(IslamToday ID) – Sebuah kapal bor, West Capella, yang disewa oleh perusahaan minyak nasional Malaysia, Petronas melakukan survei minyak di Laut China Selatan menyelesaikan aktivitasnya pekan lalu. Di saat bersamaan, kapal Angkatan Laut Amerika Serikat (AS) Gabrielle Giffords turut meninggalkan pangkalannya di Singapura.
Melansir South China Morning Post, ini adalah kali ketiga dalam beberapa pekan terakhir bahwa AS telah melakukan “operasi kehadiran” di perairan yang kaya sumber daya, dan telah menjadi lokasi ketegangan baru antara China dan negara-negara tetangganya di Asia Tenggara terkait eksplorasi minyak dan kegiatan penangkapan ikan.
Beijing mengklaim sebagian besar Laut China Selatan yang membentang kira-kira 1.000 mil dari pantai selatannya. Mereka telah mengerahkan kapal survei pemerintah China, kapal penjaga pantai, dan kapal nelayan milisi untuk mempertahankan kehadiran di sana.
Sementara, Beijing menyatakan kapal-kapal itu melakukan kegiatan normal. Namun, Washington menuduh China melakukan “taktik intimidasi”. Pada tahun 2018, Vietnam yang memiliki klaim teritorial dalam jalur air yang disengketakan bersama dengan Malaysia, Brunei dan Filipina, memilih menunda proyek pengeboran minyak oleh perusahaan Spanyol, Repsol karena tekanan China.
Di antara negara-negara ASEAN, Hanoi paling vokal dalam penentangannya terhadap klaim dan kegiatan Beijing, diikuti oleh Manila.
Delapan anggota ASEAN yang tersisa sebagian besar tetap melakukan aksi diam. Ketika mereka mengeluarkan pernyataan, komentar lebih difokuskan pada pentingnya menghindari konflik dan menjaga stabilitas regional.
Analis meyakini bahwa masing-masing negara tidak akan berani secara terbuka bertengkar dengan China, karena khawatir akan mempengaruhi hubungan perdagangan dan investasi. Terutama di tengah penurunan ekonomi yang disebabkan oleh pandemi virus corona.
Joseph Liow Chin Yong, yang merupakan pakar geopolitik Asia-Pasifik di Nanyang Technological University Singapura, mengatakan preferensi negara-negara ASEAN adalah untuk terlibat dalam diplomasi di belakang layar, yang memungkinkan mereka untuk mempertahankan integritas mereka tanpa membakar hubungan dengan Beijing.
Vietnam Menentang
Keputusan Hanoi untuk berbenturan dengan Beijing mencerminkan hubungan kompleks tetangga, di mana upaya bersama untuk meningkatkan perdagangan bilateral tidak mengurangi pernyataan kepentingan nasionalnya.
Pekan lalu, Vietnam secara terbuka menentang larangan memancing musim panas tahunan China dan meminta nelayannya untuk tetap melakukan kegiatan mereka di sekitar Kepulauan Paracel.
Bulan lalu, Vietnam juga memprotes keputusan China untuk mendirikan distrik administratif di Paracel, dan satu lagi di Kepulauan Spratly, yang diperebutkan oleh Hanoi, Manila, dan Beijing. Itu terjadi setelah Vietnam menyalahkan China dan mengajukan protes resmi karena menenggelamkan kapal penangkap ikannya, meskipun China menuduh kapal itu menabrak kapal penjaga pantai.
Trung Nguyen, Kepala Departemen Politik Internasional di Vietnam National University, mengatakan Vietnam telah menentang larangan penangkapan ikan sejak diperkenalkan pada tahun 1999. Meski menyadari risiko tindakan hukuman dalam bentuk gangguan perdagangan atau pembatasan perjalanan, Hanoi tidak terlalu khawatir.
“Hanoi lebih suka melindungi kedaulatannya daripada khawatir tentang memicu permusuhan,” katanya.
“Vietnam tidak menolerir fakta bahwa negara raksasa tetangga dapat memberlakukan larangan penangkapan ikan di perairan kami, sebagaimana ditetapkan oleh Konvensi PBB tentang hukum laut,” tambahnya. (wip)