DHAKA, (IslamToday.id) — Dua badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah memberikan tempo tambahan waktu setahun bagi pemerintah Myanmar untuk menyiapkan rencana pemulangan sukarela (Repatriasi) bagi para penduduk Muslim Rohingya yang hendak pulang kembali.
Komisi PBB urusan Pengungsi (UNHCR) dan Badan PBB Urusan Program Pembangunan (UNDP) pada Selasa (28/5) menandatangani nota kesepahaman (MoU) dengan Myanmar untuk ekstra waktu setahun.
Tetapi kelompok-kelompok HAM menentang MoU itu. Menurutnya, kesepakatan itu tidak bisa diterima.
Naskah lengkap MoU itu tidak dipublikasikan. Bahkan pemerintah Bangladesh tidak mendapatkan salinan MoU itu. Padahal Bangladesh menampung lebih dari sejuta pengungsi Rohingya di daerah Cox’s Bazar sejak Agustus 2017.
Menurut rilis resmi UNDP, MoU tersebut bertujuan untuk menciptakan kondisi yang kondusif dan langgeng bagi pengungsi Rohingya yang ingin kembali ke Myanmar dari Bangladesh.
MoU tersebut ditandatangani di Naypyidaw pada 6 Juni 2018, yang kini telah diperpanjang untuk satu tahun.
Menurut MoU itu, repatriasi seharusnya dimulai pada November tahun lalu. Tetapi Rohingya tidak setuju karena kondisi di Myanmar masih tidak aman.
Pertukaran dokumen dilakukan oleh Kementerian Buruh, Imigrasi, dan Populasi Myanmar dengan ke UNHCR dan UNDP.
Kelompok HAM Khawatir MoU
Kelompok pemerhati hak asai manusia mempertanyakan kerahasiaan MoU itu.
Nay San Lwin, Koordinator kampanye Free Rohingya Coalition, mengungkapkan kekhawatirannya akan keadaan saat ini. menurutnya, badan PBB tidak berkonsultasi dengan Rohingya saat menyusun dokumen itu.
“Rohingya tidak diajak konsultasi padahal mereka pihak utama. Badan PBB telah menyetujui keinginan pihak militer dan pemerintah Myanmar,” pungkas Nay San Lwin, dikutip dari Anadolu.
Menurut Lwin, organisasinya yang mengangkat isu ini ke publik. Menurutnya kedua Badan PBB, baik UNHCR dab UNDP, tidak menghargai pihak korban.
Lwin menegaskan, Rohingya tidak akan kembali kecuali tuntutan-tuntutan mereka dipenuhi dan dengan adanya perlindungan dari badan dunia.
“Tidak ada jaminan keselamatan dan jaminan mendapatkan status kewarganegaraan bagi Rohingya. Para pengungsi tidak bisa kembali dengan keadaan seperti itu,” tegas Lwin.
Pengungsi Rohingya di Bangladesh
PBB menyatakan Rohingya adalah etnis yang paling menderita di dunia, mereka mengalami eskalasi ancaman, dan berbagai serangan sejak kekerasan komunal yang terjadi di Myanmar pada 2012.
Menurut Amnesty International, lebih dari 750,000 pengungsi Myanmar, kebanyakan wanita dan anak-anak, telah meninggalkan Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh akibat serangan militer Myanmar atas etnis minoritas Mulsim Rohingya pada Agustus 2017.
Menurut laporan Ontario International Development Agency (OIDA), hampir 24,000 orang Rohingya dibunuh oleh militer Myanmar sejak 25 Agustus 2017.
Lebih dari 34,000 orang Rohingya tewas dibakar, dan lebih dari 114,000 dipukuli, menurut laporan berjudul “Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience“.
Sekitar 18,000 perempuan Rohingya diperkosa oleh militer dan polisi Myanmar, lebih dari 115,000 rumah Rohingya dibakar, dan lebih dari 113,000 dirusak, menurut laporan tersebut.
PBB juga mendokumentasikan pemerkosaan massal, pembunuhan – termasuk terhadap bayi dan anak-anak – pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh aparat keamanan Myanmar.
Dalam laporannya, penyelidik PBB mengatakan hal-hal tersebut bisa disebut sebagai kejahatan atas kemanusian dan genosida.