(IslamToday.id) — Motif China untuk proyek ambisiusnya yakni BRI (Belt and Road Initiative) dapat dibagi menjadi ekonomi, diplomatik, dan politik. Dengan memotong waktu perjalanan antara Cina, Afrika, Asia dan Eropa, untuk merangsang pembangunan ekonomi, BRI bertujuan untuk mempertahankan kekuatan ekspor China. Selain itu, Cina berharap bahwa proyek-proyek infrastruktur ini dapat menyerap sebagian kelebihan kapasitas mereka di industri manufaktur dasar (seperti baja dan beton). Di bawah kepemimpinan Presiden Trump, China ingin mencetak kemenangan diplomatik dengan membawa Asia ke dalam pengaruhnya. Howard French, dari Universitas Columbia, mengatakan Xi Jinping mengambil untung dari nasionalisme dengan menegaskan kembali Cina di panggung dunia setelah berabad-abad dihina. Tidak mengherankan bahwa Xi, yang kepresidenannya telah ditentukan oleh narasi ini, adalah kepala perencana dan promotor.
“Seluruh Perekonomian berantakan,” kata Azmin Ali, Menteri Urusan Ekonomi di Kabinet Tun Mahathir Muhammad.
“Saya pindah dari daerah yang paling kaya di Malaysia ke negara yang akan bangkrut sehingga merupakan tantangan besar bagi saya untuk memetakan kebijakan kebijakan baru.” (Financial Times)
Mereka telah berjanji untuk membersihkan masalah dalam perkembangan Malaysia saat ini, yang disebabkan oleh dana investasi negara yang tercemar korupsi yang milyaran dananya telah disalahgunakan, dan juga berupaya menegosiasikan ulang atau membatalkan proyek infrastruktur bernilai miliaran dolar yang disepakati dengan Singapura dan China; untuk mengurangi hutang pemerintah dan mengatasi ketimpangan sosial yang meluas – sambil secara bersamaan menghapus pajak barang dan jasa, meningkatkan beberapa subsidi bahan bakar.
Malaysia Bangkrut ?
Perdana Menteri Tun Mahathir mengatakan bahwa Malaysia dapat dinyatakan bangkrut karena utang nasionalnya berada dalam kondisi kritis. Seberapa benar ini dan bagaimana penjelasan singkat akan kebangkrutan ini, Mahathir memaparkan;
Pertama, utang nasional kami tetap di angka RM680 miliar – bukan RM1 triliun. RM1 triliun termasuk kewajiban kontinjensi RM200b dan RM150b pembayaran sewa yang dilakukan – yang keduanya tidak pernah dihitung sebagai hutang oleh negara lain di dunia.
Kedua, dengan RM680 miliar, utang kami hanya 50,8% dari PDB. Dan bahkan pada tingkat RM1 triliun yang menyesatkan, kami masih berada di 80% dari PDB. Dengan utang nasional resmi banyak negara seperti Singapura, Jepang, AS, Inggris yang memiliki tingkat lebih tinggi dari kita dan masih belum bangkrut. Sebenarnya, Malaysia sendiri telah memiliki utang nasional resmi setinggi 103,4% pada 1980-an dan di atas 80% bahkan pada 1990-an dan kami juga tidak bangkrut saat itu. Jadi, mengatakan kita akan bangkrut pada 50% atau 80% sama sekali tidak benar dan hanya taktik menakut-nakuti.
Ketiga, utang resmi RM680 miliar adalah 97% dalam mata uang Ringgit. Karena Malaysia mengendalikan Ringgit. Bahkan kewajiban kontinjensi dan pembayaran sewa juga sebagian besar ada di Ringgit. Oleh karena itu, tidak seperti Yunani, Sri Lanka dan Argentina (dan Malaysia pada 1980-an dan 1990-an) yang mengalami masalah karena utang mereka dalam mata uang asing, tidak ada yang dapat menyatakan Malaysia bangkrut karena secara teoritis kita dapat membuat Ringgit sebanyak yang kita inginkan.
Keempat, Malaysia tidak berutang uang kepada IMF atau Bank Dunia atau Bank Pembangunan Asia. Faktanya, kami tidak berutang uang kepada negara atau lembaga lain apa pun kecuali pinjaman lunak China. Namun, jangka waktu pinjaman ini sangat panjang yaitu 20 tahun dan hanya maksimal RM60 miliar sehingga China tidak dapat meminta pembayaran penuh dengan segera.
Bahkan, jika China meminta pembayaran penuh segera, Petronas memiliki cadangan tunai RM147 miliar, BNM memiliki cadangan tunai RM120 miliar (tidak termasuk cadangan valas RM420 miliar) dan Khazanah memiliki aset bersih RM140 miliar dan semua ini dapat segera melunasi seluruh hutang dengan segera.
Langkah Strategis Malaysia
Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohammad bahwa ia akan menangguhkan dua proyek infrastruktur besar oleh perusahaan-perusahaan Cina karena terlalu mahal untuk negaranya yang dililit hutang. (Washington Post)
Proyek yang akan ditangguhkan antara lain salah satu proyek, yang dijuluki East Coast Rail Link, akan menghubungkan Laut Cina Selatan dengan rute pengiriman strategis di Barat Malaysia, yang menyediakan jalur perdagangan penting. Yang lainnya adalah pipa gas alam di Sabah, sebuah negara bagian Malaysia di pulau Kalimantan.
Keputusan Mahathir adalah pukulan besar bagi China, kata Marina Rudyak, yang mempelajari bantuan asing Tiongkok di Universitas Heidelberg. “Xi Jinping membingkai BRI sebagai kontribusi Tiongkok dalam ‘era baru’ di mana Tiongkok adalah pemain global yang bertanggung jawab,” tulisnya dalam wawancara bersama Washington Post.
“Ini berarti proyek yang dibatalkan menandakan kegagalan diplomasi ekonomi China”, tukas Rudyak.
Malaysia menghadapai masalah serius dalam kasus kerjasama yang tidak menguntungkan kedua belah pihak, dengan keputusan yang dibuat secara tidak berimbang menyebabkan berbagai permasalahaan ekonomi, sosial dan politik, Mahathir dituntut untuk dapat menyelesaikan masalah yang disebabkan oleh bobroknya birokrasi pada masa Tun Najib Razak tersebut.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza