saat proyek ambisius ini diluncurkan yang berfokus pada negara berkembang. BRI (Belt and Road Initiative) adalah istilah untuk serangkaian proyek infrastruktur yang didanai Tiongkok yang bertujuan untuk menghubungkan Cina, seluruh Asia, dan Eropa.
Dengan biaya $ 1 triliun, BRI tersebar di enam puluh delapan (68) negara, dan dianggap sebagai proyek infrastruktur terbesar yang pernah ada. Ada tiga bagian utama dari proyek ini. Pertama, ‘Sabuk’ (Belt) adalah serangkaian peningkatan transportasi darat yang membentang dari Tiongkok ke Asia Tengah, Pakistan, dan Asia Tenggara.
Kedua, ‘Jalan’ (Road) adalah serangkaian pengembangan pelabuhan di Samudra Hindia. Selanjutnya, proyek-proyek ini kemudian sering disertai dengan proyek infrastruktur lebih lanjut seperti stadion dan bandara. BRI bertujuan untuk memperluas konektivitas melalui jalur darat dan jalur laut yang mengarah pada integrasi ekonomi melalui kerjasama kebijakan, infrastruktur, perdagangan bebas (barang dan jasa), mata uang, dan mempromosikan hubungan people-to-people (Lovina, Jiajia, & Chen, 2017).
‘Belt and Road Forum’ telah diselenggarakan pada tahun 2015 yang lalu, Presiden Xi mengatakan bahwa “Dalam mengejar pencapaian Belt and Road Initiative, kita harus fokus pada masalah mendasar pembangunan, dan juga melepaskan potensi pertumbuhan berbagai negara dengan mencapai integrasi ekonomi dan pembangunan yang saling terkait dan memberikan manfaat bagi semua.” (China Power, CSIS)
BRI adalah inisiatif payung yang mencakup banyak proyek investasi yang dirancang untuk mempromosikan aliran barang, investasi, dan manusia. Koneksi baru yang dipupuk oleh BRI dapat mengkonfigurasi ulang hubungan, mengalihkan kembali kegiatan ekonomi, dan mengalihkan kekuasaan di dalam dan di antara negara-negara yang ikut serta dalam kerjasama ini.
Xi Jinping menyebutnya “proyek abad ini,” sebuah dorongan ambisius untuk melumasi roda perdagangan dengan proyek-proyek infrastruktur besar baru; Morgan Stanley memperkirakan total pengeluaran akan mencapai $ 1,3 triliun pada tahun 2027. Belt and Road Initiative telah menjadi bagian integral dari strategi kebijakan luar negeri Tiongkok sehingga hal ini menjadi referensi yang ditambahkan dalam konstitusi Partai Komunis pada tahun 2017. Setidaknya 157 negara dan organisasi internasional telah mendaftar, dengan rencana termasuk jalan dan pembangkit listrik di Pakistan dan jalur kereta berkecepatan tinggi di Indonesia. (Bloomberg).
Namun, beberapa mitra menimbang manfaat terhadap kekhawatiran bahwa proyek akan membuat mereka dibebani dengan hutang dan terikat pada pemerintah asing, setelah Sri Lanka terpaksa menyerahkan pelabuhan yang baru dikembangkan ke perusahaan Cina dengan imbalan bantuan sejumlah $ 8 miliar yang masih terhitung hutang. Jonathan E. Hillman senior CSIS di bidang Political Economy dan Direktur Reconnecting Asia Project mengatakan, ada sedikit informasi yang dapat dipercaya tentang bagaimana hal itu terjadi secara agregat. Tantangan utama adalah label BRI menghindari klasifikasi. Tidak ada definisi yang disepakati untuk apa yang memenuhi syarat sebagai proyek BRI ini.
Perusahaan Tiongkok telah menginvestasikan lebih dari $ 90 miliar di negara-negara BRI antara 2013 dan 2018, dengan pertumbuhan tahunan rata-rata 5,2 persen, menurut data yang dirilis pada konferensi pers symposium terakhir BRI akhir april lalu. Negara-negara BRI menginvestasikan lebih dari $ 40 miliar di Cina selama periode yang sama. Maka perlu diperhatikan bahwa proyek BRI ini, bukan hanya merupakan hubungan bilateral antar Negara namun juga ada tangan tangan korporasi perusahaan China, yang dapat mempengaruhi program kerjasama antar Negara yang mampu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak yang lain.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza