Tidak ada tempat di dunia yang lebih penting bagi pasokan minyak global selain Selat Hormuz. Saluran yang lebarnya hanya 21 mil pada titik tersempitnya, adalah satu-satunya cara untuk memindahkan minyak dari Teluk Persia ke lautan dunia.
(IslamToday.id) — Selat Hormuz adalah salah satu selat paling penting dan strategis di dunia, wilayah yang merupakan jalur air sempit yang menghubungkan Teluk Persia dengan Laut Arab dan Teluk Oman.
Selat ini hanya memiliki lebar 21 hingga 60 mil (33 hingga 95 km). Selat Hormuz dinilai penting karena merupakan chokepoint geografis dan arteri utama untuk pengangkutan pasokan minyak dari Timur Tengah. Iran dan Oman adalah negara-negara terdekat dengan Selat Hormuz dan berbagi hak teritorial atas perairan tersebut. Oleh karena kepentingannya, Iran telah mengancam akan menutup Selat Hormuz beberapa kali baru-baru ini, dikutip dari Foreign Affairs.
Selat Hormuz telah menjadi chokepoint geografis yang strategis selama bertahun-tahun dan wilayah tersebut seringkali menjadi titik konflik dan ada banyak ancaman bagi negara-negara di sekitar wilayah selat hormuz untuk menutupnya.
Secara historis, Pada tahun 1987 Amerika Serikat (AS) melakukan intervensi dalam Perang Iran-Irak untuk mencegah serangan terhadap kapal-kapal Kuwait. Pada tahun 1988, Amerika Serikat menenggelamkan kapal perang Iran dan kapal patrol, apa yang disebut dengan perang tanker.
Perang Tanker 1987 adalah perang antara Iran-Irak dimana Iran mengancam akan menutup selat Hormuz setelah Irak mengganggu pengiriman pasokan komoditas perdagangan di wilayah itu. Penargetan oleh Iran dan Irak untuk pengiriman perdagangan di masing-masing negara dan khususnya kapal tanker minyak.
Perang Tangker semacam ini dilihat dari sisi historis merupakan serangan berkelanjutan pada pengiriman kapal perdagangan sejak Perang Dunia II dan mengakibatkan lebih dari 400 pelaut sipil tewas, ratusan kapal dagang rusak dan kerugian ekonomi yang substansial.
Sementara itu, signifikansi yang lebih luas terletak pada bahaya serangan seperti itu terhadap ekonomi internasional yang sangat tergantung pada ekspor minyak Teluk yang melintasi Selat Hormuz.
Selain itu, Selat Hormuz juga menjadi tempat pertempuran antara Angkatan Laut Amerika Serikat dan Iran pada April 1988 setelah AS menyerang Iran selama Perang Iran-Irak. Perang antara Iran dan Irak yang berlangsung selama sebagian besar tahun 1980-an adalah salah satu konflik paling berdarah pada akhir abad ke-20. Korban untuk kedua pasukan berjumlah ratusan ribu. Kadang-kadang zona tempur memiliki kemiripan dengan medan perang Perang Dunia I, dengan sistem parit yang berlawanan tersusun di sepanjang mil di depan, serangan infanteri massal didorong maju dari atas dan serangan senjata kimia dengan metode peningkatan serangan dan pertahanan. Itu adalah perang darat berskala besar, dengan operasi angkatan laut di bidang operasi yang jelas-jelas subordinat, dikutip dari Foreign Affairs. Namun demikian, ini adalah aspek angkatan laut di dalam perang – khususnya keputusan kedua belah pihak untuk menyerang pengiriman kapal perdagangan musuh-.
Hanya beberapa tahun kemudian, Amerika Serikat memulai Perang Teluk I untuk menghentikan Irak merebut Kuwait. Iran telah belajar dari sejarah itu, menyadari bahwa strategi yang paling efektif, dalam upayanya untuk mendapatkan posisi negosiasi yang lebih baik dan untuk mengakhiri sanksi yang melumpuhkan, bukanlah konflik langsung. Ia mulai mengirim kapal kecil dan ringan untuk melecehkan dan menyerang kapal tanker besar dan kapal kontainer.
Taruhan di selat Hormuz saat ini jauh lebih tinggi daripada di tahun 1980-an dan 1990-an, karena konfrontasi mengenai pengiriman dapat menyebabkan perang besar-besaran antara Iran dan Amerika Serikat, yang bahkan bisa menggunakan nuklir.
Namun, alih-alih memastikan keamanan kawasan, Amerika Serikat (AS) mengejar keuntungan jangka pendek, menjual senjata kepada mitra-mitra Teluk dan memihak pertengkaran antar negara Teluk yang sebagian besar tidak membuahkan hasil, mendorong mitra AS seperti Qatar vis a vis dengan Iran dan memungkinkan Saudi mengambil terlalu banyak risiko, seperti dengan campur tangan dalam perang sipil di Yaman.
Salah satu alasan ‘oportunisme’ yang tidak stabil ini adalah asumsi yang salah oleh pembuat kebijakan AS bernama Doktrin Carter, di mana Amerika Serikat (AS) bersumpah untuk menggunakan kekuatan militer untuk melindungi kepentingannya di Teluk, tidak lagi berlaku. Oleh karena, Amerika Serikat mengonsumsi lebih sedikit minyak dari Timur Tengah, argumen itu berlanjut, kebutuhannya untuk memastikan keamanan kawasan juga menurun. Namun, hal itu merupakan salah paham sejarah dan geopolitik. Amerika Serikat bergantung pada keamanan Teluk dalam hal lebih dari minyak. Hal yang paling krusial yakni, meningkatnya kemungkinan konflik nuklir, karena Iran dengan cepat mulai memperkaya uranium setelah Amerika Serikat keluar dari kesepakatan nuklir, telah mengubah dinamika keamanan di kawasan itu.
Kronologi Parsial Peristiwa:
- 7 Oktober 1980: Irak menyatakan bahwa Gulf Water di sepanjang pantai Iran di utara adalah zona perang terlarang.
- 30 Mei 1982: Atlas I, sebuah kapal tanker minyak Turki, menjadi kapal tanker pertama yang terkena serangan selama perang. Saat memuat minyak di Pulau Kharg, kapal itu rusak oleh bom Irak.
- 18 Desember 1982: kapal tanker Yunani, Scapmount ditabrak oleh Exocet Irak.
- Januari, 1984: Irak meningkatkan upaya perang angkatan laut mereka dan Iran merespons dengan memulai upaya perang angkatan laut mereka juga.
- 14 Februari 1985: Neptunia, sebuah kapal tanker Liberia, ditabrak di ruang mesin oleh Exocet Irak. Kapal tanker itu tenggelam tiga hari kemudian karena ledakan, kapal tanker pertama yang tenggelam dalam Perang Tanker.
- 1 November 1986: Kuwait netral meminta komunitas internasional untuk melindungi kepentingan pengirimannya di Teluk, yang mengakibatkan “penandaan kembali” kapal tanker Kuwait. Uni Soviet adalah negara pertama yang merespons, dan AS memimpin upaya internasional untuk meminimalkan peran Soviet di Teluk.
- 7 Maret 1987: Amerika Serikat mengumumkan keputusannya untuk menandai kembali kapal tanker Kuwait.
- 8 Agustus 1988: Iran dan Irak menyetujui gencatan senjata.
Pada akhirnya, Perang Tanker tidak mengarah pada penutupan Selat Hormuz, juga tidak berdampak signifikan terhadap ekspor minyak dari Teluk atau mengakibatkan peningkatan berkelanjutan dalam harga minyak. Menurut beberapa perkiraan, kampanye gabungan anti-pengapalan baik Iran dan Irak tidak pernah mengganggu lebih dari dua persen kapal di Teluk. Namun, panasnya situasi antara Iran dengan Amerika Serikat dan Inggris saat ini patut diwaspadai mengingat adanya konfrontasi dan perang yang lebih berdampak buruk bagi dunia internasional.
Penulis: R. Syeh Adni
Editor: Tori Nuariza