(IslamToday.id) — Joko Widodo melakukan kunjungan ke Beijing pada 14-15 Mei bulan lalu atas undangan pemerintah Tiongkok untuk menghadiri “Forum Belt and Road initiative (BRI) dalam rangka untuk Kerjasama Internasional,” yang lebih dikenal sebagai Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) – sebuah kemitraan yang ambisius dan dianggap komprehensif oleh pencetus dan mitranya- yang mencakup Sabuk Ekonomi Jalan Sutra dan Jalur Sutera Maritim Abad 21. Strategi besar dalam Ekonomi, Politik, Sosial dan Diplomatik ini pertama kali diumumkan oleh Presiden Xi Jinping di Kazakhstan tahun 2013. Sejak itu, BRI telah mendapatkan dukungan dari gerakan populis yang telah berkobar melawan rezim perdagangan global (WTO) dan 100 negara sudah dalam daftar untuk mendukungnya.
Prospek perdagangan global yang tidak pasti dan munculnya kebijakan proteksionis yang kaku, seperti kebijakan “Amerika yang Utama” Trump dan pasar yang semakin teregulasi oleh Uni Eropa, ditambah dengan kematian tanpa sebab ‘Kemitraan Trans-Pasifik (TPP)’ dan keraguan tentang kemampuan ASEAN untuk bertahan hidup. “perang ekonomi global,” menjadikan keadaan “Ekonomi dan Politik” semakin tidak menentu dan meresahkan, hal inilah yang membuat China mengambil langkah ambisius ini untuk menjadikannya “negara adidaya” baru.
Sebelumnya, pada 20 Maret yang lalu Indonesia akan mengusulkan 28 proyek senilai $91,1 miliar dollar ($ 123 miliar dollar) kepada investor Cina sebagai bagian dari partisipasinya dalam China Belt and Road Initiative (BRI). Menteri Koordinator Kelautan dan Maritim, Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah akan menawarkan proyek-proyek itu, yang meliputi pelabuhan laut dan kawasan industri, pembangkit listrik, pabrik peleburan dan pariwisata, selama pertemuan komite pengarah pertama di Bali pada hari Rabu dan Kamis. (Jakarta Post). Proyek-proyek tersebut akan berlangsung di empat lokasi yang ditetapkan sebagai Koridor Ekonomi Komprehensif Regional. Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Indonesia (BKPM) Thomas “Tom” Lembong mengatakan empat lokasi itu adalah Sumatera Utara, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Bali.
Adapun alasan daerah-daerah itu ditetapkan sebagai daerah yang strategis oleh China adalah seperti, Sumatra Utara, misalnya, dianggap sebagai lokasi yang strategis karena kedekatannya dengan Selat Malaka dan sebagai pusat industri minyak sawit Indonesia, katanya.
Kemudian, Kalimantan Utara telah terbukti menghadirkan potensi besar untuk pembangkit listrik tenaga air dari sungai-sungainya, yang akan sempurna untuk smelter aluminium, jelasnya. “Ini membuat Kalimantan Utara menjadi lokasi yang ideal untuk direlokasi ke pabrik peleburan Cina,” katanya.
Kepala BKPM juga mengatakan pemerintah Indonesia menganggap bahwa Sulawesi Utara, yang lebih dekat ke Cina daripada lokasi lain di Indonesia, menjadikannya sempurna bagi investor Cina. Selain 28 proyek, Luhut Panjaitan mengatakan, bisnis Indonesia dan Cina juga melakukan studi kelayakan untuk tujuh proyek lainnya senilai $8,7 juta dollar di koridor ekonomi komprehensif regional dan di wilayah Jawa Tengah.
Diantara negara-negara ASEAN, Indonesia memiliki populasi terbesar ditambah dengan letak geografis yang memiliki potensi besar untuk mengembangkan infrastruktur interkonektivitas. Menurut Dana Moneter Internasional (IMF), Indonesia sebagai negara berkembang menempati urutan kelima di Asia dalam hal Produk Domestik Bruto (PDB). Menyadari potensi Indonesia, maka masuk akal bahwa proyek-proyek BRI China di negara ini mencakup berbagai sektor, yakni termasuk transportasi dan energi.
Pertama, meningkatnya kepedulian terhadap partisipasi BRI yang mengarah ke perangkap hutang. Kecemasan ini bukan tanpa alasan. Center for Global Development menerbitkan sebuah makalah tentang delapan negara yang berisiko tinggi kesulitan utang karena pinjaman BRI. Dari pihak Indonesia, penilaian risiko yang komprehensif harus dipertimbangkan sebelum melakukan kerjasama di bawah BRI, Pemerintah seharusnya dapat memastikan Indonesia tidak akan jatuh ke dalam perangkap hutang. Menurut mantan Menteri ESDM, Sudirman Said pada tahun 2015, sebagian besar pembangkit listrik buatan China yang dibangun untuk FTP-1 tidak memenuhi harapan Indonesia. Untuk meyakinkan Indonesia untuk melangkah maju dengan kerja sama BRI, China perlu membuktikan diri mereka sebagai mitra yang dapat diandalkan.
Namun, pemerintah Indonesia patut khawatir dengan perjanjian BRI ini dimana telah banyak contoh negara di sekitar Asia dan ASEAN mengalami kebangkrutan dan membatalkan perjanjian seperti misalnya, Pemerintah baru Malaysia dibawah Perdana Menteri Mahathir Muhammad yang membatalkan jaringan pipa gas alam senilai $3 miliar dollar dan merundingkan kembali proyek kereta api cepat pada tahun 2019, untuk memotong biaya sebesar sepertiga menjadi $11 miliar dollar. Sementara, para pemimpin baru di Maladewa mencari keringanan hutang. Myanmar secara drastis mengurangi kesepakatan pelabuhan yang dibuat di bawah rezim militer sebelumnya, menjadi $1,3 miliar dari $7,5 miliar dollar. Ambisi China telah menjadi permasalahan yang dibahas dalam pemilu di sejumlah negara.
Sri Lanka adalah contoh konkrit bagaimana perjanjian BRI adalah proyek yang sangat tidak menguntungkan baginya namun sangat menguntungkan bagi China, Dalam kasus Sri Lanka, terbebani oleh hutang berarti mereka terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam mereka ke China dalam perjanjian penghapusan hutang. Sri Lanka tidak mungkin menyembunyikan niat baik diplomatiknya ke China, dan negara-negara lain akan melihatnya sebagai alasan untuk khawatir. Sri Lanka, membuka diri untuk pembiayaan Tiongkok. China membiayai dan membangun sebuah kompleks besar di sekitar Hambantota, di Sri Lanka Selatan, yang mencakup pelabuhan laut dalam, senilai $1,5 miliar dollar, bandara internasional senilai $200 juta dollar, dan stadion kriket berkapasitas 35.000 kursi yang pada akhirnya harus mereka serahkan kepada China yang menyebabkan China bukan hanya menguasai secara ‘ekonomi’ namun juga ‘politik’ pemerintahan.
Indonesia seharusnya menyadari, letak geografis dan populasi masyarakatnya merupakan sebuah potensi yang sangat menguntungkan bagi negara ini, namun bila dilihat dari proses Perjanjian BRI yang telah ditekan oleh Pemerintah Indonesia dengan China, maka kita patut khawatir bahwa keuntungan ini hanya dapat dirasakan oleh pihak Asing sementara di satu sisi negara ini menunggu ancaman kebangkrutan seperti Malaysia dan Sri lanka.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza