IslamToday ID — Kombinasi pandemi COVID 19 dan guncangan harga minyak dunia akhir-akhir ini, diprediksi mengarah ke jurang krisis ekonomi – tanpa akhir yang terlihat nyata setalah krisis kenaikan harga minyak dunia usai perang harga minyak antara Arab Saudi dan Rusia.
Sejak Corona Virus Diseases (Covid-19) memulai persebarannya dari China pada Januari dan menyebar ke seluruh dunia, ia mulai menimbulkan kekacauan: mengganggu rantai pasokan perdagangan (Ekspor dan Impor), menabur kekacauan perjalanan ke luar negeri yang membawa devisa bagi negara yang bergantung pada pariwisata, mengurangi penjualan produk-produk, dan membatalkan acara besar hingga festival.
Sejak 11 Maret, WHO menetapkan situasi secara resmi dinyatakan sebagai pandemi, seluruh kota – jika bukan negara – hampir mati seluruh kegiatan perekonomiannya dan menyusul ke negara-negara berkembang lainnya, hingga Indonesia.
Perang harga minyak antara Rusia dan Saudi, membuat penurunan tajam harga minyak dunia sepanjang sjearah, sejak era Perang Teluk 1991. Persaingan ini memperparah jatuhnya harga minyak: Moskow dan Riyadh telah kembali untuk mencari pangsa pasar yang lebih besar sedangkan strategi Rusia bertujuan untuk menghukum AS, yang menurut Moskow memiliki cadangan kelebihan minyak global. Sedangkan, saat ini banyak perusahaan-perusahaan AS telah membatasi produksi mereka, bahkan berisiko kebangkrutan.
Pukulan satu-dua dari pandemi virus ini dan kejutan minyak telah menghancurkan, pasar saham dunia dan mengalami salah satu pekan terburuk sejak krisis keuangan tahun 2008. Wall Street anjlok karena Dow Jones turun lebih dari 2.000 poin pada Senin. Pasar di Asia dan Eropa jatuh, menambah kekhawatiran akan resesi global yang membayang nyata sebagai contoh adalah pasar saham Italia dan juga pasar saham Indonesia saat ini.
Seberapa luas kejatuhan ekonomi akan sulit diprediksi pada saat ini. Tetapi jelas dari volatilitas pasar dan respons yang tidak terkoordinasi dari pemerintah kita saat ini, bahwa semua tanda menunjukkan penurunan yang signifikan.
Sinyal Suram
Dengan Covid-19 menekan kegiatan perekonomian global, dan setelah runtuhnya perjanjian pembatasan produksi OPEC + Arab Saudi dengan Rusia, harga minyak dunia mungkin akan melayang sekitar $30 per barel selama enam bulan ke depan dan jatuh ke level $20 per barel jika persebaran virus ini tidak melambat.
Mengingat masih banyak yang tidak dimengerti tentang Covid-19 dan sampai respon global yang memadai terkait penyebarannya, akan sulit untuk mengukur tingkat keparahan dari ketegangan pada ekonomi global saat ini.
Gambaran seperti apa dampak virus korona terhadap ekonomi suatu negara adalah dari Cina. Semua indikasi dampak Covid-19 terhadap ekonomi Tiongkok lebih buruk dari perkiraan semula.
Menurut laporan CSIS, sektor manufaktur dan jasa Tiongkok anjlok ke rekor terendah di Februari. Sementara itu, penjualan mobil anjlok 80 persen, sementara ekspor turun 17,2 persen pada Januari dan Februari.
Seiring dengan berjalannya kehancuran ekonomi Cina, saat ini ekonomi global juga demikian.
Efek riak sedang dirasakan oleh Apple, Nike, dan banyak manufaktur kecil karena dampak virus pada produksi dan ritel dengan penguncian yang diamanatkan pemerintah di seluruh dunia tak terkecuali di indonesia.
Industri terkait perjalanan dan pariwisata sedang dipukul oleh pandemi ini. Maskapai penerbangan bisa kehilangan sebanyak $100 miliar dollar. Sektor perhotelan harus menerima pembatalan dan penundaan setelah larangan bepergian, dan pekerja per jam cenderung menjadi korban pertama dalam industri makanan dan minuman.
Jika satu sektor tahan resesi, itu adalah industri perawatan kesehatan karena permintaan untuk petugas kesehatan akan meningkat.
Pandemi ini telah melanda ekonomi negara-negara besar dunia yang sudah mulai tampak lemah. Ekonomi dunia telah melambat pada ‘kecepatan paling lambat’ hanya 2,5 persen. AS tumbuh hanya 2 persen; Eropa dan Jepang 1 persen; China dan India telah melambat secara signifikan; negara-negara berkembang seperti Brasil, Rusia, Turki dan Meksiko semuanya lesu.
OECD telah memperingatkan bahwa perkiraan 2020 sebelumnya untuk pertumbuhan ekonomi global sebesar 2,9 persen dapat dibelah dua menjadi 1,5 persen karena efek jangka panjang dari COVID-19. IMF juga telah mengurangi prognosis pertumbuhannya yang sudah rendah untuk tahun ini.
Krisis Utang Global
Apa kebijakan yang tepat yang dapat dihadapi khususnya Negara berkembang untuk menghindari kemerosotan serius sejauh ini? Cina mengumumkan miliaran pinjaman khusus untuk perusahaan-perusahaan yang menghadapi kendala likuiditas. Federal Reserve AS dan Bank of England (BOE) telah memangkas suku bunga. Bank Sentral Eropa (ECB) memutuskan untuk tidak menurunkan suku bunga tetapi mengumumkan stimulus.
Untuk menambah kerapuhan mendasar yang dihadapi kapitalisme global, adalah krisis utang. Menurut Institute of International Finance, rasio utang global terhadap PDB bruto mencapai tertinggi sepanjang masa lebih dari 320 persen pada Q3 tahun 2019, dengan total utang mencapai $253 triliun.
Bahkan jika Covid-19 tidak memicu kemerosotan ekonomi yang berkepanjangan atau kehancuran finansial, kondisi untuk setiap pemulihan signifikan tidak terlihat menjanjikan.
Penulis: R Syeh Adni