(IslamToday.id) — Kesultanan Malaka sejak berdirinya telah memegang peranan penting dalam peta perdagangan di Nusantara, bahkan pada abad 15 Masehi wilayah Malaka telah menjadi pusat perdagangan di kawasan Asia. Penduduk aslinya adalah bangsa Melayu yang kebanyakan hidup sebagai nelayan sesuai letak geografis wilayah tersebut. Selain penuduk asli, di Malaka juga terdapat beberapa masyarakat pendatang yang hampir keseluruhannya adalah kaum pedagang. Para pedagang ini tak hanya datang dari kawasan Nusantara, namun dari seluruh daerah di dunia, Tome Pires dalam catatannya menyebutkan setidaknya pedagang yang tinggal dan bertransaksi di wilayah Malaka berasal dari arah Barat antara lain: Kairo, Mekah, Aden, Abisina, Kiliwa, Malindi, Ormus, Parsi, Turki, Armenia, Gujarat, Goa, Malabar, Keling, Orisa, Sailan, Bengali, Arakan, Pegu, dan Kedah. Sedangkan para pedagang yang berasal dari Timur diantaranya berasal dari Siam, Pahang, Patani, Kamboja, Champa dan China.
Para pedagang ini, biasanya tinggal secara berkelompok dan menempati beberapa wilayah sesuai aturan kerajaan. Pedagang dari Nusantara dan China tinggal di daerah sebelah Selatan sungai Malaka, yaitu daerah Hilir, sedangkan pedagang dari Barat tinggal di sebelah Utara sungai, yaitu daerah yang disebut Upih.
Sebagai sebuah Kerajaan, tentu Malaka juga memiliki struktur kekuasaan, Sartono Kartodirdjo dalam bukunya Pengantar Indonesia baru 1500-1900. Dari Emporium Sampai Imperium menjelaskan secara hirarkis Raja adalah penguasa tertinggi. Di bawahnya adalah Patih yang lazim disebut Paduka Raja. Patih bertugas layaknya seorang perdana menteri yang mengatur segala urusan kepemerintahan. Ia membawahi pejabat tinggi Kerajaan, dari bendahara, bupati dan seterusnya. Kemudian Bendahara adalah pejabat yang memegang tanggung jawab di wilayah peradilan, di samping itu ia juga berkuasa atas urusan pajak.
Pejabat selanjutnya adalah Laksamana, posisi setingkat dengan Bendahara. Ia adalah seseorang yang memimpin Angkatan Laut dan semua kapal baik kapal perang, transportasi maupun kapal dagang. Singkatnya semua yang berada di wilayah lautan masuk dibawah yuridiksinya. Sementara itu, di sisi lain Unit ini juga berperan dan bertanggungjawab dalam pengawalan raja dan semua pejabat tinggi Kesultanan Malaka.
Tumenggung, adalah kepala pemerintahan tingkat kota dan diserahi urusan penjagaan keamanan, oleh karena itu urusan kriminalitas menjadi yang paling sering ditangani. Biasanya seorang tahanan kelas kakap, sebelum diserahkan kepada Bendahara untuk diadili, terlebih dahulu harus berhadapan dengan tumenggung di wilayah masing-masing. Selain itu, tumenggung juga merupakan pejabat taktis dalam urusan pajak dan barang dagangan.
Kemudian, Syahbandar, Ia bertugas menerima ‘kapten jung’ (kapal dagang) dari pedagang sesuai dengan yuridiksi masing-masing. Syahbandar secara teknis bertugas mengantar kapten dari kapal yang membawa muatan dagang ke hadapan bendahara, mengalokasikan gudang-gudangnya, mengurus barang-barang, menyediakan tempat tinggal dan segala keperluan lainnya. Di Malaka, biasanya setiap pemegang memiliki syahbandar yang ditunjuk berdasarkan asal daerah. Adapun yang tercatat adalah syahbandar untuk bangsa Gujarat, Bengala, Pegu, Pasai, Jawa, Maluku, Banda, Plembang, Tanjungpura, Lawe, China, Arab dan Campa.
Selain itu, diantara penduduk Malaka ada sekelompok bangsawan yang berasal dari Lingga, Brunai, Pahang dan Malaka sendiri yang disebut Ksatriya. Mereka adalah para penguasa dibeberapa daerah yang agak masuk pedalaman. Mereka memimpin para petani dan mereka sekaligus adalah sebagai tentara karena memiliki keahlian perang yang unggul.
Selain para pejabat dan ksatria, oleh karena Malaka merupakan negara perdagangan, maka adapula struktur kekuasaan yang lebih mikro, yaitu nahkoda. Ia adalah seorang pemilik kapal yang memperdagangkan barangnya sendiri atau barang titipan pedagang kecil. Dalam sistem perdagangan yang ditata dalam satu pekan, mereka diberi hak berdagang selama empat hari berlabuh, kemudian para kiwi (pedagang kecil) selama dua hari dan akhir pekan untuk anak buah kapal.
Setelah mengetahui struktur kekuasaan, maka pembahasan berikutnya adalah sistem perdagangan yang dijalankan di Malaka. Ada dua macam perdagangan yang dilakukan disana, pertama, pedagang yang memasukkan modal berupa barang dagangan dan diangkut dengan armada kapal yang ia miliki sendiri. Kedua, pedagang yang hanya memberi modal berupa uang atau menitipkan dagangannya dengan sistem bagi hasil kepada nahkoda atau pemilik kapal.
Selain mengikuti sistem diatas, karena Raja memiliki kemampuan finansial yang besar, maka raja juga memiliki kapal dagang tersendiri yang berlayar dengan membawa barang milik raja sendiri dan dari pedagang-pedagang yang menitipkan modalnya.
Setiap kapal yang berlayar mempunyai bagian-bagian yang diisi dengan muatan pedagang (kiwi). Mereka masing-masing memperoleh tujuh atau delapan petak. Anak Buah Kapal (ABK) juga mendapat bagian untuk membawa dagangannya, dua koyan untuk yang bebas dan satu koyan untuk yang masih budak. Dengan memperoleh bagian kapal yang lebih besar, para kiwi wajib memberikan sumbangan tambahan untuk keperluan sebelum berlayar. Diantara pedagang yang berlayar, mereka tidak selalu membawa dagangan yang bervolume besar, namun adapula pedagang yang membawa muatan ringan tetapi memiliki nilai yang tinggi, meraka adalah pedagang emas, sutera, berlian, mutiara dan batu berharga lainnya.
Jumlah keuntungan yang diperoleh pedagang–pedagang tersebut sangat bervariasi. Setidaknya, dalam catatan Sartono Kartodirjo, barang dari Malaka yang diangkut ke Benggala hingga Koromandel bisa memberikan keuntungan 80-100%, tapi bila dibawa dengan armada sendiri keuntungan dapat mencapai 300%. Sedangkan perdagangan ke arah Timur juga menghasilkan keuntungan rata-rata 300%.
Sebaliknya, sebagai pengelola wilayah perdagangan Malaka memberlakukan sistem bea-cukai. Barang-barang yang masuk dari arah Barat dikenakan bea-cukai sebesar 6%. Sedangkan dari Timur tidak dikenakan cukai melainkan hanya ditarik upeti untuk raja. Bagi pedagang yang memiliki keluarga dan bertempat tinggal di Malaka, jika warga asing harus membayar 3% ditambah 6%. Sedangkan warga asli hanya 3% ditambah 3%.
Untuk memudahkan penetapan dan pembayaran bea-cukai, dibentuklah petugas tersendiri. Biasanya mereka terdiri atas sepuluh pedagang, lima orang keling (pembantu tumenggung) dan dan seorang tumenggung. Mereka inilah yang akan menafsir harga dan menentukan besaran uang yang harus dibayarkan oleh setiap pedagang. Dari hasil pajak bea cukai, upeti dan laba dagang kesemuanya akan dikelola oleh patih maupun bendahara untuk digunakan pembangunan dermaga-dermaga, kantor-kantor pemerintahan dan juga pembangunan Masjid sebagai sarana peribadatan dan pendidikan.
Penulis: Muh Sidiq HM
Editor: Tori Nuariza