ISTANBUL, (IslamToday.id) — Langkah India untuk mencabut ketentuan konstitusional yang memberikan status khusus kepada Kashmir dapat memiliki konsekuensi serius, demikian menurut para ahli di sebuah panel diskusi yang diadakan di Turki.
Pusat Studi Asia Bosphorus (BAAM) menggelar sebuah panel diskusi berjudul “Asia Selatan dalam Politik Internasional Abad 21: Peran Pakistan dan India di Timur Tengah, Afghanistan dan Kashmir”.
Wartawan senior, Iftikhar Gilani dan peneliti di Royal United Services Institute London Umer Karim memberikan pidato tentang politik Asia Selatan dan perkembangan terkini di kawasan itu.
Saat menyinggung soal penghapusan ketentuan khusus yang diberikan kepada wilayah Jammu dan Kashmir, Iftikhar Gilani mengatakan hal itu penuh dengan konsekuensi besar bagi seluruh wilayah di kawasan.
“Akan ada ketakutan soal perubahan dalam profil demografis Jammu dan Kashmir yang akan menabur lebih banyak keputus-asaan di antara orang-orang dan rasa kekurangan dan ketidakberdayaan akan semakin berurat akar,” ujarnya.
“Ketika Anda mendiskreditkan kaum moderat, Anda akan mendorong kaum radikal. Ketika Anda mengurangi kemanusiaan menjadi tontonan, Anda menciptakan masyarakat yang tidak manusiawi,” imbuh Gilani.
Dia menekankan bahwa keragaman, federalisme dan pluralisme adalah kekuatan India, yang seharusnya tidak memaksakan persatuan dan nasionalisme budaya.
Wilayah Kashmir Tanpa Etnis Kashmir
Sementara itu, Umer Karim mencatat bahwa langkah terbaru India akan memiliki konsekuensi negatif.
“Langkah itu hanya akan menciptakan ketidakstabilan lebih lanjut di kawasan dan akan semakin meningkatkan ketegangan antara kedua pihak,” ungkap Karim.
Karim mencatat bahwa India menginginkan Kashmir tanpa etnis Kashmir.
Karim juga merujuk pada pernyataan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump tentang situasi Kashmir dalam pertemuannya dengan Perdana Menteri Pakistan Imran Khan sebagai sebuah kemenangan bagi Pakistan.
Sejak 1947, Jammu dan Kashmir diberi ketentuan khusus untuk memberlakukan hukumnya sendiri.
Ketentuan tersebut juga melindungi hukum kewarganegaraannya, yang melarang orang luar untuk menetap atau memiliki tanah di wilayah tersebut.
Sebelumnya, India membatalkan status konstitusional khusus bagi wilayah Jammu Kashmir dari konstitusi yang telah berlangsung selama lebih dari setengah abad.
Pasal 370 melarang hak kepemilikan orang luar atau asing, seperti properti di wilayah tersebut. Pasal itu juga memungkinkan Kashmir memiliki konstitusi sendiri.
Undang-undang konstitusional Pasal 370 melarang warga India atau warga asing memasuki Kashmir tanpa izin.
Amendemen itu diumumkan oleh Menteri Dalam Negeri India Amit Shah dan mendapatkan kecaman dari anggota parlemen kubu oposisi.
Perubahan pada undang-undang terkait Kashmir ini dikabulkan oleh Majelis Tinggi India (Rajya Sabha) pada Senin dengan 125 suara melawan 61 suara yang menolak.
Di sisi lain, otoritas India menangkap mantan perdana menteri Jammu Kashmir, Omar Abdullah dan Mehbuba Mufti, dan para pemimpin Konferensi Rakyat Jammu dan Kashmir Sajjad Lone dan Imran Ansari.
Wilayah Jammu dan Kashmir itu dikuasai oleh India dan Pakistan sebagian dan diklaim oleh keduanya secara penuh.
Sejak berpisah pada tahun 1947, India dan Pakistan telah berperang sebanyak tiga kali – pada 1948, 1965 dan 1971 – dua di antaranya memperebutkan wilayah Kashmir.
Sejumlah kelompok Kashmir di Jammu dan Kashmir berperang melawan pasukan India untuk memperjuangkan kemerdekaan, atau untuk bersatu dengan negara tetangga Pakistan.
Menurut sejumlah organisasi hak asasi manusia, ribuan orang tewas akibat konflik di wilayah itu sejak tahun 1989.