(IslamToday ID) – Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China semakin memanas. Belum usai ribut soal tudingan asal usul virus corona, kini AS tuding China telah diam-diam melakukan uji coba nuklir.
Dilaporkan oleh Departemen Luar Negeri (Deplu) AS pada Rabu (15/4/2020), China kemungkinan telah diam-diam melakukan uji coba nuklir di bawah tanah dengan tingkat rendah. Temuan pertama kali dilaporkan oleh Wall Street Journal ini diprediksi bisa memperkeruh hubungan AS dan China.
Di mana saat ini AS menuding China yang bertanggung jawab atas pandemi virus corona baru (Covid-19). Deplu melaporkan AS khawatir adanya kemungkinan pelanggaran yang dilakukan oleh Beijing terhadap standar “hasil nol” untuk ledakan uji telah dipicu oleh kegiatan di lokasi uji coba nuklir Lop Nur China sepanjang 2019.
Hasil nol sendiri mengacu pada uji coba nuklir, di mana tidak ada reaksi berantai dari bahan peledak yang dipicu oleh peledakan hulu ledak nuklir. Laporan tersebut juga menyoroti kurangnya transparansi Beijing, termasuk dengan memblokir transmisi data dari sensor yang terhubung ke pusat pemantauan. Pusat pemantauan dioperasikan oleh badan internasional yang memverifikasi kepatuhan terhadap perjanjian yang melarang ledakan uji coba nuklir.
“Kemungkinan China mempersiapkan untuk mengoperasikan lokasi uji Lop Nur-nya sepanjang tahun, penggunaan ruang penahanan bahan peledak, aktivitas galian yang luas di Lop Nur dan kurangnya transparansi pada aktivitas pengujian nuklirnya meningkatkan kekhawatiran terkait kepatuhannya terhadap hasil nol standar,” kata laporan yang dikutip dari Reuters itu.
Adapun dalam Traktat Larangan Uji Komprehensif (CTBT) 1996, dijelaskan apa saja yang harus dilakukan untuk memastikan keamanan senjata nuklir. Dikatakan oleh juru bicara Organisasi CTBT, tidak ada gangguan dalam transmisi data dari lima stasiun sensor China sejak akhir Agustus 2019, menyusul gangguan yang dimulai pada 2018.
Hingga saat ini, Kedutaan China di Washington belum memberikan tanggapan atas laporan tersebut. Dengan adanya laporan tersebut, seorang pejabat senior AS mengatakan, Presiden Donald Trump ingin China bergabung bersama dengan AS dan Rusia dalam perjanjian pengendalian senjata yang menggantikan New START 2010 yang berakhir pada Februari.
Dalam New START, AS dan Rusia membatasi senjatanya dengan tidak lebih dari 1.550 hulu ledak nuklir, level terendah dalam beberapa dekade, dan membatasi rudal dan pembom berbasis darat dan kapal selam yang mengantarkan mereka.
“Langkah dan cara pemerintah China memodernisasi simpanannya mengkhawatirkan, membuat tidak stabil, dan menggambarkan mengapa China harus dimasukkan ke dalam kerangka kendali senjata global,” kata pejabat senior yang tidak ingin disebutkan namanya tersebut.
China diperkirakan memiliki sekitar 300 senjata nuklir. Namun, menolak proposal Trump untuk ikut dalam New START dengan alasan kekuatan nuklirnya adalah bentuk pertahanan dan tidak menimbulkan ancaman. (wip)