(IslamToday ID) – Kabar baik datang dari surat utang global terbesar sepanjang sejarah yang baru saja dijual pemerintah Indonesia. Global bond sebesar 4,3 miliar dolar AS atau setara Rp 67,5 triliun tersebut laku diborong investor. Surat utang ini menawarkan tenor jatuh tempo hingga 50 tahun, juga terlama sepanjang sejarah negeri ini.
Keberhasilan penjualan global bond terjadi tak lama setelah investor ramai-ramai meninggalkan saham dan surat utang domestik negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.
Data Institute of Internasional Finance (IIF) menunjukkan total 97 miliar dolar AS dana asing keluar dari pasar modal negara-negara berkembang sejak awal tahun. Jumlah ini sekitar lebih dari Rp 1.500 triliun.
“Negara-negara ekonomi berkembang mengalami arus keluar dana asing yang lebih besar dibandingkan masa-masa krisis belakangan,” demikian analisis IIF, Kamis (8/4/2020).
Arus keluar bukan hanya dipicu oleh kekhawatiran investor akan dampak pandemi corona terhadap perekonomian, tapi anjloknya harga minyak dunia.
Di dalam negeri, kepemilikan asing atas surat utang domestik merosot Rp 136 triliun sejak awal tahun ini hingga Maret. Penurunan signifikan terjadi pada bulan lalu, yaitu Rp 121 triliun. Sedangkan penjualan bersih saham oleh investor asing mencapai Rp 12 triliun.
Seiring kondisi ini, kurs rupiah di pasar spot anjlok nyaris 18 persen dalam kurun waktu yang sama. Credit Default Swap (CDS) untuk utang pemerintah Indonesia tenor lima tahun menanjak signifikan. Ini menunjukkan meningkatnya persepsi risiko terhadap investasi di dalam negeri.
Mengacu pada data World Government Bonds, per 11 April lalu, CDS untuk tenor lima tahun mencapai level tertinggi 290,81 pada 23 Maret, melompat hampir lima kali dari posisi terendahnya 58,43 pada 20 Februari.
Kepala Sindikasi Surat Utang Asia untuk Standard Chartered Alan Roch mengatakan keberhasilan penjualan global bond Indonesia telah mendorong negara-negara ekonomi berkembang lainnya untuk mengetes pasar setelah berminggu-minggu tertekan oleh gejolak. Apalagi, bunga atau kupon yang ditawarkan pemerintah Indonesia tidak banyak berubah dari sebelum gejolak terjadi.
“Pasar lebih tegang karena virus, tapi Anda berhasil mendapatkan level kupon yang tetap menarik,” katanya seperti dikutip Wallstreet Journal, Rabu (7/4/2020) lalu.
Sebagai perbandingan, kupon global bond yang baru diterbitkan pemerintah untuk tenor 10,5 tahun sebesar 3,8 persen, tenor 30,5 tahun berbunga 4,2 persen, dan tenor 50 tahun berkupon 4,45 persen. Sedangkan kupon global bond yang diterbitkan Januari lalu untuk tenor 10 tahun sebesar 2,85 persen, dan tenor 30 tahun sebesar 3,5 persen.
Meski begitu, perburuan utang bakal semakin menantang di bulan-bulan ke depan. Hal ini seiring kekhawatiran yang masih melingkupi investor. Di sisi lain, banyak negara membutuhkan utang dalam jumlah yang lebih besar dari perkiraan awal. Hal ini tercermin dari proyeksi defisit anggaran berbagai negara yang lebih tinggi.
Proyeksi defisit anggaran yang lebih tinggi seiring kebutuhan besar dana segar untuk melawan pandemi corona. Selain itu untuk mengantisipsi risiko tertekannya pendapatan negara imbas terhambatnya kegiatan bisnis seiring kebijakan pembatasan atau penutupan wilayah dan kejatuhan harga komoditas.
Sedangkan berdasarkan data IIF, lonjakan utang baru pemerintah sudah terpantau pada Maret lalu. Penerbitan surat utang bruto pemerintah di seluruh dunia mencapai 2,1 triliun dolar AS atau sekitar Rp 33.170 triliun. Jumlah ini lebih dari dua kali lipat rata-rata penambahan utang bulanan pada periode 2017-2019 yang mencapai 0,9 triliun dolar AS.
Risiko Bunga Tinggi Surat Utang Indonesia Jika dilihat dari CDS, persepsi risiko terhadap investasi di Indonesia jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara berkembang Asia, seperti Malaysia dan Filipina. Meskipun, masih lebih baik dibandingkan India.
Bila dibandingkan dengan beberapa negara yang memiliki rating utang yang selevel yaitu BBB, CDS Indonesia juga terpantau menjulang, meskipun bukan yang tertinggi. Dengan risiko yang lebih tinggi, ekspektasi investor akan bunga atau kupon yang ditawarkan biasanya lebih besar.
Menarik Investor Global
Sedangkan bila melihat pengalaman global bond terkini, Direktur Riset Center of Reform of Economics (CORE) Piter Abdullah Redjalam mengatakan ada dua faktor yang membuat surat utang tersebut menarik minat investor global. Pertama, kondisi global yang tengah banjir likuiditas.
“Hampir semua negara meningkatkan stimulus yang dibiayai oleh bank sentralnya. Banjir likuiditas global akan mengalir mencari penempatan investasi sekaligus menjadi potensial demand bagi global bond Indonesia,” katanya seperti dikutip di Katadata.co.id.
Kedua, penurunan drastis suku bunga acuan di banyak negara mendekati nol. Surat utang pemerintah AS alias US Treasury yang menjadi tempat aman pelarian dana asing sepanjang beberapa bulan belakangan kini berada di level 0,76 persen. Dengan perkembangan tersebut, kupon global bond Indonesia yang di level 3-4 persen menjadi menarik. “Terutama dengan tenor yang begitu panjang,” ujarnya.
Hal senada pernah disinggung mantan Direktur Eksekutif Lembaga Penjamin Simpanan Fauzi Ichsan ketika bicara tentang melimpahnya likuiditas global. “Investor akan tahan berapa lama (di US Treasury) dengan imbal hasil yang mendekati nol?”
Selain kedua faktor itu, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan rasio utang Indonesia yang terkendali menambah minat investor global terhadap global bond Indonesia. Berdasarkan perhitungannya, bila defisit anggaran Indonesia melebar hingga 5,07 persen terhadap PDB, rasio utang pemerintah di posisi 34-35 persen terhadap PDB. Ini masih di bawah batas aman yang ditetapkan UU Keuangan Negara yakni 60 persen.
“Global investor mempertimbangkan kesinambungan utang oleh pemerintah Indonesia tetap prudent sehingga minat pada global bond Indonesia tersebut juga tinggi,” ujarnya.
Meski terdapat faktor-faktor pendukung, Piter mengatakan, ketidakpastian ekonomi sekarang ini begitu tinggi dan hasrat investor untuk mengambil risiko alias risk appetite sangat rendah. Alhasil, risiko bahwa tidak banyak investor yang akan membeli surat utang Indonesia akan tetap membayangi.
“Hal ini akan mendorong Pemerintah meningkatkan iming-iming kupon yang lebih tinggi, termasuk tenor yang lebih panjang,” kata Piter. Kondisi ini sudah terlihat pada global bond terbaru.
Pemulihan Pandemi Corona
Global bond Indonesia memang mendapat respons positif dari investor global. Hasilnya juga membantu dalam meredam pelemahan kurs rupiah terhadap dolar Amerika.
Namun CORE punya pendapat berbeda. Global bond sebaiknya diterbitkan untuk pemulihan pandemi corona, bukan saat ini. Yang direkomendasikan saat ini yaitu surat utang domestik alias dalam rupiah yang bisa dibeli Bank Indonesia (BI).
CORE menyatakan terdapat empat risiko yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mencari pembiayaan anggaran. Dari sisi perundangan, pemerintah mengubah postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara lewat Peraturan Presiden No 54 Tahun 2020.
Defisit anggaran pun melonjak dari Rp 307,23 triliun atau 1,76 persen terhadap PDB menjadi Rp 852,94 triliun atau 5,07 persen terhadap PDB. Artinya, kebutuhan pembiayaan utang dan pinjaman naik nyaris tiga kali. Perubahan ini untuk menangani dampak serangan virus corona.
Risiko pertama, dominasi kepemilikan asing pada surat utang alias Surat Berharga Negara (SBN). SBN jadi salah satu sumber pembiayaan defisit. Sayangnya, penerbitan SBN masih sangat bergantung pada investor asing. Sebesar 35-40 persen SBN domestik dipegang investor asing, lebih besar dibandingkan surat utang negara-negara setara seperti Thailand dan Malaysia.
“Kondisi ini menjadikan struktur pembiayaan anggaran sangat rentan terhadap keluarnya modal secara tiba-tiba,” demikian dikutip dari analisis tertulis CORE.
Contoh teranyar yakni pelarian dana asing yang mencapai ratusan triliun sepanjang tahun ini. Dampaknya, kurs rupiah melemah. Sedangkan imbal hasil alias yield SBN meningkat dan biaya penerbitannya di masa mendatang menjadi lebih besar.
Risiko kedua, perebutan dana masyarakat alias crowding out. Penerbitan SBN akan menyerap banyak likuiditas dari perbankan. Swasta akan semakin sulit menggali sumber pembiayaan dari dalam negeri. Kalaupun mencari sumber dana dari dalam negeri melalui penerbitan surat utang, mereka harus menawarkan surat utang dengan kupon yang lebih tinggi untuk bersaing dengan surat utang yang diterbitkan oleh pemerintah.
Risiko Ketiga, peningkatan utang luar negeri swasta. Jika pihak swasta kesulitan mencari sumber pembiayaan dari dalam negeri maka opsi utang luar negeri menjadi pilihan yang lebih menarik, terutama ketika suku bunga di luar negeri cenderung menurun. “Peningkatan utang luar negeri swasta perlu menjadi perhatian karena 89 % utang luar negeri swasta berdenominasi dolar AS,” demikian tertulis.
Dengan risiko-risiko tersebut, CORE merekomendasikan pemerintah untuk mendahulukan penerbitan SBN domestik berdenominasi rupiah dengan mengutamakan skema pembelian oleh BI. Penerbitan global bond di tengah kondisi ini akan memaksa pemerintah meningkatkan insentif berupa kupon yang lebih tinggi dan atau tenor yang sangat panjang. Itu terbukti dengan diterbitkannya global bond bertenor 50 tahun baru-baru ini.
“Penerbitan SBN domestik dengan pola pembelian oleh BI memungkinkan pemerintah untuk menetapkan suku bunga atau kupon SBN yang lebih rendah dengan tenor yang wajar,” demikian analisis mereka.
Dengan begitu, pemerintah tidak akan dibebani oleh pembayaran tinggi bunga SBN dalam kurun waktu yang panjang. Meskipun kurs rupiah dalam tekanan pelemahan, CORE menilai pemerintah tidak perlu terburu-buru menambah pasokan dolar dengan menerbitkan global bond.
Sebab, posisi cadangan devisa relatif masih cukup besar untuk membiayai intervensi BI dalam rangka stabilisasi kurs. Selain itu, BI memiliki bantalan devisa alias second line of defense berupa fasilitas pinjaman dari IMF, perjanjian kerja sama pertukaran mata uang dengan beberapa bank sentral, serta fasilitas Repo Line dari bank sentral AS alias The Fed.
Menjaga Arus Kas
CORE merekomendasikan penerbitan global bond dilakukan ketika pandemi corona sudah mereda dan sentimen pasar mulai pulih. Di tengah kebijakan moneter dunia yang cenderung menurunkan suku bunga, penerbitan surat utang global berpotensi mendapatkan permintaan yang tinggi pada bunga yang lebih baik, dengan tenor yang wajar.
Adapun dalam konferensi pers beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, pemerintah akan menggunakan sumber pembiayaan yang paling aman dan berbiaya paling kecil. Ini akan dilakukan sebelum mengambil instrumen lain yang memiliki risiko dan biaya yang lebih tinggi.
Pertama, dari Saldo Anggaran Lebih (SAL) untuk menjaga arus kas. Kedua, dana abadi pemerintah. Ketiga, dari Badan Layanan Umum. Kemudian, penerbitan SBN dalam rupiah maupun valas. “Semua diterbitkan dengan prinsip kehati-hatian,” ujar dia. Sumber pembiayaan lainnya yaitu pinjaman bilateral dan multilateral.
Di tengah kondisi yang di luar normal saat ini, pemerintah juga telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Keuangan Negara yang memungkinkan penerbitan surat utang untuk tujuan tertentu, khususnya pandemi corona. Surat utang yang digadang-gadang bernama Pandemic Bond tersebut bisa dibeli BI.
Ini sebetulnya sejalan dengan rekomendasi CORE. Namun, posisinya dalam keuangan negara “below the line” alias bukan untuk membiayai defisit anggaran, melainkan sebagai cadangan alias reserve. Dalam kesempatan berbeda, Sri Mulyani mengatakan skemanya masih dimatangkan.
Mengacu pada penjelasan Sri Mulyani tersebut, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menilai pemerintah memiliki strategi yang hati-hati, lewat pemanfaatan berbagai sumber pembiayaan. Sebab, terlalu mengandalkan sumber pembiayaan tertentu, misalnya SBN rupiah dalam jumlah besar juga berisiko.
“Penerbitan SBN dalam rupiah yang cukup besar tentunya akan berdampak negatif pada perkembangan pasar sekunder SBN yang cenderung akan melemah dengan adanya penambahan supply surat utang yang sangat signifikan,” ujarnya. (wip)