IslamToday ID – Tren kasus COVID-19 di Indonesia belum melandai. Namun sedikit demi sedikit, arah kebijakan pemerintah tampak longgar terhadap pandemi COVID-19.
Hal itu terlihat jelas dari pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB), pelonggaran moda transportasi hingga munculnya ‘timeline hidup normal’ yang dikeluarkan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto.
Padahal jika melihat tren kasus positif COVID-19 di Indonesia, penerapan PSBB belum sepenuhnya berjalan optimal, sehingga belum efektif menekan dan memutus angka penularan. Ketua Pengurus Besar IDI Daeng M. Faqih mengatakan, hingga saat ini fluktuasi penambahan kasus COVID-19 antara 250 sampai 400 kasus per hari.
“Kami khawatir jika PSBB dan social distancing (pembatasan sosial) tidak didisiplinkan, maka (kebijakan) ini tidak akan efektif sebagai instrumen pencegahan persebaran virus,” ujar Faqih dalam video conference, Ahad (10/5) lalu.
Pernyataan Faqih bukan tanpa alasan. Sebagai tenaga medis, menyelamatkan nyawa menjadi pilihan utama, terlebih jika bisa dilakukan dengan upaya pencegahan. Dalam kasus COVID-19, testing, tracing, dan isolasi menjadi instrumen penting untuk mendeteksi dini kasus COVID-19, sekaligus menghindari sebaran kasus terinfeksi lebih masif.
Namun rupanya, tenaga dan pikiran tenaga medis harus berhadapan dengan kepentingan lainnya, yang tidak lagi bisa bersabar menghadapi serangan covid-19. Masyarakat disuguhkan dengan ‘akrobat istilah yang disampaikan pemerintah. Misalnya mudik dan pulang kampung, kemudian pelonggaran dan relaksasi soal PSBB.
Pelonggaran PSBB
Tepat sebelum Presiden Joko Widodo (Jokowi) membahas rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rapat kabinet yang digelar Selasa (12/5/2020). Seperti dilansir Kompascom, Senin (11/5/2020), Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) meminta kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) dilonggarkan.
“Kami usul PSBB dilonggarkan saja, tapi protokol kesehatan kita optimalkan. Pemerintah agar konsentrasi hanya ke fasilitas kesehatan saja dan memberikan fasilitas rapid test ke perusahaan,” kata Ketua Umum APINDO, Hariyadi Sukamdani.
Rupanya para pengusaha sudah tidak kuat dengan tekanan COVID-19. Dampak COVID-19 benar-benar memukul dunia usaha, gelombang PHK dan pekerja yang dirumahkan mencapai jutaan orang. Kebijkan itu tidak gratis, mereka berkewajiban membayar pesangon bagi yang di PHK serta tetap membayar gaji bagi yang dirumahkan. Sampai-sampai meminta pemerintah untuk melongarkan kewajiban itu. stimulus yang digelontorkan dinilai tidak berdampak besar bagi dunia usaha.
“Mungkin kemampuan pemerintah memang segitu. Jadi, pilihannya tidak ada selain melonggarkan PSBB, tapi pemerintah harus siap dengan fasilitas kesehatan,” jelasnya.
“Orang juga butuh makan, pemerintah sanggup tidak memberi makan segitu banyak orang. Daripada saling menyalahkan, lebih baik kita jalan, tapi dengan penuh kehati-hatian,” imbuhnya.
Tidak berselang lama, keluhan para pengusaha ini segara ditindak lanjuti oleh istana. Selasa (12/5/2020) Presiden Jokowi membahas rencana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rapat kabinet. Pemerintah tampaknya sangat antusias untuk melakukan pelonggaran PSBB demi memutar roda perekonomian, meskipun kasus positif COVID-19 hingga kini terus bertambah.
“Yang sedang kita siapkan ini memang baru sebatas rencana atau skenario pelonggaran yang akan diputuskan setelah ada timing yang tepat serta melihat data-data dan fakta di lapangan,” ujarnya seperti dilansir Detikcom Senin (18/5/2020).
Kenyataannya pandemi COVID-19 telah membuat ekonomi Indonesia terpuruk di kuartal I-2020. Pada Selasa (5/5/2020) lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2020 tumbuh 2,97% year-on-year (YoY). Ini menjadi laju paling lemah sejak kuartal IV-2001.
“Penyebaran covid-19 ini membuat ekonomi global terkontraksi,” kata Kepala BPS, Suhariyanto, Selasa (5/4/2020).
‘Dipaksa Berdampingan’
Ternyata bukan hanya sekedar pelonggaran PSBB yang hendak dipilih pemerintah. ‘Skenario’ yang siapkan ternyata berupa ‘timeline hidup normal’ yang memaksa masyarakat untuk hidup berdampingan dengan COVID-19, hingga vaksin ditemukan. Menurut Presiden Jokowi, hidup berdampingan dengan COVID-19 bukan berarti menyerah dan pesimistis, justru itu menjadi titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat atau yang disebut ‘new normal’.
Kementerian Perekonomian mengeluarkan timeline pemulihan ekonomi nasional pasca pandemi COVID-19 atau virus corona. Dengan sekenario itu diperkirakan pada pada Juni-Juli masyarakat bisa beraktivitas kembali dan bisnis bisa berjalan sediakala, tentunya dengan syarat dan ketentuan yang menyertainya.
Gagasan ini diambil Menko Perekonomian Airlangga Hartarto dari presentasi itu berjudul ‘Road Map Ekonomi Kesehatan COVID-19’ yang digagas Ekonom, Raden Pardede. Saat ini Kemenko Perekonomian secara intensif membahas skenario tersebut dengan Kementerian dan Lembaga terkait. Dalam waktu dekat Kemenko Perekonomian akan melakukan finalisasi atas kajian tersebut dan segera disampaikan pada publik.
Dalam skenario pemulihan ekonomi itu, rencananya pada 1 Juni Industri dan Jasa Bisnis ke bisnis (B2B) dapat beroperasi dengan ‘social distancing’, persyaratan kesehatan, jaga jarak (termasuk pakai masker). Pada 8 Juni toko pasar, dan mall diperbolehkan buka. Pada 15 Juni kegiatan pendidikan di sekolah sudah boleh dilakukan. Kemudian, pada 6 Juli restoran, kafe, bar, tempat gym, boleh beroperasi kembali. Seluruh kegiatan ekonomi rencananya dapat kembali normal di akhir bulan Juli.
Sebagai awalan BUMN rupanya dijadikan ‘kelinci percobaan’. Para karyawan BUMN yang umurnya di bawah 45 tahun rencananya akan mulai masuk kantor. Sedangkan pekerja berusia di atas 45 tahun tetap bekerja dari rumah (work from home).
Rencana tersebut dikritik keras oleh Ekonom Senior Indef, Faisal Basri. Menurut Faisal, rencana tersebut seharusnya memperhatikan tren kasus baru dan kematian per hari. Menurutnya, pelonggaran PSBB termasuk memperbolehkan karyawan masuk kerja kembali, bisa diberlakukan jika tren kasus baru dan kematian mulai turun. Setidaknya penurunan tersebut terjadi selama seminggu atau tujuh hari berturut-turut. Lebih baik lagi, jika tren penurunan terjadi konsisten selama dua minggu.
“Ayo dong, malu sama rakyat. Kuncinya di manapun, pelonggaran baru bisa efektif kalau kasus baru harian dan kematian harian turun secara konsisten setidaknya seminggu. Tapi bagusnya dua minggu turun terus. Tapi kemarin kematian naik lagi kan. Angka kematian dan new cases itu di kita fluktuasinya enggak karu-karuan,” tegasnya.
Penulis: Arief Setiyanto
Redaktur: Tori Nuariza