IslamToday ID — Kesultanan Aceh Darussalam bukan hanya membangun sektor politik dan perdagangan, perkembangan intelektualitas dan pembinaan keimanan rakyat turut diperhatikan. Bahkan, kepentingan negara dan agama bagai satu tarikan nafas.
Hal ini ditegaskan dalam Konstitusi Kesultanan Aceh Darussalam, Qanun Meukuta Alam. Kesultanan Aceh Darussalam memberi contoh bahwa hukum agama (syari’at), adat, aturan pertahanan dan kenegaraan wajib berpadu dalam penyelenggaraan negara.
“Hukum syar’i, dan adat syar’i dan reusam syar’i dan qanun syar’i, maka empat perkara tersebut masuknya ia itu bagian umum keperluan yang tidak boleh tidak ada dalam agama Islam.”
Landasan Pendidikan
Qanun Meukuta Alam menyatakan bahwa, Al Quran, Al Hadist, Ijma’ dan Qiyas menjadi sumber hukum bagi Kesultanan Aceh Darussalam, tidak terkecuali di sektor pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan di Kesultanan Aceh Darussalam berlandaskan ajaran Islam. Pendidikan yang diselenggrakan Kesultanan Aceh Darussalam memiliki tujuan yang jelas dan tegas. Akhir dari segala aktifitas pendidikan adalah membina manusia-manusia agar sanggup menjalankan ajaran Islam dalam berbagai bidang kehidupan.
Tujuan itu tampak dari wasiat Qanun Meukuta Alam. Salah satunya pada bagian, 21 syarat menjadi raja. Diwasiatkan, bahwa dalam diri seorang sultan hendaknya menguasai ilmu agama dan juga ilmu dunia. Ini dimaksudkan agar seorang sultan dapat menjalankan pemerintahan dengan adil.
Sebaliknya, sultan yang tidak memiliki kematangan ilmu agama tentu tidak dapat mengerjakan dan menjaga hukum Allah, hukum Rasul serta perintah-perintah agama Islam dalam pemerintahan dengan adil.
“Sultan harus adil mengerjakan hukum Allah dan hukum Rasul, memelihara sekalian perintah agama Islam,”
Qanun juga memberi peringatan keras, bahwa negara akan hancur jika raja bercerai-berai dengan ulama. Hal ini menunjukkan, bahwa ilmu pengetahuan dan orang-orang berilmu sangat tinggi derajatnya di Kesultanan Aceh Darussalam.
“Ulama dengan Raja tidak boleh jauh atau cerai, sebab jikalau cerai ulama dengan raja niscaya binasalah negeri”, hal itu berarti bahwa raja dan ulama (sarjana) haruslah kedua-dua menjadi pimpinan pemerintahan, dan boleh juga berarti bahwa dalam diri satu penguasa harus berkumpul unsur kekuasaan dan ilmu,”
Begitu juga jika kita menengok 10 syarat menjadi Wazir (menteri). Mereka juga harus berilmu. Tidak semata-mata tentang menguasai keahlian tertentu, melainkan utuh, cakap ilmu dunia dan agama serta tidak bersifat khianat.
Demikian pula diantara 10 syarat menjadi Qadhi. Seorang Qadhi harus adil dan alim ilmu pada pekerjaan dunia dan akhirat.
Melihat wasiat-wasiat dalam Qanun Meukuta Alam itu, tampak jelas bahwa penyelengaraan pendidikan Kesultanan Aceh Darussalam juga dalam rangka membina manusia-manusia agar kelak sanggup memikul amanah. Memikul amanah sebagai Sultan, Menteri, Qadhi dan pejabat-pejabat lainnya dengan syarat-syarat yang ditetapkan. Mereka disiapkan sedemikian rupa untuk menjalankan tugasnya dengan adil, serta membina rakyat yang menjalankan makruf dan menjauhkan mungkar.
Jenjang Pendidikan
Urat nadi pendidikan dibangun mulai dari tingkat yang paling bawah. Berawal dari gampong-gampong (kampung), hingga bermuara pada masjid-masjid yang menjadi universitas yang menjadi pusat-pusat penyeduh ilmu pengetahuan.
Di tiap-tiap gampong berdiri meunasah atau madrasah. Meunasah atau madrasah yaitu tempat anak-anak diajarkan pendidikan yang paling dasar. Di tempat inilah anak-anak diajarkan membaca Al-Quran, menulis dan membaca huruf Arab. Selain itu juga diajarkan tata cara beribadah, akhlak, rukun Islam, dan rukun iman yang diajarkan dalam bahasa jawi (melayu).
Pendidikan yang diselenggarakan waktu itu, jauh dari nilai transaksional ataupun komersialisasi. Pendidikan menjadi suatu ikhtiar yang bernilai sakral.
Ketika anak-anak telah menginjak usia 6 tahun, para orang tua dengan penuh kesadaran mengantarkan anaknya kepada seorang ‘Teungku’. Teungku adalah guru agama dan sekaligus panutan masyarakat. Ada satu akad yang biasanya dilafadzkan para orang tua di hadapan Teungku.
“Kedatangan saya menghadap teungku untuk menyerahkan anak saya, menurut hukum Allah dan Nabi serta hukum teungku untuk diberi pengajian agama. Jika perlu pukullah dia, asal tidak menjadi cacat atau buta”.
Begitulah wajah kesadaran rakyat Kesultanan Aceh Darussalam akan pentingnya ilmu. Mereka merelakan berkurangnya sebagian waktu bersama anak, semata mata untuk kepentingan anak mengkaji ilmu agama untuk masa depannya kelak.
Jenjang pendidikan berikutnya, adalah rangkang, yakni pondok-pondok yang ada di sekeliling masjid. Di Kesultanan Aceh Darussalam, masjid wajib berdiri di setiap mukim (kecamatan). Rangkang yang berdiri di sekitar masjid ini dapat kita ibarat kan layaknya madrasah setingkat tsanawiyah.
Di tempat ini anak-anak diajarkan fikih, ibadat, tauhid, tasawuf, sejarah Islam/umum, bahasa Arab. Pendidikan di tempat ini ditunjang dengan adanya buku pelajarannya yang berbahasa Melayu dan bahasa Arab.
Mereka yang telah menempa diri dengan pendidikan agama itu ada yang melanjutkan pendidikannya ke Dayah atau setingkat Madrasah Aliyah saat ini. Dayah berdiri di tiap-tiap Nangroe. Ada yang berpusat pada masjid bersama rangkang, tapi kebanyakannya terdapat terpisah dari lingkungan masjid.
Pada jenjang ini, semua pelajaran diajarkan dalam bahasa Arab dan mempergunakan kitab-kitab berbahasa Arab juga. Mata ajarannya terdiri dari ilmu fiqh muamalat, tauhid, tasawuf, akhlak, ilmu bumi, ilmu tata negara, dan bahasa Arab. Terdapat pula dayah-dayah turut mengajarkan ilmu umum seperti ilmu pertanian, ilmu pertukangan, dan ilmu perniagaan.
Selain itu ada pula Dayah Teungku Chik. Dayah Teungku Chik dapat disamakan dengan akademi atau sekolah tinggi. Dayah Teungku Chik mengajarkan lain fiqh (hukum), tafsir, hadis, tauhid,, akhlak, tasuwuf, ilmu bumi, sejarah, tata negara, ilmu bahasa dan sastera Arab, manthik dan ilmu bintang/falak.
Di era Sulthanah Safiauddin Tajul Alam, dayah-dayah banyak didirikan. Tidak hanya di wilayah Aceh bahkan meluas hingga wilayah luar, seperti di Ulakan Sumatera Barat, Yan Kedah, Siak Seri Indrapura dan lain-lain.
Di era pemerintahanya pula, ia mengintruksikan agar pusat-pusat pendidikan itu dibuka untuk laki-laki dan perempuan tanpa membeda-bedakan, sebab ia menyadari dengan pendidikan peran perempuan dalam berbagai bidang kehidupan dapat ditingkatkan.
Tiga Universitas
Selain pendidikan dasar dan menengah tersebut. Kesultanan Aceh Darussalam memiliki tiga universitas yang mengundang berbagai orang dari penjuru negeri untuk belajar ke tanah rencong.
Pertama, Jami’ah Baiturrahman yang terletak terdapat di ibu kota negara, Banda Aceh. Jami’ah ini yang merupakan satu kesatuan mesjid Jami’ Baiturrahman. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Alaidin Mahmud Syah I, yakni sekitar tahun 1292 M. Masjid ini terus dikembangkan oleh sultan-sultan setelahnya. Sultan Iskandar Muda merupakan sosok yang paling menonjol dalam mengembangkan masjid ini.
Jami’ah Baiturrahman memiliki berbagai “Daar” atau fakultas-fakultas. Saat itu setidaknya ada 17 fakultas di Jami’ah Baiturrahman, yakni
- Daar al-Thibb (Kedokteran),
- Daar al-Tafsir wa al-Hadits (Tafsir dan Hadits),
- Daar al-Kimya (Kimia),
- Daar al-Taarikh (Sejarah),
- Daar al-Hisaab (Ilmu Pasti),
- Daar al-Siyasah (Politik),
- Daar al-Aqli (Ilmu Akal),
- Daar al-Zira’ah (Pertanian),
- Daar al-Ahkaam (Hukum),
- Daar al-Falsafah (Filsafat),
- Daar al-Kalaam (Teologi),
- Daar al-Wizaraah (Ilmu Pemerintahan),
- Daar Khazaanah Bait al-Maal (Keuangan dan Perbendaharaan Negara),
- Daar al-Ardhi (Pertambangan),
- Daar al-Nahwi (Bahasa Arab),
- Daar al-Mazahib (Ilmu-ilmu Agama),
- Daar al-Harbi (Ilmu Peperangan).
Pada masa pemerintahan Sultan Alaidin Iskandar Muda, guru-guru besar jami’ah tersebut selain terdiri dari ulama-ulama Aceh. Diantaranya, seperti Syekh Hamzah Fansury, Syekh Nuruddin Ar Raniry, Syekh Alaiddin ahmad, Syekh Mudyiddin Ali, Seyekh Taqiuddin Hasan, Syekh Saifudin Abdulkahar, Syekh Kamaluddin, juga Seri Faqih Zainul abiding Ibnu Daim Mansur.
Selain itu, juga didatangkan guru besar dari luar negeri seperti dari Arab, Turki, Persia, dan India. Bahkan tidak kurang dari 44 orang guru besar yang didatangkan dari luar negeri pada masa itu. Mereka sengaja didatangkan untuk menyuduhkan berbagai ilmu yang bermutu dan komprehensif.
Pada tahun 1607, Sultan Iskandar Muda mendirikan Masjid Baiturrahim. Masjid ini terletak di komplek keraton Darud Donya. Nama masjid ini diambil dari nama masjid yang berada di komplek keratin Kuta Alam, yang di bangun bersamaan pada masa Sultan Alaidin Syamsu Syah.
Jami’ah Baiturrahim merupakan pusat ilmu pengetahuan, utamanya di bidang ketatanegaraan dan hukum pemerintahan. Bahkan masjid ini menjadi pusat ilmu hukum dan politik. Balai Seta Hukama, Balai Setia Ulama dan Balai Jamaah Himpunan Ulama kerap menjadi sekoci dalam mengantarkan ide-ide peremajaan hukum di Aceh.
Selain dua Jami’ah tersebut, Masjid Baitul Musyhadah adalah universitas ketiga yang di miliki Kesultanan Aceh Darussalam. Masjid ini dibangun pada masa Sultan Iskandar Tsani pada tahun 1637 di Komplek Istana Kuta Alam. Pada mulanya, masjid ini dibangun untuk menggantikan masjid Baiturrahim pada masa Sultan Alaidin Syamsu Syah. Di masjid ini pula kegiatan belajar mengajar serta perdebatan-perdebatan konstruktif mewarnai iklim intelektualitas di tanah rencong.
Di samping itu, Keraton Darud Donya selain berfungsi sebagai pusat pemerintahan, ternyata juga menjadi kawah candradimuka bagi para keluarga istana. Disanalah Iskandar Muda, Iskandar Tsani, Sultanah Safiatuddin, Naqiatuddin Nurul Alam, Zakiyatuddin Inayat Syah dan Kalamat Syah dididik hingga menjadi sosok-sosok yang cakap dalam memimpin negeri.
Di dalam Keraton Darud Donya mereka di untuk menguasai ilmu hukum, ketatanegaraan, hukum internasional, sejarah, filsafat, tasawuf, mantiq, kesusastraan, pengetahuan agama islam dan lain lain. Mereka juga diajarkan untuk menguasai bahasa Arab, Turki, Persia, Spanyol, Belanda, Portugis dan Bahasa Inggris.
Tiga Lembaga
Lantaran pendidikan menjadi hal penting yang turut menopang kelangsungan kesultanan, setidaknya, ada tiga lembaga yang saling beririsan dalam mengurus bidang pendidikan dan pengembangan, yakni Balai Setia Hukama, Balai Setia Ulama dan Balai Jamaah Himpunan Ulama.
Balai setia hukama dapat disamakan dengan lembaga ilmu pengetahuan tempat berkumpulnya para sarjana, hukama (ahli-pikir) untuk membahas dan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Sedangkan, Balai Setia Ulama dapat disamakan dengan jawatan pendidikan, yang bertugas mengurus masalah-masalah pendidikan.
Terakhir, Balai Jama’ah Himpunan Ulama merupakan sebuah studi klub tempat para ulama/sarjana berkumpul untuk bertukar pikiran, membahas masalah-masalah pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Melihat sistem pendidikan diatas, maka tidak heran jika ulama dan kaum cerdik pandai turut mewarnai kejayaan Aceh Darussalam. Bahkan, puncak-puncak peradaban itu terlihat dari banyak segi. Diantaranya, melalui karya-karya yang ditulis para ulama, perkembangan konstitusi negara, pemerintahan, kehidupan ekonomi, sosial, artitektur, seni, budaya dan karya sastra.
Kesultanan Aceh Darussalam telah memberikan keteladanan dalam membina pendidikan, bukan semata-mata menuntaskan ‘wajib belajar’, bukan pula sibuk gonta-ganti aturan pendidikan, atau bongkar pasang kurikulum tiap kali ganti menteri. Pembinaan pendidikan Aceh Darussalam memiliki pondasi yang kokoh dan untuk tujuan yang luhur, yakni Islam.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza
Sumber:
Dayah dan Pengembangan Teknologi, 2016
Catatan Pinggir Sejarah Aceh , 2013
59 Tahun Aceh Medeka dibawah Pemerintahan Ratu, 1977
Qanun Meukuta Alam dalam Syarah Tadkirah Tabaqat Tgk. Di Mulek
Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah